Iklan

Iklan

,

Iklan

Gen Z dan TikTok: Kelelahan Algoritmik di Era Digital

Redaksi
Kamis, 04 Desember 2025, 10:58 WIB Last Updated 2025-12-04T03:58:49Z


Oleh: SUKRON ABDILAH,
Penulis dan Ideapreneur


JAKARTA, Muhammadiyah Good News || Sebagai generasi milenial karena lahir tahun 82an, ada juga generasi yang katanya paling adaptif terhadap teknologi, tapi paling tidak adaptif terhadap ketenangan batin. Generasi yang tidak bisa hidup tanpa Wi-Fi, tapi juga tidak bisa hidup dengan terlalu banyak notifikasi. Mereka adalah generasi Z, yang popular dengan istilah “Gen Z”.

Kalau kamu juga Gen Z, kamu tahu betul bagaimana rasanya membuka TikTok “sebentar” lalu sadar dua jam kemudian kamu sudah tahu cara memasak pasta ala Korea, tips skincare dari dokter palsu, dan teori konspirasi kenapa kucing sebenarnya alien. TikTok bukan sekadar aplikasi. Ia adalah semesta paralel tempat kita menertawakan hidup, merenungkan eksistensi, dan—ironisnya—melarikan diri dari dunia nyata sambil pura-pura produktif.


Scroll Tidak Berujung


Saya masih ingat waktu pertama kali download aplikasi TikTok di Play Store. Waktu itu, saya bilang ke diri sendiri, “Cuma pengin lihat tren aja, kok.” Kalimat paling bohong sepanjang sejarah modern. Tiga jam kemudian saya sudah hafal semua koreografi Renegade, dan algoritma.Akhirnya,  TikTok sudah hafal semua kelemahan mental-ku.


Awalnya cuma nonton video lucu. Tapi lama-lama, menemukan sesuatu yang lebih dalam: semacam cermin sosial yang memperlihatkan siapa kita sebenarnya—atau siapa yang ingin kita tampilkan. Di dunia nyata, saya sering diam, tapi di TikTok aku bisa voice over pemikiran absurd seperti “Apakah tanaman juga overthinking saat tidak disiram?” dan anehnya… ribuan orang relate.


Menurut data We Are Social (2025), 87 persen Gen Z di Indonesia menggunakan TikTok setiap minggu, dan rata-rata waktu tonton mencapai 115 menit per hari. Itu dua kali lebih lama dari rata-rata waktu makan, dan lima kali lebih lama dari waktu merenung soal masa depan.


Sebuah studi dari Pew Research (2024) juga menunjukkan bahwa 62 persen Gen Z merasa media sosial membuat mereka lebih kreatif, tapi 58 persen juga merasa media sosial memperburuk kesehatan mental mereka. Sebuah paradoks yang sempurna—kita hidup dalam dunia yang membuat kita sekaligus terinspirasi dan insecure pada saat yang sama. Jujur saja, saya pernah di fase itu: ngerasa hidupku “biasa-biasa aja” setelah nonton vlog orang yang morning routine-nya penuh lilin aromaterapi dan jurnal syukur, padahal aku aja bangun masih bingung ini hari apa.


TikTok punya kemampuan mistis: ia tahu apa yang kamu pikirkan sebelum kamu tahu. Saya pernah nonton satu video tentang burnout, dan tiga jam kemudian FYP-ku penuh dengan konten “cara mengatasi burnout”, “tanda kamu overthinking”, dan “lagu yang bikin nangis jam 2 pagi.”


Algoritma TikTok seperti terapis digital yang sok tahu—memberimu saran tanpa kamu minta. Tapi di sisi lain, ia juga membangun ruang keintiman baru. Saya menemukan banyak hal dari TikTok: tips karier, edukasi finansial, bahkan diskusi filosofis tentang “absurditas eksistensi modern”. TikTok bukan cuma hiburan. Ia adalah cultural classroom tempat kita belajar bahasa internet, tren global, dan humor yang sering kali lebih jujur dari politik.


Namun, tidak semua hal yang viral membawa makna. Kadang merasa kita semua sedang berkompetisi untuk jadi versi terbaik dari diri yang bahkan tidak nyata. Saya pernah membuat satu video reflektif soal “generasi yang kehilangan arah tapi tetap berusaha tertawa”—dan tanpa sengaja, video itu viral. Ironisnya, komentar paling banyak justru, “Filter apa tuh, Kak?”


Itulah media sosial: tempat di mana pesan eksistensial bisa kalah populer dengan efek visual. Dan saya sadar, bagian tersulit dari menjadi Gen Z bukan soal teknologi, tapi soal membedakan “diri yang asli” dengan “diri yang diatur cahaya ring light”.


Menurut survei Deloitte (2024), 71 persen Gen Z merasa tekanan untuk selalu terlihat ‘baik-baik saja’ di media sosial. Padahal, kalau semua orang terlihat bahagia, siapa yang sebenarnya sedang menangis di balik filter “soft glow”?


Kreativitas dan Kelelahan Digital


Sebagai bagian dari generasi yang disebut paling kreatif, mereka (Gen Z) sering merasa harus terus nge-update sesuatu. Bukan karena ingin pamer, tapi karena takut tertinggal. FOMO bukan cuma perasaan—ia sudah jadi sistem saraf. Saya pernah mencoba digital detox, tapi kemudian merasa… ketinggalan dunia. Saat kembali, ternyata tren “NPC live” sudah lewat, dan sekarang orang-orang malah jadi “Live AI girlfriend.” Dunia berubah lebih cepat dari kemampuan kita mencerna perubahan itu.


Namun, di tengah kelelahan itu, saya juga belajar sesuatu: kreativitas Gen Z bukan datang dari teknologi, tapi dari kemampuan mentertawakan absurditas hidup digital ini. Kita bisa membuat lelucon dari segala hal—dari krisis ekonomi sampai quarter-life crisis—dan tetap menemukan keindahan di baliknya.


Di sisi lain, TikTok juga menjadi tempat terapi publik. Banyak yang berbagi kisah tentang kesehatan mental, trauma keluarga, atau perjalanan spiritual mereka—dan untuk pertama kalinya, generasi ini merasa tidak sendirian. Saya masih ingat satu video yang mengubah cara pandangku. Seorang kreator berkata: “Kamu tidak harus viral untuk valid.”


Kalimat sederhana itu menamparku dengan lembut. Sebab di dunia algoritmik ini, kita terlalu sering mengukur makna diri dari angka likes, bukan dari ketulusan proses. Dan mungkin di situ letak tantangan besar Gen Z: bagaimana menjadi otentik di dunia yang serba terukur.


Suatu sore, saya duduk di kafe sambil scroll TikTok. Di seberang meja, dua orang juga sibuk merekam kopi mereka. Rasanya seperti adegan dari film Black Mirror yang tidak pernah berakhir. Tapi di tengah keanehan itu, aku juga tersenyum—karena begitulah cara kita beradaptasi dengan dunia: dengan tawa, estetika, dan sedikit ironi.


Media sosial tidak sepenuhnya buruk. Ia seperti cermin yang memantulkan sisi terbaik dan terburuk kita. Dan TikTok, entah bagaimana, berhasil jadi ruang di mana kreativitas, keresahan, dan harapan bisa menari bersama dalam 15 detik. Kadang saya berpikir, mungkin sejarah masa depan akan mengenang kita bukan sebagai “generasi rebahan”, tapi sebagai “generasi reflektif”—mereka yang belajar memahami diri lewat layar kecil di tangan mereka.


Kita tidak sempurna, tapi kita sadar. Kita mungkin sering tersesat di algoritma, tapi kita juga tahu cara menertawakannya. Dan mungkin, itu yang membuat kita tetap manusia di tengah dunia yang semakin digital. Karena pada akhirnya, menjadi Gen Z di era TikTok bukan tentang mengikuti tren, tapi tentang menemukan irama sendiri di tengah kebisingan. Kadang viral, kadang tenggelam. Kadang tertawa, kadang merenung. Tapi selalu mencoba memahami: siapa diri kita—di balik semua scroll, like, dan loop tanpa akhir itu.


Akhir kalam, saya mungkin masih akan terus scroll TikTok malam ini. Tapi kali ini, bukan untuk kabur dari realitas—melainkan untuk memahami realitas dengan cara yang lebih jujur, lebih lucu, dan sedikit lebih manusiawi. Karena kalau dipikir-pikir, hidup ini memang seperti FYP: tidak selalu bisa kita kendalikan, tapi selalu bisa kita nikmati—asal tahu kapan harus swipe up dan kapan harus berhenti sejenak untuk melihat ke dalam diri. ***

Iklan