JAKARTA -- Sebagai salah satu pilar utama dalam agama Islam, salat memiliki ketentuan khusus ketika umat muslim berada dalam perjalanan. Tradisi Salat Jamak-Qashar, yang melibatkan pengqasharan dan pengjamaan salat, memiliki dasar kuat dalam tuntunan Nabi Muhammad saw dan Khulafaur Rasyidin.
Dalam riwayat hadis, tergambar jelas bahwa Nabi saw, bersama dengan Abu Bakr, Umar, dan Utsman, melaksanakan salat dalam perjalanan dengan cara yang berbeda dari salat di tempat tetap. Dalam keadaan safar, Nabi saw mengqashar salatnya dari empat rakaat menjadi dua rakaat, sebuah tindakan yang diikuti pula oleh para Khulafaur Rasyidin. Hadis yang meriwayatkan Ibn ‘Umar memberikan gambaran bahwa praktik ini tetap dipegang teguh oleh para pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi saw.
Berikut redaksi hadisnya: “Dari Hafs Ibn ‘Ashim [diriwayatkan] bahwa dia berkata, “… Aku pernah menemani Rasulullah Saw dalam perjalanan (safar), beliau melakukan salat dalam perjalanan tidak lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Aku juga pernah menemani Abu Bakar, beliau melakukan salat [dalam perjalanan] tidak lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Aku juga pernah menemani ‘Umar, beliau melakukan salat [dalam perjalanan] tidak lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Kemudian aku juga pernah menemani ‘Utsman, beliau melakukan salat [dalam perjalanan] tidak lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Dan Allah berfirman, ”Sesungguhnya pada Rasulullah itu ada suri tauladan yang baik bagimu.” [H.R. Muslim].
Ketetapan ini bukan hanya mencerminkan ketaatan mereka terhadap Sunnah Rasulullah, tetapi juga menjadi landasan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk dalam aktivitas perjalanan. Hadis yang menceritakan pengqasharan salat dalam perjalanan sejauh tiga mil atau tiga farsakh oleh Anas Ibn Malik memberikan pedoman konkret mengenai jarak yang dapat dianggap sebagai perjalanan dalam konteks ini.
“Dari Yahya Ibn Yazid al-Huna’i [diriwayatkan bahwa] dia berkata: Aku bertanya kepada Anas Ibn Malik perihal mengqasar salat. Anas menjawab: Adalah Rasulullah Saw jika bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh beliau salat dua rakaat.” [H.R. Muslim].
Selain qashar, Salat Jamak-Qashar juga mencakup kemungkinan untuk menjamak dua salat dalam satu waktu, yaitu menyatukan salat Zuhur dan Asar dan menyatukan salat Isya dan Magrib. Riwayat hadis dari Anas Ibn Malik memperkuat praktik ini, menunjukkan bahwa Rasulullah saw melaksanakannya dalam perjalanan.
“Dari Anas Ibn Malik [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Adalah Rasulullah Saw menjamak salat Zuhur dan Asar dan salat Magrib dan Isya dalam perjalanan.” [H.R. Ahmad, dan disahihkan oleh al-Arna’uth].
Penting untuk diingat bahwa Salat Jamak-Qashar bukanlah semata-mata keringanan, melainkan sebuah tindakan yang memiliki dasar hukum yang kuat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini memberikan keleluasaan kepada umat Islam dalam memenuhi kewajiban ibadah mereka, terutama ketika berada dalam mobilitas atau perjalanan.
Dengan meneladani tradisi Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dalam Salat Jamak-Qashar, umat Islam dapat menemukan keseimbangan antara ketaatan terhadap agama dan keberlanjutan aktivitas sehari-hari. Praktik ini menjadi bukti nyata bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam hal pelaksanaan ibadah, yang selaras dengan prinsip keadilan dan kebijaksanaan.*** (MHMD)
Referensi: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Berita Resmi Muhammadiyah: Tanfidz Keputusan Munas Tarjih XXVIII, (Yogyakarta: Gramasurya, 2015).