Iklan

Iklan

,

Iklan

Muhammadiyah itu NU: Dokumen Fiqh yang Terlupakan

Redaksi
Sabtu, 22 Juli 2023, 08:10 WIB Last Updated 2023-07-22T01:10:33Z


JAKARTA
- Buku "Muhammadiyah itu NU" mencoba menggali kembali dokumentasi Fiqh yang terlupakan, dengan tujuan membangun kebersamaan/keutuhan ummat Islam di Indonesia. Tapi ada beberapa catatan yang harus kita kaji bersama dalam konteks ini:


Pertama, Muhammadiyah lahir tahun 1912, 14 tahun sebelum NU didirikan. 


Corak keagamaan Masyarakat Muslim di jawa kala itu memang sudah begitu (mulai dari Qunut, bacaan Iftitah, tahlilan, shalawat, dzikir dan sebagainya) doktrin FiqHiyah sudah cukup mapan. Logikanya, keberadaan doktrin Fiqih tersebut jauh lebih dahulu ketimbang Muhammadiyah dan NU. Maka istilah Muhammadiyah itu NU perlu di kaji secara historis.


NU hanya meneruskan tradisi yang ada. Sejak awal, Masyarakat jawa sudah terbiasa dengan tahlilan, yasinan, sholat subuh dengan Qunut, tarawih 21 rakaat, dan lain-lain. Itulah mengapa, jumlah pengikut/simpatisan NU hingga sekarang jauh lebih banyak dari Muhammadiyah karena doktrin Fiqiyah yang diterapkan NU sudah mapan di Masyarakat. Sementara Muhammadiyah kala itu, disebut-sebut sangat kosmopolite.


Kedua, Gerakan awal Muhammadiyah memang tidak terfokus pada doktrin Fiqhiyah. 


KH. Ahmad Dahlan, justru sibuk mengurusi PKO (Penolong kesengsaraan Oemoem) dan fokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian terhadap kaum pinggiran (Mustad’afin). Sehingga, pembaharuan dalam periode awal Muhammadiyah lebih pada tafsir sosial kegamaan, karena itu hal yang sangat urgen ketimbang mereformasi pemahaman fiqih.


Konsep Ibadah-Amaliyah Muhammadiyah yang ‘berbeda’ dari kitab Fiqh awal itu baru terlaksana ketika Muhammadiyah di pimpin oleh KH. Ibrahim yang mendirikan Majelis tarjih pada tahun 1928 dan diketuai oleh KH. Mas Mansur. Muhammadiyah adalah gerakan pembaharu (tajdid), maka bila ada upaya untuk merformasi tatanan fiqiyah, adalah hal yang wajar-wajar saja.


Mari kita buat sebuah asumsi. Awalnya KH. Ahmad Dahlan menentang ajaran Islam jawa seperti selametan (7 harian hingga 1.000 harian) bukan atas dasar fiqiyah. Merujuk pada novel sang pencerah, KH. Ahmad Dahlan (yang saat itu masih bernama Darwis) merasa sedih mendengar Ibunya Pono – teman dekatnya — berutang hanya untuk melaksanakan acara tahlilan. 


Padahal, kala itu masyarakat jawa sebagian besar miskin. Maka ia mengambil satu pemikiran: “Kenapa Islam itu memberatkan?” Akhirnya, KH. Ahmad Dahlan mulai menentang berbagai doktrin fiqHiyah yang memberatkan ummat. Ia menolak sesaji, tahlilan, hingga mereformasi arah kiblat. 


Hal itu ia lakukan sebelum mendirikan Muhammadiyah. Namun, ketika mendirikan Muhammadiyah, fokus gerakannya tidak terkonsentrasi masalah fiqih ibadah, melainkan tafsir sosial keagamaan terutama QS. Al Maun. Kitab "Fiqh jilid telu" sendiri baru di terbitkan sekitar tahun 1924, satu tahun setelah KH. Ahmad Dahlan wafat, dan dua tahun sebelum NU didirikan.


Ketiga, sebagai organisasi pembaharu, wajar-wajar saja jika Muhammadiyah kemudian melakukan pembaharuan masalah fiqh. 


Hal ini juga semakin meneguhkan upaya Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu yang fokus di berbagai bidang, tidak hanya gerakan sosial melainkan juga keagamaan. Apalagi, corak keagamaan masyarakat jawa kala itu masih sangat akulturatif dengan budaya hindu-budha.


Berdasarkan statement yang pernah dilontarkan oleh Prof. Yunahar Ilyas, Muhammadiyah bukan Dahlaniyah. Muhammadiyah adalah pengikut Nabi Muhammad, seorang Nabi yang telah melakukan reformasi dari berbagai segi; agama, budaya, politik, sosial. 


Bukan pengikut KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan hanyalah pendiri. Justru dengan adanya reformasi fiqhiyah tersebut, menunjukkan kedewasaan kader serta pengurus Muhammadiyah. Apalagi, reformasi fiqih tersebut bertujuan untuk melakukan purifikasi (pemurnian) dan menisbahkan pada sumber/dalil yang kuat.


Maka istilah "Muhammadiyah itu NU" yang menjadi judul buku tersebut, agaknya perlu di koreksi. Istilah yang sebenarnya justru mereduksi makna Muhammadiyah sebagai organisasi tajdid (pembaharuan). 


Apalagi, di Muhammadiyah tidak mengenal istilah pengultusan tokoh, termasuk kepada KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri. Bisa saja mengoreksi ulang gerakan Muhammadiyah karena tantangan zaman yang berbeda. Apakah Muhammadiyah harus mengikuti "kitab fiqh jilid telu"? Sementara PP sudah membuat hasil pembaharuan fiqhiyah dalam bentuk HPT (Himpunan Putusan Tarjih)?


Upaya untuk mempersatukan Muhammadiyah dan NU tentu tidak harus mencari "titik persamaan". Bisa saja berbeda, namun sebisa mungkin memunculkan kedewasaan dengan memahami dalil/sumber masing-masing. 


Hingga kini, Muhammadiyah akan tetap adzan shalat jum’at satu kali, shalat subuh tanpa qunut, membaca basamalah dalam surat alfatiha bi sirri, tidak mengenal budaya tahlilan, tidak mengenal budaya dzikir bersama-sama, dan seabrek perbedaan furuiyah lainnya dengan NU yang memang mengokomodir tradisi itu dengan semboyan: "Al-muhafadzatu ala Qodimis shalih wal-akhdzu bil jadidil aslah."


Keduanya tidak harus sama, bisa berbeda. Hanya saja, antara Muhammadiyah dan NU bisa berjalan dalam rel masing-masing. Tidak harus mencoba mereduksi pemahaman keagamaan salah satu diantara keduanya. Istilah populernya, win win solution. Pemahaman itu harus dibangun dalam semangat kedewasaan, bukan persamaan atau pemaksaan untuk disamakan.


Namun hadirnya buku ini kembali mengingatkan kita semua akan budaya tajdid di Muhammadiyah yang dulu sangat gencar. Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah hari ini? agaknya buku ini secara tidak langsung menjadi oto-kritik bagi Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu Islam tertua di Indonesia. Gerakan pembaharuan terjadi ketika ada telaah kritis dan kemerdekaan berfikir (lepas dari budaya taqliq baik dari tokoh tertentu maupun budaya).


Dalam buku yang ditulis Dr. Haedar Nashir berjudul "Muhammadiyah Gerakan pembaharuan", pada halaman 185 tertulis : “Maka kembang bersinarlah agama Islam karena kemerdekaan berfikir. Dan setelah itu, muramlah cahayanya karena kemerdekaan berfikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwa kembalinya kebesaran dan kemegahan Islam, sangatlah bergantung pada kembalinya kemerdekaan berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali dan mengorek hikmah agama dari berbagai segi.”


Kutipan di atas diambil dari dokumen resmi Muhammadiyah tahun 1954 ketika Muhammadiyah dipimpin oleh AR Sutan Mansur. Menurut Buya Syafii Maarif, dokumen tersebut sudah dibahas sejak kepemimpinan Ki Bagus Hadi kusumo. Ini berarti, adanya reformasi fiqih tersebut merupakan wujud "kebebasan berfikir" dari segi ibadah-amaliyah yang akhirnya memberikan ruang ‘kebebasan berfikir’ lainnya dan membuat Muhammadiyah semakin besar hingga sekarang.


Muhammadiyah besar bukan dari basis massa, melainkan basis amal usaha yang meliputi ratusan perguruan tinggi, puluhan ribu sekolahan, ratusan rumah sakit dan yang tak kalah penting adalah ribuan jurnal atau buku ilmiah yang berisi pemikiran kritis dan solutif untuk ummat. Jika tidak adanya "kemerdekaan berfikir" dan tetap taqliq pada sesepuh, bagaimana mungkin pencapaian yang fenomenal tersebut akan terjadi? Apalagi kehidupan bersifat dinamis.


Akhirnya, buku "Muhammadiyah itu NU" hanya bisa menjadi informasi tambahan bagi sejarah pembukuan di Muhammadiyah. Karena dari sifat keorganisasian, Muhammadiyah membolehkan adanya pembaharuan baik dari berbagai segi, selama itu dalam rangka meninggikan dan mencitrakan Islam sebenar-benarnya dan Islam yang berkemajuan yang telah lama menjadi jargon gerakan Muhammadiyah.


Semoga, upaya untuk menggaungkan kembali gerakan ‘kebebasan berfikir’ dalam Muhammadiyah bisa terakomodir dengan baik. Agar antara satu kader dengan kader yang lain tidak saling menjustice salah-benar. Kita membutuhkan telaah kritis dari pemikiran kader-kader kita, terutama di jalan persyarikatan yang mulai menapaki abad kedua ini. wallohu’alam. (***)


Penulis: A Fahrizal Aziz, Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang 2013-2014.

Iklan