Oleh: Ahmad Fahrizal Aziz
Kita mungkin pernah menonton film KCB (Ketika Cinta Bertasbih), atau serial televisi berjudul “Astagfirullah” yang lagu soundtracknya dibawakan oleh Opick. Juga sebuah film terkenal berjudul Ramadhan dan Ramona. Namun barangkali kita kurang begitu tertarik dengan siapa sutradaranya.
Atau, dengan lagu-lagu religius yang sering dibawakan oleh Bimbo dan sederet lagu religi lain yang pernah dibawakan penyanyi papan atas Indonesia, seperti Alm. Chrisye, yang pernah menyanyikan lagu berjudul “ketika tangan dan kaki berkata” tak lama sebelum ia meninggal.
Dibalik karya-karya fenomenal tersebut, ada tangan-tangan seni tokoh Muhammadiyah. Film KCB disutradarai oleh Alm. Chaerul Umam, yang juga pernah menjadi ketua Lembaga Seni, Budaya dan Olahraga (LSBO) PP Muhammadiyah.
Jika merunut lebih jauh lagi, Chaerul Umam merupakan sutradara didikan Teater Muslim yang didirikan oleh Mohammad Diponegoro (bukan Pangeran Diponegoro). Meski pernah juga bergabung dengan bengkel teater yang diasuh Alm. WS. Rendra.
Nama Mohammad Diponegoro ini mungkin juga asing, bahkan dikalangan warga Muhammadiyah sendiri.
Padahal Mas Dipo—panggilan akrabnya—adalah kader Muhammadiyah yang lama berkantor di Muhammadiyah. Saya sendiri kurang tahu pasti apa posisi strukturalnya di Muhammadiyah, namun besar kemungkinan Mas Dipo adalah pengelola Majalah Suara Muhammadiyah.
Dikala mudanya, sastrawan Ajip Rosidi beberapa kali menemui Mas Dipo. Jika ingin bertemu dengan Mas Dipo, tempat yang kemungkinan dituju adalah kantor Muhammadiyah Cik Ditiro Yogyakarta, karena Mas Dipo berkantor disana.
Selain bergiat di Teater, Mohamad Diponegoro pernah menulis sandiwara untuk radio BBC Australia. Karya lainnya adalah cerita pendek, dan karya fenomenalnya, yang masih dikenang hingga saat ini, adalah penerjemahan Al Qur’an secara puitis.
Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh HB. Jassin, namun mendapatkan pertentangan keras dari ketua MUI kala itu, KH. Hasan Basri dan Menteri Agama, Munawir Sjadzali. Karena dinilai mempermainkan Al Quran.
Puitis bukan berarti romantik-melodramatik. Puitis artinya, punya nilai sastra yang tinggi. Mas Dipo berpendapat bahwa bahasa Al Qur’an itu adalah bahasa arab yang puitis dan sastrawi, makanya mengandung beragam tafsir.
Sayangnya terjemahan Al Qur’an dalam bahasa Indonesia kini, adalah terjemahan lugas. Padahal banyak surat dalam Al Qur’an memiliki rima. Semisal QS. Al Ikhlas dan An Nas. Dalam setiap kalimatnya, kedua surat ini diakhiri dengan huruf yang sama. Dalam dunia puisi, surat ini memiliki kuatrin a-a-a-a. Itu baru dari segi bentuk, belum dari segi maknawi, terutama ayat-ayat mutasyabihat.
Sayangnya tidak sampai semua Al Qur’an diterjemahkan. Hanya sampai pada Juz Amma, konon itupun belum lengkap semua. Menerjemahkan Al Quran secara puitis tentu bukan kerja ringan, dibutuhkan wawasan kebahasaan yang luas.
Sementara lagu-lagu Bimbo liriknya digubah oleh Taufiq Ismail. Nama Taufiq Ismail tentu sangat dikenal. Apalagi nama “Ismail” cukup familiar dalam dunia seni, karena merupakan nama Ismail Marzuki, seniman dan komposer yang namanya diabadikan menjadi sebuah tempat bernama Taman Ismail Marzuki (TIM).
Taufiq Ismail memang banyak membuat sajak, termasuk menjadi salah satu pendiri Majalah Sastra Horison, salah satu majalah sastra paling terkemuka di Indonesia. Meski kini sudah beralih ke Online. Ia pun juga pernah menjadi ketua LSBO, atau yang dulu masih bernama Majelis Kebudayaan, PP Muhammadiyah.
Nama yang paling familiar tentu Buya Hamka. Buya Hamka adalah sosok multidimensi. Dikalangan sastrawan, Hamka cukup dipertimbangkan. Dua novel legendarisnya, “tenggelamnya kapal van der wijck” dan “dibawah lindungan ka’bah” merupakan dua karya kritis di eranya.
Kritik paling tajam ia tujukan pada budaya, dimana pernikahan antar suku yang berbeda, serta kelas sosial yang berbeda yang dianggap tabu. Padahal Islam tidak melihat manusia berdasar suku apalagi kelas sosial.
Dua novel tersebut menceritakan kepiluan yang mendalam dari orang-orang yang saling mencintai, namun tidak bisa bersatu karena terhalang adat budaya.
Karya sastra tersebut, melengkapi khazanah keilmuan Buya Hamka, disamping sebagai dai, mufassir, dan tokoh pergerakan. Sosok seperti Buya Hamka ini tentu sangat langka saat ini.
Selain tokoh-tokoh struktural diatas, tentu ada beberapa yang karyanya bersinggungan secara langsung maupun tak langsung dengan Muhammadiyah. Seperti Laskar Pelangi, yang mana penulisnya pernah belajar di SD Muhammadiyah Gantong, dan menjadikan kisah semasa SD itu menjadi poin cerita.
Yang juga sangat fenomenal adalah Prof. Dr. Abdul Hadi WM. Sastrawan papan atas Indonesia, tokoh Muhammadiyah asal Madura, yang banyak menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu.
Karena terlalu kompleksnya sosok ini, barangkali saya akan membuat tulisan khusus tentang beliau, tentu setelah mempelajari karya-karyanya.
Terima kasih sudah membaca.