Iklan

Iklan

,

Iklan

Syamsul Ulum

Prof Ma’mun Murod: Jalan Terjal Rektor UMJ Menggapai Sukses Guru Besar

Redaksi
Minggu, 14 April 2024, 14:58 WIB Last Updated 2024-04-14T08:01:23Z


JAKARTA --
Bagi seorang aktivis, menulis adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk menghidupkan gerakan, membumikan gagasan, dan mengabadikan sejarah. Begitu pula jalan yang ditempuh Prof. Dr. Ma’mun Murod, M.Si., yang sudah  aktif berorganisasi dan rajin menulis saat menjalankan studi program sarjana di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) beberapa dekade silam. 


Saat ditemui di Ruang Rektor Gedung Muhammadiyah Civilization Center, dosen yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini bercerita tentang karier menulisnya yang dimulai di tabloid Bestari milik UMM. Sambil disertai tawa kecil, Ma’mun mengenang dapat honor Rp.15.000 atas tulisannya yang dimuat di kolom-kolom kecil.


“Tulisan saya pernah juga antara tahun 1992-1993 tulisan saya dimuat di Suara Muhammadiyah, judulnya Gaza Jericho First. Setelah itu saya cukup tersanjung saat tulisan saya dimuat di koran Pelita, koran yang hebat, media Islam, skala nasional. Sekali kirim tulisan saya langsung dimuat dan menjadi kolom tunggal. Ada kebanggaan luar biasa,. Saya copy (lembaran koran) dan dibagi-bagikan di kelas,” kenang Ma’mun.


Semakin gemar menulis, semakin banyak pula tulisan yang coba dikirim Ma’mun ke koran lokal. Saat studi S2 di Universitas Airlangga, tulisannya mulai tembus ke media nasional seperti Jawapos dan beberapa media lainnya.


“Saya berterima kasih pada Mas Maksum, redaktur opini Jawapos yang banyak memberikan saya kesempatan untuk menulis. Bahkan tulisan saya pernah juga jadi kolom tunggal, waktu itu membahas soal PPP sekitar 1997an,” ungkap dosen kelahiran Brebes, 13 Juni 1973 ini.


Media lainnya yang juga pernah menerbitkan tulisan Ma’mun di antaranya Fajar Sulsel, Koran Sindo, Kedaulatan Rakyat Yogya, Solopos, Suara Muhammadiyah, Matan, dan Republika. Salah satu pengalaman menulis yang berkesan bagi Ma’mun adalah ketika pertama kali mengirim tulisan dan menjadi kolom tunggal di Koran Sindo pada awal tahun 2000an dengan judul tulisan “Gus Dur dan Kiai Kampung”.


Tulisan-tulisannya sering yang berkaitan dengan isu politik, meskipun sebetulnya Ma’mun merupakan mahasiswa Program Studi Kesejahteraan Sosial UMM. Passion‘nya bukan di Kesos, katanya, melainkan di Ilmu Politik. Maka dari itu tulisan-tulisannya dominan bertema politik.


“Passion saya politik. Walaupun, kuliah di Prodi Kesos, saya malah menulis skripsi bidang ilmu politik. Itu atas kebesaran jiwa Dekan FISIP yang menjadi pembimbing saya waktu itu. Beliau bisa paham. Saya sampaikan ke Beliau, rasanya tidak mungkin menulis masalah Kesos dan bahkan saya sudah mencari data-data tentang politik kiyai. Akhirnya karena sama-sama masih rumpun sosial, Beliau membolehkan saya menulis skripsi tentang itu,” kenang kader yang aktif di IMM mulai dari Komisariat hingga DPP ini.


Ma’mun adalah kader Muhammadiyah yang berlatar keluarga Nahdlatul Ulama. Ketertarikannya terhadap dunia politik telah tumbuh sejak kecil karena sering mendengar cerita dari Pakde-nya yang aktif di PPP dan sebelumnya pernah di Golkar. Ia bercerita bahwa Pakde yang saat itu tinggal di Jakarta beberapa kali keluar-masuk penjara dan saat pulang kampung, Ma’mun banyak mendapat cerita tentang situasi politik yang terjadi di Jakarta. 


Bahkan saat kecil dulu ia mengetahui isu-isu tentang penurunan Presiden Soeharto yang tidak hanya didukung oleh gerakan mahasiswa tapi juga pengusaha. Dosen yang dikenal dengan nama Ma’mun Murod Al-Barbasy ini juga mengenal aktivitas politik dari ibunya yang aktif di PPP. Ibu yang lahir dan besar di pedesaan (bahkan Ma’mun menyebutnya ‘kampung’), sering mengajaknya ikut dalam kampanye PPP pada jelang Pemilu 1982 dan nyaris tidak pernah absen. 


Dengan ukuran masyarakat perdesaan, baginya, kampanye saat itu dilakukan dengan semarak luar biasa. Alumni MA Negeri Tambakberas Jombang Jatim ini menggambarkan suasana kampanye yang dipenuhi alat peraga kampanye berbentuk ka’bah yang dipasang di tiang-tiang. Seluruh alat peraga itu dibuat sendiri secara swadaya, memperlihatkan bahwa ibunya dan masyarakat di Brebes saat itu memiliki militansi kuat meskipun tidak cukup memiliki pengetahuan politik karena media tidak seperti sekarang. 


Ketertarikan ayah dari tiga orang anak ini terhadap bidang ilmu sosial terutama politik juga semakin terasah karena sejak kecil sudah gemar membaca buku. Bahkan dirinya memiliki koleksi buku dilengkapi stempel pribadi untuk menandakan buku-buku miliknya. Stempel itu kemudian jadi penyebab Ma’mun mengalami pengalaman yang tidak dapat dilupakan dalam hidupnya. Pengalaman itu bermula saat Ma’mun dipanggil Kepala Sekolah karena ada dua orang polisi datang dan mencarinya. Kedatangan polisi ini untuk mengusut fotokopian artikel majalah tentang kristenisasi yang ditempel di tiang-tiang listrik. Dan di siti ada stempel nama Ma’mun.


“Waktu itu pola pikir saya masih sangat skriptualis. Saya pernah membaca tulisan di sebuah media dakwah tentang kristenisasi, saya fotokopi dan saya sebarkan. Saya masih ingat waktu itu hari Kamis, karena saya rutin puasa Senin-Kamis. Saya tempel lembaran fotokopi tulisan itu di tiang-tiang listrik. Saat pasang itu, saya tidak sadar ada stempel saya ikut tercetak,” tutur dosen yang menyelesaikan studi  Program Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia ini.


Saat masuk ke Ruang Kepala Sekolah yang sudah ada dua polisi, Ma’mun langsung ditampar oleh Kepala Sekolah dan membuat matanya berkaca-kaca. Kejadian itu memaksa Abahnya segera datang. Padahal Abah sangat jarang menjenguk putranya di Jombang, tempat SMA Ma’mun berada. 


Ma’mun bertutur bahwa kedatangan abah ke Jombang dapat dihitung dengan jari. Menurutnya, Abah sudah sangat paham bagaimana karakter anaknya. Bahkan sejak sebelum masuk SMA, Ma’mun sering mendapat nasihat dari Abah agar selalu berhati-hati. 


Orang tua Ma’mun yaitu Abah H. Ibrahim (alm.) dan Ibu Hj. Salamah, tidak pernah melarang putranya menjadi seorang aktivis, melainkan sudah sangat paham dan memberikan dukungan. Selama masa hidup, almarhum Abah menjadi teman diskusi bagi Ma’mun apabila sedang menghabiskan waktu liburan semester di rumah, Brebes. Malam yang waktunya tidak lebih dari 12 jam itu menjadi malam panjang yang berkualitas bagi ayah dan anak, karena diisi dengan obrolan politik. Hampir setiap malam diisi dengan diskusi.


Prof. Ma’mun Murod, M.Si., menjadi aktivis mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang. Jiwa aktivis dalam diri Ma’mun terbentuk alami. Semasa kuliah, berbagai macam organisasi diikuti olehnya, mulai dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang dirintis dari Komisariat FISIP UMM hingga Dewan Pimpinan Pusat, dan Pemuda Muhammadiyah. 


Beberapa organisasi lain yang diikuti di antaranya Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Pimpinan Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, dan lain-lain. Semakin mengenal lebih dalam, pandangannya tentang politik juga semakin berkembang. Dari sebelumnya melihat politik secara normatif, hingga kini melihat politik yang lebih luas lagi.


“Dulu pikirannya normatif saja. Saat ini, politik itu pragmatis. Itu yang membuat kita sulit memahami. Realitasnya kita disuruh untuk bersahabat dengan politik dalam arti sebenarnya yang sekarang tidak normatif,” katanya.


Meskipun begitu, Ma’mun tetap tertarik untuk terjun di dunia politik praktis. Menurutnya politik praktis adalah wahana untuk menguji dirinya. Beberapa nama partai seperti Partai Matahari Bangsa, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional, menjadi kendaraan politiknya. Bahkan tidak hanya sekadar kendaraan, Ma’mun bersama angkatan muda Muhammadiyah mendirikan Partai Matahari Bangsa pada 2006. Pembetukan partai tersebut kemudian terbit dalam sebuah buku berjudul Sejarah Berdirinya Partai Matahari Bangsa pada 2008.


“Politik tidak cukup hanya di kampus. Ini untuk uji iman dan uji teori. Haruslah terjun hanya saja emang risiko politik liberal ini tidak memungkinkan terjun politik tanpa uang. Saya pernah jadi caleg dari Partai Matahari Bangsa, kami serius waktu itu mau mewarnai politik Indonesia. Tapi realitasnya itu tidak sama, jauh berbeda dengan yang diajarkan di kampus. Yang pasti saya tidak pernah menyesal terjun di politik. Saya terpanggil dan terdorong karena yang terlibat dulu di BPUPK itu profesor-profesor, kalangan cendekia yang membaca dan terlibat dalam politik. Sekarang kan terlalu banyak praktik dan miskin literatur, kecuali memang politisi yang pernah menjadi aktivis akan berbeda dibanding dengan yang nol,” ungkapnya.


Keyakinan itu masih dipegang teguh olehnya sampai saat ini. Bahkan saat duduk sebagai Rektor UMJ. Menurutnya, menjadi rektor berarti menjadi petugas yang melakukan kerja politik untuk menjalankan kebijakan-kebijakan. Ma’mun yang sebelumnya pernah menjadi Dekan FISIP UMJ ini juga meyakini bahwa rektor adalah kalangan paling bebas dalam berbicara. Terlebih saat meraih gelar Guru Besar, meskipun Ma’mun meyakini gelar tersebut adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang berprofesi sebagai dosen.


“Ketika seseorang sudah jadi profesor, sudah menyelesaikan pendidikan paling akhir itu kadang jadi beban akademik dan beban moral. Tentu menjadi Guru Besar di bidang Ilmu Politik, saya dituntut untuk beradaptasi dan memberikan respon tentang perkembangan politik. Sementara itu, realitas politik sekarang sperti ini. Itu menjadi tantangan saya untuk memberikan respon yang konstruktif,” ungkapnya menutup sesi wawancara.


Sumber: umj.ac.id

Penulis : Dinar Meidiana

Editor   : Tria Patrianti 

Iklan