Iklan

buku

Iklan

buku
,

Iklan

Ini Pendapat Muhammadiyah Tentang Tawasul

Redaksi
Senin, 30 Juni 2025, 16:09 WIB Last Updated 2025-06-30T09:09:23Z
buku


YOGYAKARTA –
Dalam pengajian Tarjih yang digelar oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Rabu (18/06), Anggota Majelis Asep Sholahudin menegaskan pentingnya memahami dan mempraktikkan tawasul sesuai ajaran Al-Qur’an dan hadis.


Asep memaparkan bahwa tawasul yang disyariatkan harus berlandaskan pada dalil yang sahih, seperti menggunakan asmaul husna, amal saleh, atau meminta doa dari orang saleh yang masih hidup. Ia juga memperingatkan bahwa praktik tawasul yang melibatkan orang yang sudah meninggal, seperti meminta pertolongan di makam, dapat mengarah pada perbuatan syirik, yang merupakan dosa besar dalam Islam.


Asep menjelaskan bahwa istilah tawasul berkaitan erat dengan konsep wasilah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Maidah ayat 35: “Wabtaghu ilaihil wasilata” (carilah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah). Ayat ini menjadi landasan utama yang menegaskan bahwa setiap muslim diperintahkan untuk mencari jalan mendekat kepada Allah dengan cara yang sesuai syariat.


Namun, Asep mengungkapkan bahwa hingga kini, Muhammadiyah belum memiliki buku khusus yang membahas tawasul secara mendalam. Oleh karena itu, pembahasan dalam pengajian ini lebih menitikberatkan pada rujukan primer, yaitu Al-Qur’an dan hadis, serta interpretasi yang sesuai dengan manhaj tarjih Muhammadiyah.


Asep memaparkan bahwa tawasul yang disyariatkan memiliki beberapa bentuk. Pertama, berdoa dengan menyebut asmaul husna, sebagaimana dianjurkan dalam Surah Al-A’raf ayat 180: “Walillahil asmaul husna fad’u biha” (Allah memiliki nama-nama yang indah, berdoalah dengan nama-nama tersebut). Dalam praktiknya, seorang muslim dianjurkan menyebut nama Allah yang relevan dengan doa yang dipanjatkan, misalnya “Ya Razzaq” untuk memohon rezeki atau “Ya Ghaffar” untuk meminta ampunan.


Kedua, tawasul dapat dilakukan melalui amal saleh yang menjadi ciri khas seseorang. Asep mencontohkan kisah tiga orang yang terkurung dalam gua, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis, yang doanya dikabulkan berkat amal saleh masing-masing, seperti membantu orang lain atau menjaga keimanan.


Ketiga, tawasul dapat dilakukan dengan meminta doa dari orang saleh yang masih hidup, seperti memohon doa dari seorang ustaz atau kiai untuk keberhasilan suatu hajat. Namun, ia menegaskan bahwa meminta doa dari orang yang sudah meninggal, termasuk di makam wali atau ulama, tidak dibenarkan karena bertentangan dengan ajaran tauhid.


Asep juga menyoroti fenomena di masyarakat, di mana praktik tawasul sering kali bercampur dengan tradisi yang tidak memiliki dasar syariat. Salah satu contohnya adalah ziarah kubur yang disertai permintaan pertolongan kepada orang yang sudah meninggal. Ia menjelaskan bahwa ziarah kubur diperbolehkan untuk mendoakan, bukan meminta doa, sebagaimana praktik yang diajarkan Rasulullah SAW.


“Kewajiban kita terhadap orang yang sudah meninggal adalah mendoakan, bukan meminta pertolongan, karena itu mustahil,” tegasnya. Ia juga memperingatkan bahwa praktik semacam ini, meskipun tampak sederhana, dapat mengarah pada syirik besar (syirkul akbar), yang membahayakan akidah seorang muslim.


Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta mengangkat isu tentang pandangan ulama di luar Muhammadiyah yang menganggap tawasul kepada orang meninggal sebagai praktik yang diperbolehkan, meskipun tanpa dalil yang sahih.


Menanggapi hal ini, Asep menyebutkan bahwa fenomena tersebut sering kali muncul akibat sikap taklid buta, di mana umat menerima ajaran tanpa memverifikasi kebenarannya. Ia menegaskan bahwa Muhammadiyah mendorong sikap ittiba, yaitu mengikuti ajaran yang memiliki dasar Al-Qur’an dan hadis yang sahih, serta menghindari taklid yang dapat menyesatkan.


Pertanyaan lain dari peserta daring menyinggung soal bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, yang kadang dianggap sebagai bentuk tawasul kepada orang yang sudah wafat.


Asep menjelaskan bahwa shalawat adalah ibadah yang disyariatkan dan memiliki dalil jelas, seperti perintah Allah dalam Surah Al-Ahzab ayat 56. Shalawat berbeda dengan meminta pertolongan dari orang meninggal, karena tujuannya adalah memohon syafaat dan keberkahan, bukan menjadikan Nabi sebagai perantara langsung dalam doa.


Melalui pengajian ini, Muhammadiyah berharap umat dapat memahami tawasul dengan lebih baik dan menerapkannya sesuai syariat. Asep menekankan pentingnya literasi keagamaan untuk menghindari penyimpangan akidah, terutama dalam isu sensitif seperti tawasul.*** (MHMD)

Iklan

PMB Uhamka