JAKARTA -- Bermula dari gerakan Islam, Muhammadiyah saat ini telah menjelma menjadi kekuatan dakwah, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, dan politik yang konkret. Mukti Ali menyebut sebagai gerakan dzuu wujuuh.
Dikatakan konkret karena Muhammadiyah benar-benar memiliki amal usaha nyata di bidang-bidang itu, kecuali dalam ranah politik yang minus partai politik (baca: tidak memiliki amal usaha politik).
Dengan kata lain, saluran politik Muhammadiyah tidak diartikulasikan dalam wujud pendirian partai politik. Meskipun demikian, harus segera ditambahkan bahwa ada sebagian elite pimpinan Muhammadiyah yang terlibat dan melibatkan diri dalam aktivitas kepartaian.
Misalnya: Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah saat ini adalah mantan ketua Litbang Golkar dan Amien Rais mengundurkan diri dari Ketua PP Muhammadiyah untuk terjun ke kancah politik praktis dengan mendirikan PAN.
Secara normatif, konstruksi ideal relasi Muhammadiyah dan politik sudah cukup terang. Khitah 1971 hasil Muktamar Muhammadiyah Ke-38 di Ujungpandang masih berlaku dan menjadi pegangan kuat warga Muhammadiyah dalam berpolitik hingga saat ini.
Khitah 1971 menandaskan bahwa “Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan manusia dan masyarakat dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun”.
Diktum itu sangat jelas, Muhammadiyah tidak menghimpitkan diri dan berhimpitan dengan partai politik manapun. Kalau Muhammadiyah tidak memiliki artikulasi partai politik, pertanyaannya adalah, bagaimana wujud dakwah politik Muhammadiyah untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara? Pertanyaan selanjutnya, sudah efektifkah pilihan strategi politik yang dilakukan Muhammadiyah selama ini?
Ada dua sebutan untuk menamai artikulasi dakwah politik Muhammadiyah, yaitu: high politics yang diperkenalkan Amien Rais, untuk membedakannya dengan low politics sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik (Maarif, UQ/1995) dan allocative politics, untuk membedakan dengan constitutional politics, model Din Syamsuddin (Din Syamsuddin,1990).
Keduanya menunjukkan idealisme politik Muhammadiyah, yaitu politik adiluhung yang berpayung amal saleh sebagai terjemahan dari semangat dakwah amar ma’ruf nahi munkar untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bukan untuk menempati kekuasaan di legislatif ataupun eksekutif sebagaimana dilakukan partai politik.
Secara teoritis, konsep politik alokatif yang diperkenalkan Din Syamsuddin dipinjam dari David Easton. Politik alokatif adalah kegiatan politik untuk mengalokasikan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat untuk dikontribusikan ke dalam proses politik yang sedang berlangsung. Dalam konteks Muhammadiyah, politik alokatif adalah mengambil bentuk pengalokasian prinsip-prinsip Islam untuk dikontribusikan ke dalam proses politik pembangunan (baca: politik kebangsaan) berdasarkan Pancasila (Din Syamsuddin, 1990).
Di tingkat normatif, sampai saat ini pilihan politik alokatif menjadi sebuah keniscayaan bagi persyarikatan. Gagasan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik tampaknya belum memperoleh tempat yang memadai dan sulit diterima oleh akal sehat di internal keluarga besar Muhammadiyah.
Mempertimbangkan kecenderungan tersebut di atas, maka tulisan ini akan mencurahkan perhatian pada bagaimana memperkuat daya tawar Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan masyarakat sipil dalam menjalankan politik alokatif.
Ibarat sebuah mobil, elite/pimpinan Muhammadiyah adalah sopirnya. Ia harus mahir dan lincah mengendarai; tahu persis kapan harus menginjak gas dan kapan pula harus menginjak rem sehingga kendaraan dapat melaju dengan kecepatan tinggi, tetapi tetap memperhitungkan keselamatan penumpangnya.
Kondisi kendaraan dan situasi jalan juga harus menjadi dasar pertimbangan pengemudi dalam menjalankan kendaraannya. Senafas dengan ilustrasi tersebut, supaya memiliki daya tawar yang memadai, pengemudi (elite pimpinan) Muhammadiyah juga harus lincah dalam melakukan diplomasi dan lobi sehingga nilai-nilai Islam yang akan dialokasikan itu dapat dipahami dan diterima oleh pemegang tampuk kekuasaan.
Selanjutnya, pemegang otoritas kekuasaan itulah yang akan mengeksekusinya dalam bentuk tindakan politik. Untuk mendiskusikan penguatan politik alokatif ini akan lebih terang bila didahului dengan perbincangan tentang persentuhan Muhammadiyah dan politik.
Pergumulan Muhammadiyah di Gelanggang Politik
Pergumulan Muhammadiyah di gelanggang politik sungguh unik. Dikatakan unik karena meskipun corak hubungan Muhammadiyah dan politik bersifat fluktuatif, Muhammadiyah dalam sejarahnya belum pernah bermetamorfosa menjadi partai politik.
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, membangun komunikasi yang intensif dengan kekuatan-kekuatan politik saat itu, yaitu Budi Utomo dan Syarikat Islam. Meskipun memiliki kedekatan dengan elite kedua kekuatan politik itu, tetapi KH Ahmad Dahlan tidak berminat untuk berada di puncak pimpinannya.
Kedekatan itu untuk mempermudah saluran-saluran (alokasi nilai-nilai) dakwah di kedua kekuatan politik tersebut. Pengutamaan pendekatan dakwah dengan cara damai, bersifat kultural, juga sangat menonjol ketika berhadapan dengan penganut agama lain.
Meskipun ada tesis yang menyebutkan bahwa Muhammadiyah hadir untuk membendung gelombang kristenisasi yang semakin agresif (Alwi Shihab, 1998), upaya itu tidak dilakukan dengan cara kekerasan.
Terdapat begitu banyak fakta bahwa KH Ahmad Dahlan bersahabat baik dengan pastor dan pendeta bahkan tidak sungkan mengajak peserta didiknya untuk berkunjung ke gereja.
Kiai Dahlan sadar betul bahwa kunci kemajuan sedang berada di tangan mereka. Oleh karena itu, untuk memajukan umat Islam, tidak ada kata lain kecuali harus meminjam senjatanya, yaitu perkakas ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Maka tidak aneh bila amal usaha pertama yang dirintis adalah pondok modern dan atau sekolah. Muhammadiyah juga memilih bersikap akomodatif terhadap penjajah Belanda.
Salah satu bentuk artikulasi akomodatif adalah dengan mau menerima subsidi pendidikan untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dinilai berkualitas unggul oleh Belanda. Sikap Muhammadiyah ini tak pelak lagi ditentang keras oleh organisasi pergerakan kebangsaan lain. Mereka menilai sikap Muhammadiyah terlalu lunak dengan penjajah Belanda.
Penilaian itu berangsur-angsur pudar tatkala Muhammadiyah juga menentang keras kebijakan Belanda untuk menertibkan sekolah liar/swasta pada tahun 1932 (H Aqib Suminto, 1996). Dari peristiwa ini kita belajar bahwa fasilitas/bantuan yang diterima dari penguasa tidak sertamerta menghalangi untuk bersikap kritis Muhammadiyah kepada pemerintah Belanda.
Sebab, fasilitas/bantuan itu diterima secara proporsional (hanya sekolah yang berstandar) bukan untuk membeli loyalitas. Kritik yang diutarakan juga proporsional karena kebijakan itu mengganggu pertumbuhan dan perkembangan sekolah swasta berideologi kebangsaan yang memang sedang tumbuh subur bak cendawan di musim penghujan pada dekade ketiga abad kedua puluh.
Sikap dan strategi yang ditempuh Muhammadiyah itu membuktikan bahwa meskipun bukan partai politik, ternyata memiliki dampak politik yang signifikan. Sebab, menurut kajian Alfian (1989), dengan cara begitu Muhammadiyah mampu mempersiapkan infrastruktur pendidikan, sosial, kesehatan, dan keagamaan alternatif.
Sebuah haluan yang berseberangan dengan politik penjajah yang berusaha mempertahankan wilayah jajahannya. Infrastruktur alternatif yang ditawarkan Muhammadiyah mampu mengemansipasikan bangsa Indonesia.
Buah dari pilihan strategi itu, umat Islam lebih siap menyongsong dan mengisi kemerdekaan karena telah tersedia produksi sumber daya manusia yang siap tampil menjadi kelompok elite politik yang berpengaruh. Baru pada era kepemimpinan Mas Mansur (1936–1942) Muhammadiyah mengalami gelombang pasang politik.
Ahmad Syafii Maarif (1995) berpendapat, “Mas Mansur adalah pendiri kedua Muhammadiyah dalam arti telah memberi warna politik kepada gerakan Islam ini.” Penilaian Buya nampaknya tidak berlebihan.
Sebab, Mas Mansur adalah seorang bidan yang penting dalam MIAI dan PII (Partai Islam Indonesia). Hal ini terjadi karena di samping dorongan internal perserikatan, juga tuntutan keadaan kekuatan partai politik melemah, namun situasi politik meningkat (MT Arifin, 1990).
MT Arifin menambahkan bahwa pada era kepemimpinan Mas Mansur berhasil meletakkan konvensi partisipasi politik Muhammadiyah, yaitu mempertahankan Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak di bidang kemasyarakatan namun mengembangkan pula visi dan tindakan politik melalui lembaga-lembaga lain yang didasarkan atas kesambungan ideologis.
Konvensi politik inilah yang kemudian diformulasikan dengan bahasa keilmuan sebagai politik alokatif oleh Din Syamsuddin ataupun high politics dalam pandangan Amien Rais. Formulasi politik alokatif Muhammadiyah tersebut ternyata juga diartikulasikan dengan nuansa yang berlainan oleh elite pimpinan Muhammadiyah.
Bentuk artikulasi politik alokatif dalam konteks kenegaraan perlu dibaca secara jernih dan objektif. Pembacaan terhadap gerak politik alokatif Muhammadiyah bisa menjadi cermin sekaligus bahan evaluasi untuk menilai sejauh mana efektivitasnya dalam mengalokasikan nilai-nilai/moral Islam kepada para pemegang otoritas kekuasaan.
Melalui kajian intensif dan ekstensif, Syarifuddin Jurdi (2010) berhasil menemukan corak atau ciri khas kepemimpinan Muhammadiyah dalam setiap periode.
Corak kepemimpinan itu terbentuk bukan hanya karena faktor watak pribadi pemimpin persyarikatan bersangkutan, tetapi juga didorong oleh situasi politik nasional yang berkembang.
Meminjam bahasa almarhum Yasri Suleman, yang tengah merampungkan disertasi tentang kepemimpinan Muhammadiyah tetapi dipanggil Sang Khalik sebelum menyelesaikan tugas akhirnya itu, bahwa “Muhammadiyah melahirkan pimpinan sesuai dengan kebutuhan zamannya.”
Tesis Yasri Sulaiman nampaknya sangat relevan untuk memahami siklus kepemimpinan di Muhammadiyah. Pada era kepemimpinan AR Fachruddin (1968–1990) orientasi politiknya bersifat moderat dan akomodatif terhadap pemerintah.
Untuk mengalokasikan nilai-nilai Islam (baca: aspirasi politiknya) kepada penguasa (Presiden Soeharto), AR Fachruddin melakukannya dengan jalan bertemu langsung, bertatap muka, mengutamakan dialog, dan menghindari kritik terbuka.
Konon, tidak jarang dalam dialog dengan Presiden Soeharto, AR Fachruddin menggunakan bahasa Jawa krama inggil sehingga semakin mendekatkan, sekaligus mencairkan pembicaraan.
Dengan cara demikian, maka diplomasi dan lobi Muhammadiyah memiliki peluang yang besar untuk didengarkan dan diterima penguasa. Langgam kepemimpinan AR Fachruddin yang bercorak moderat-akomodatif, kemudian berubah haluan 180 derajat ketika Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Amien Rais (1994–1998).
Amien Rais bersikap kritis konstruktif terhadap pemerintah dan menyuarakan kritik secara terbuka terkait ketimpangan politik dan ekonomi. Bahkan, wacana suksesi kepemimpinan nasional yang digulirkannya kemudian terus menggelinding bagaikan bola salju sehingga membuat rezim yang berkuasa kerepotan.
Perubahan gaya kepemimpinan itu bisa dipahami mengingat pada era AR Fachruddin rezim Soeharto sedang dalam posisi yang amat kuat, begitu berkuasa. Di sebelah berbeda, ketika Amien Rais memimpin persyarikatan, rezim Soeharto sudah melemah karena ideologi pembangunan (ekonomi) yang menjadi haluan utamanya mulai mengalami anomali dan runtuh oleh gelombang krisis multidimensional.
Tentu saja pembawaan AR Fachruddin sebagai ulama, dan watak Amien Rais sebagai sosok cendekiawan ikut memberi nuansa dalam gaya kepemimpinannya. Era kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif (1998–2005) merefleksikan keinginan kuat untuk mempertahankan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bercorak sosial keagamaan dan berwatak inklusif.
Pembawaan Buya yang dingin dan intelektualis, lebih sering menyuarakan gagasannya melalui tulisan ketimbang perkataan, seolah menjadi obor bagi persyarikatan dan bangsa Indonesia yang tengah mengalami kegalauan akibat euforia kebebasan.
Di dalam tubuh persyarikatan sendiri muncul keinginan kuat dari sebagian elite agar Muhammadiyah melibatkan diri dalam kancah politik praktis. Bukan hanya itu, infiltrasi ideologi Islam lain semakin terasa hentakannya.
Dalam situasi demikian, ada keinginan kuat dari ormas dan partai Islam untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta dan melakukan daya upaya untuk memformalkan syariat Islam. Naluri politik kebangsaan Muhammadiyah muncul, Buya Syafii termasuk berada di barisan depan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terakhir, periode kepemimpinan Din Syamsuddin (2005–2010) yang masih berlangsung agaknya sulit ditebak. Namun, dari rekam jejaknya selama lima tahun terakhir sketsanya agak cukup jelas.
Dari segi pola kepemimpinan, Din Syamsuddin lebih dekat dengan gaya Amien Rais (saat memimpin persyarikatan), yaitu bersikap lugas dan berani bersuara kritiskonstruktif secara terbuka kepada pemerintah.
Dengan gaya kepemimpinan seperti itu, maka Muhammadiyah seolah-olah menjadi kekuatan oposisi sehingga mengalami kesulitan untuk berdialog dan melakukan lobi kepada pemerintah melalui cara-cara konvensional. Di tengah kebuntuan komunikasi itu, pengalokasian nilai atau aspirasi politik dilakukan dengan jalan berbeda.
Sebagai contoh, barangkali dapat kita saksikan saat “Gerakan Indonesia Bersih” melakukan konsolidasi di gedung dakwah Muhammadiyah sebelum terjun di lapangan. Cara ini nampaknya sebuah tradisi baru dalam Muhammadiyah.
Praktik Politik Alokatif
Berdasarkan paparan artikulasi politik alokatif tersebut di atas, ditemukan beragam bentuk pola kepemimpinan dan itu amat bergantung pada gaya yang melekat pada diri ketua/ketua umum. Berbeda dengan indikator keberhasilan partai politik yang bisa dilihat secara kasatmata, yaitu seberapa banyak wakilnya yang menduduki kursi di lembaga eksekutif dan legislatif. Ukuran keberhasilan politik alokatif agak sulit diukur karena berkaitan dengan pengalokasian nilai atau moral, yaitu seberapa jauh kepentingannya terakomodasikan dalam proses pengambilan keputusan politik (M Rusli Karim,1992).
Muhammadiyah akan efektif mengartikulasikan kepentingannya dalam proses pengambilan sikap politik apabila mampu merealisasikan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Kemampuan persyarikatan dalam menangani masalah intern dan ekstern; (2) Pengalaman sejarah masa lalu; (3) Tersedianya pemimpin yang memiliki kemampuan bernegosiasi dan beradaptasi dengan pihak luar; (4) Adanya program yang realistis dan jelas arah/sasarannya yang relevan dengan tuntutan masyarakat; (5) Kepemimpinan yang solid/kompak dan fleksibel; (6) Kemampuan melakukan antisipasi terhadap tren perkembangan politik, ekonomi, dan sosial budaya; (7) Dukungan dari anggota dan suprastruktur politik (M.Rusli Karim,1992).
Untuk menjalankan fungsi tersebut secara optimal, tidak ada pilihan lain, pertama-tama Muhammadiyah harus mempunyai “dapur pemikiran” yang bertugas memberi masukan dan memasok data-data faktual yang sedang menjadi tren global. Sumber daya manusia di perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) bisa memerankan tugas tersebut. Dengan cara demikian, akan menambah rasa percaya diri pimpinan Muhammadiyah dalam bernegosiasi.
Pada saat bersamaan, para pengambil keputusan politik juga akan lebih mempercayai aspirasi yang ditawarkan Muhammadiyah karena didukung dengan data yang akurat dan faktual. Kedua, mengingat proses desentralisasi kekuasaan semakin nyata, kepala daerah memiliki otoritas kekuasaan yang jauh lebih besar dari pada pemerintah pusat, maka Muhammadiyah tidak bisa lagi mengandalkan kekuatan diplomasi hanya di tingkat Pimpinan Pusat (PP).
Muhammadiyah harus mampu menyiapkan kader-kader di tingkat daerah (lokal) yang handal untuk berkomunikasi dan berdialog secara langsung dengan pemegang kekuasaan daerah setempat. Hal ini bisa dilakukan dengan jalan merintis “sekolah kepemimpinan” ataupun “kursus pengaderan politik” yang materinya berkaitan dengan persoalan tersebut.
Perlu digarisbawahi bahwa untuk mengefektifkan peran politik alokatif Muhammadiyah di masa depan kebutuhan terhadap “dapur pemikiran” sebagai pemasok ide dan “kursus kepemimpinan” sebagai produsen pemimpin yang tangguh berdiplomasi tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dengan kata lain, Muhammadiyah sudah tidak bisa lagi mengandalkan pada ketokohan ketua/ketua umum melalui “one man show” dalam melakukan lobbying, tetapi harus mengedepankan rancangan atau desain yang matang sehingga kekuatan kolektif yang lebih menonjol.
Dengan cara demikian, maka siapa pun ketua/ketua umumnya harus menyesuaikan diri kebutuhan Muhammadiyah, bukan Muhammadiyah terbawa larut ataupun menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan ketua/ketua umumnya. Nashrun minallah, wafathun karim.
Penulis: Marpuji Ali