Iklan

Iklan

,

Iklan

Abdul Kahar Muzakkir, Tokoh Muhammadiyah Perumus Pancasila

Redaksi
Kamis, 30 Mei 2024, 09:12 WIB Last Updated 2024-05-30T02:14:11Z


JAKARTA --
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas pada Senin (27/5) ketika kultum Bakda Salat Duhur di Kantor PP Muhammadiyah di Yogyakarta berpesan supaya tidak melupakan peran-peran besar yang dilakukan oleh pendahulu, khususnya tokoh Muhammadiyah yang telah berkorban banyak untuk negara dan bangsa Indonesia. Busyro waktu itu menyebut nama yang jarang terdengar ketika Hari Kelahiran Pancasila – padahal tokoh itu merupakan salah satu aktor yang membidani lahirnya Pancasila, tokoh itu adalah Abdul Kahar Muzakkir.


Tokoh Muhammadiyah kelahiran 16 September 1907 di Kota Yogyakarta ini dalam penuturan Busyro adalah sosok yang sederhana, namun kaya spiritualitasnya. 


Ketika menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Pak Kahar (sapaan akrab Abdul Kahar Muzakkir) seringkali naik andong dari rumahnya sampai kampus yang berada di Jl. Cik Ditiro, Kota Yogyakarta. Kesederhanaan ini merupakan warisan tokoh Muhammadiyah yang perlu ditradisikan oleh kader-kader Persyarikatan Muhammadiyah. 


Dalam Ensiklopedia Muhammadiyah 2.0 yang diterbitkan Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah (2022) disebutkan bahwa Pak Kahar membentuk Panitia Perencana Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Panitia itu terdiri Mr. Suwandi, Dr. Ahmad Ramali, KH. Mas Mansur, KH. Wahid Hasyim, KH, Farid Ma’ruf, KH. Fathurrahman Kafrawi, dan Kartosudarmo. 


Perhatian Pak Kahar dalam dunia pendidikan diwujudkan dengan mendirikan STI bersama tujuh tokoh itu, STI berhasil dibuka pada 8 Juli 1945 di Gedung Kantor Imigrasi Pusat, Gondangdia, Jakarta. STI ini menjadi cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.


Selain itu, Pak Kahar juga menjadi pelopor pendirian Akademi Tabligh Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1958. Akademi ini kemudian bertransformasi menjadi FIAD Muhammadiyah, dan akhirnya menjadi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Selanjutnya ketika menjabat sebagai Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah yang merupakan institusi pendidikan integrasi dengan Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah (lembaga pendidikan khusus perempuan), Pak Kahar menggagas pendidikan tinggi khusus perempuan. Munculnya gagasan itu berawal dari Muktamar ‘Aisyiyah 1962, pada Muktamar tersebut Pak Kahar menyampaikan enam argumentasi untuk berdirinya pendidikan tinggi khusus perempuan (M. Joko Susilo & Junanah, 2021).


Dirujuk dari sumber yang sama, perhatian Pak Kahar tidak hanya diwujudkan dalam institusi pendidikan formal – perguruan tinggi, tapi juga pada 1939 Pak Kahar menjadi salah satu perwakilan Indonesia yang diundang ke Jepang untuk menghadiri Konferensi Kebudayaan Islam atau Kaikiyo Seinen Taishintai. 


Konferensi ini melahirkan Barisan Hizbullah sebagai organisasi sayap dari Masyumi. Pak Kahar turut menginisiasi Pendidikan dan Latihan  Barisan Hizbullah yang dilaksanakan pada 28 Februari 1945 di Cibarusa, Bogor. Sebelum itu, Pak Kahar ketika Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Pak Kahar juga membidani pendidikan khusus di bidang pembinaan mental pada Angkatan Perang Sabil (APS). 


Pak Kahar juga menginisiasi perintisan Ma’had Islamy yaitu yayasan pesantren yang didirikan untuk mengajarkan Agama Islam dan akhlak merujuk kitab-kitab salaf. Termasuk pendidikan informal lain seperti pendidikan politik selama menempuh pendidikan di Timur Tengah pada rentang waktu 1925 sampai 1936, selama masa studi tersebut Pak Kahar aktif bersama tokoh-tokoh intelektual lain memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, termasuk kemerdekaan Palestina dengan prinsip dasar menghapuskan penjajahan di atas muka bumi.


Pak Kahar Sang Diplomat


Mu’arif dalam Suara Muhammadiyah (2023) menyebut Pak Kahar ketika masih menjadi mahasiswa di Universitas Darul Ulum Mesir bergabung dengan gerakan yang dipimpin oleh Muhammad Amin Al Husaini untuk menghentikan imigrasi yang dilakukan oleh Orang Yahudi ke Palestina pasca keputusan politik luar negeri Inggris Raya pada 2 November 1917. Kemampuan berbahasa asing seperti Bahasa Arab, Inggris, Belanda, Jerman, Hebrew, dan Suryani memudahkan Pak Kahar dalam berdiplomasi.


Sebagai respon, umat Islam pun kemudian menggelar Kongres Islam Dunia di Yerusalem pada Desember 1931. Dihadiri 130 delegasi dari 22 negara muslim di dunia, kongres merupakan perintah dari Mufti Agung Yerusalem, Muhammad Amin al-Husaini dan pemimpin Komite Kekhalifahan India, Maulana Shaukat Ali. Pak Kahar muda waktu itu diminta datang karena selama menjadi mahasiswa Al-Azhar pada 1925, dirinya memiliki popularitas yang besar di dunia Islam karena keaktifannya menyuarakan semangat anti penjajahan dan upaya kemerdekaan bagi Indonesia dan Malaysia di berbagai surat kabar Mesir seperti al-Ahram, al-Balagh, dan al-Hayat. Saat usia 24 tahun kemudian Pak Kahar menjadi ketua perwakilan umat Islam dari Asia Tenggara. 


Pak Kahar juga pernah menjabat sebagai Ketua Muktamar Alam Islam Cabang Hindia-Timur menggantikan KH. Mas Mansur. Muktamar Alam Islam merupakan forum penting yang memiliki berbagai tujuan strategis untuk kepentingan umat Islam di seluruh dunia. Dari memperkuat solidaritas dan pendidikan, mengadvokasi kemerdekaan dan keadilan, hingga mempromosikan perdamaian dan hak asasi manusia, muktamar ini berperan vital dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi oleh umat Islam.


Perumus Dasar Negara Pancasila 


Abdul Kahar Muzakkir, Anggota Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1946-1973 juga Panitia Sembilan yang bertugas untuk merumuskan dasar negara sebagai pijakan negara merdeka, merupakan sosok aktivis dan diplomat ulung. Kepiawaiannya tidak hanya diakui di Indonesia – ketika ikut menjadi penentu dalam perumusan Pancasila, tapi juga kiprahnya di dunia internasional – seperti usaha dalam memerdekakan Palestina dan menghapus penjajahan di atas dunia. 


Ketika menjadi anggota Panitia Sembilan, sebagai seorang akademisi dan pemimpin Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakir memberikan pandangan-pandangan intelektual yang mendukung pengembangan konsep Pancasila. Ia berusaha memastikan bahwa dasar negara Indonesia mencerminkan nilai-nilai moral dan agama yang kuat, sekaligus mampu mengakomodasi keragaman budaya dan agama di Indonesia.


Menjelang Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Abdul Kahar Muzakkir bersama Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan Pembukaan Hukum Dasar atau Preambule UUD 1945. Panitia Sembilan ini dibentuk setelah Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengalami kebutuhan dalam perdebatan tentang dasar negara Indonesia yang baru merdeka ini. 


Sebagaimana diketahui dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara berjalan begitu alot yang melibatkan kelompok nasionalis dan agamis. Kunci dari disepakatinya sila-sila yang ada di Pancasila saat itu ada di tangan Ki Bagus Hadikusumo anggota BPUPKI yang juga Ketua Muhammadiyah. Ki Bagus saat itu masih keukeuh dengan sila pertama sesuai dengan rumusan Piagam Jakarta “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.


Meski Pak Kahar gagal membujuk Ki Bagus, namun Ki Bagus luluh ketika dibujuk oleh Mr. Kasman Singodimedjo yang juga kader Muhammadiyah. Namun peran Pak Kahar dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumbangan atau wakaf tokoh Muhammadiyah supaya Indonesia menjadi negara yang dibangun atas dasar ke-Tuhanan, adil, sejahtera, bermartabat, dan inklusif terhadap semua golongan.***(MHMD)

Iklan