JAKARTA -- Tahlil, secara harfiah, merujuk pada pembacaan kalimat la ilaha illa Allah atau dzikir untuk mengingat Allah. Dalam ajaran Islam, tahlil merupakan amalan utama yang sangat dianjurkan, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku” [Q.S. al-Baqarah (2): 152].
Ayat ini menegaskan pentingnya dzikir sebagai wujud ketaatan dan syukur kepada Allah. Selain itu, keutamaan dzikir dengan menyebut la ilaha illa Allah juga dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW:
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa mengucapkan la ilaha illa Allahu wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir sebanyak seratus kali dalam sehari, maka itu setara dengan memerdekakan sepuluh budak, dicatatkan seratus kebaikan, dihapuskan seratus kejahatan, dan menjadi perisai dari setan hingga petang. Tidak ada yang lebih utama dari amalan ini kecuali orang yang melakukan lebih banyak. Dan barang siapa mengucapkan subhanallah wa bihamdih sebanyak seratus kali dalam sehari, dosa-dosanya dihapus meskipun sebanyak buih di lautan” [H.R. Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691].
Hadis ini menegaskan bahwa dzikir memiliki nilai ibadah yang luar biasa, bahkan mampu menghapus dosa dan melindungi pelakunya dari godaan setan.
Namun, dalam konteks masyarakat Indonesia, tahlilan sering dipahami sebagai ritual keagamaan untuk mendoakan orang yang meninggal, melibatkan pembacaan tawasul, surah-surah Al-Qur’an seperti Yasin, dzikir, dan ditutup dengan doa.
Praktik ini menjadi khilafiyah, yakni memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian menganggapnya sebagai amalan yang baik, sementara sebagian lain, seperti Muhammadiyah, memandangnya tidak memiliki dasar yang kuat dalam syariat, terutama terkait pelaksanaannya di tempat kematian.
Lalu, bagaimana sikap seorang Muslim, khususnya yang mengikuti paham Muhammadiyah, ketika mendapat undangan tahlilan?
Pertama, Menolak dengan Sopan Berdasarkan Keyakinan Agama
Sikap paling ideal bagi seorang anggota Muhammadiyah adalah meminta izin untuk tidak menghadiri tahlilan dengan menjelaskan bahwa paham agama yang diyakini tidak membolehkan praktik tahlilan untuk kematian.
Sikap ini mencerminkan keteguhan dalam memegang prinsip agama, sekaligus menunjukkan ketaatan pada ajaran yang diyakini benar. Penolakan dapat disampaikan dengan santun, misalnya dengan mengungkapkan rasa terima kasih atas undangan dan menjelaskan alasan ketidakhadiran secara bijaksana.
Kedua, Hadir dengan Sikap Pasif Jika Terpaksa
Jika situasi tidak memungkinkan untuk menolak undangan, misalnya karena alasan sosial atau untuk menjaga hubungan baik dengan tuan rumah, seseorang dapat menghadiri acara tahlilan namun bersikap pasif. Artinya, ia tidak ikut serta dalam ritual yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinannya, seperti pembacaan tahlil atau doa-doa tertentu.
Kehadiran dalam kapasitas ini lebih sebagai bentuk penghormatan kepada yang mengundang, bukan pengakuan terhadap ritualnya. Namun, cara pertama tetap lebih diutamakan karena lebih konsisten dengan prinsip agama.
Ketiga, Pendekatan Persuasif untuk Memberikan Pemahaman
Alternatif lain adalah menghindari undangan tahlilan dengan cara yang persuasif, bukan konfrontatif. Caranya, dekati seseorang yang dipercaya atau memiliki pengaruh di lingkungan penyelenggara tahlilan, lalu jelaskan dengan santun paham agama yang kita anut terkait tahlilan.
Misalnya, sampaikan bahwa kita menghormati tradisi tersebut, tetapi keyakinan kita lebih mengutamakan doa pribadi atau amalan lain untuk mendoakan almarhum. Orang tersebut dapat diminta untuk menyampaikan penjelasan kita kepada pihak penyelenggara, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman atau menyakiti perasaan.
Pendekatan ini tidak hanya membantu kita menghindari tahlilan, tetapi juga membuka ruang dialog untuk memberikan pemahaman tentang pandangan agama yang kita pegang.
Dalam menghadapi undangan tahlilan, sikap seorang Muslim harus mencerminkan keseimbangan antara keteguhan akidah dan akhlak mulia. Menghormati tradisi orang lain tidak berarti harus mengorbankan keyakinan pribadi.
Dengan komunikasi yang bijak dan sikap yang santun, perbedaan pandangan dapat dikelola tanpa menimbulkan konflik. Sebagaimana diajarkan dalam Islam, menjaga silaturahmi dan harmoni sosial adalah nilai luhur, namun tidak boleh mengorbankan prinsip keimanan yang diyakini benar.
Referensi: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Menyikapi Undangan Tahlilan Menurut Muhammadiyah”, Majalah Suara Muhammadiyah No 07 Tahun 2022.