BANDUNG - Pada 2010 yang lalu, puluhan anak SMP Muhammadiyah 1 Program Khusus Boyolali, Jawa Tengah, melakukan kegiatan yang tidak biasa. Walaupun bukan kegiatan utama sekolah, anak-anak disana melakukannya dengan khusyu dan bergembira.
Usut punya usut, mereka melakukan do’a bersama untuk saudara-saudara lain yang tertimpa bencana. Mereka, sekaligus mengetuk hati publik untuk turut peduli pada sesama anak sekolah dan guru-guru.
Gerakan sosial ini merupakan refleksi dari sikap empati anak-anak, untuk meringankan beban mereka yang ditimpa bencana baik banjir, longsor, atau yang lainnya. Sejak SMP, mereka ingin menunjukkan kepedulian dan belajar berbagi. Bahkan dengan kegiatan yang penggalangan dana, setidaknya mereka sudah menjadi bagian dari solusi.
Apa yang dilakukan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Program Khusus Boyolali tersebut, hanyalah satu dari sekian banyak komunitas masyarakat yang melakukan hal serupa.
Di berbagai kota, kita hampir selalu menemukan kegiatan penggalangan sumbangan, baik yang dilakukan secara tradisional maupun yang modern seperti langsung transfer atau dengan aplikasi tertentu. Kegiatan-kegiatan seperti itu dalam konteks hidup bernegara, tentu saja sangat positif sekali. Bahwa sesama pelajar, mereka saling berbagi.
Kegiatan itu pun sesungguhnya menjadi bagian dari salah satu metode belajar, untuk mengasah karakter anak agar selalu peka dengan penderitaan orang lain. Dengan terbiasa mengasah kepekaan, dan terlibat dalam kegiatan sosial, dipastikan akan membentuk karakter anak yang lebih baik.
Selain warga negara, kepedulian yang sama juga kalau kita memperhatikan pemberitaan secara detail di berbagai media, juga dibuktikan oleh pemerintah. Mendikbud misalnya, dalam konteks bencana yang terjadi di berbagai tempat di tanah air pada awal-awal Januari tahun ini, menyampaikan komitmennya yang sangat kongkrit. Bahkan bisa dibilang sangat membahagiakan para guru.
Kabar yang dimaksud yaitu terkait dengan gaji, tunjangan, dan sertifikasi para guru yang tertimpa bencana. Pemerintah paham, persoalan guru yang tertimpa bencana tidak sederhana. Ada kewajiban-kewajiban pendidikan yang mungkin sedikit terabaikan, karena harus berjibaku dengan urusan pribadi dan keluarganya.
Kondisi tersebut menunjukkan rasa empati dari seorang menteri pendidikan dan kebudayaan atas penderitaan para guru. Ketika para guru yang tertimpa bencana kemudian untuk sementara waktu tidak menunaikan kewajibannya seperti mengajar, maka Mas Menteri memakluminya.
Salah satu bentuk konkrit dari permakluman tersebut, mengizinkan para guru untuk sementara tidak mengajar, tetapi gaji, tunjangan dan sertifikasi tetap diberikan secara utuh.
Janji tersebut disyiarkan dan tersebar di berbagai media. Bahkan selain itu, pemerintah juga berjanji untuk melakukan rehabilitasi sekolah yang rusak terkena dampak bencana, termasuk menyediakan fasilitas edukasi lain yang juga ikut hancur, seperti peralatan elektronik, buku dan fasilitas laboratorium.
Sudah menjadi karakter bangsa Indonesia, hidup gotong royong dalam menghadapi berbagai persoalan bersama. Dalam kasus bencana yang melanda berbagai daerah, yang juga berakibat pada dunia pendidikan, banyak sekali masyarakat yang turut peduli. Bahkan di sini pemerintah juga menunjukkan rasa empatinya yang sangat tinggi.
Dengan semakin banyaknya orang yang peduli terhadap para guru dan dunia pendidikan, diharapkan bencana yang melanda sebagian Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya, tidak menyurutkan para guru untuk terus menjadi sumber motivasi bagi anak didiknya. Sehingga guru sebagai pusat inovasi seperti yang diinginkan oleh Mas Menteri tetap tercapai.***
Penulis: Roni Tabroni
Aktivitas: Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah.