Oleh: SUKRON ABDILAH, CEO MGN Media Publika
JAKARTA, Muhammadiyah Good News || Di tengah riuh dunia digital yang kian menelan batas ruang dan waktu, suara-suara dari berbagai arah berdesakan mencari pendengar.
Namun di antara kebisingan itu, ada satu suara yang tetap mencoba menjaga maknanya—suara dakwah, suara nilai, suara pencerahan. Di ruang-ruang maya, suara itu kini hadir dalam bentuk baru: suara digital Muhammadiyah.
Dari Mimbar ke Media Sosial
Dulu, suara Muhammadiyah terdengar dari mimbar-mimbar masjid, ruang-ruang pengajian, dan halaman-halaman sekolah. Kini, suara itu menembus batas geografis lewat podcast, YouTube channel, unggahan Instagram, bahkan thread di X (Twitter). Transformasi ini bukan sekadar perubahan medium, tetapi perubahan cara pandang terhadap dakwah itu sendiri.
Suatu ketika, seorang guru muda di salah satu sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta bercerita tentang bagaimana ia membuat konten short video tentang kejujuran. Ia tak menyangka, video sederhana itu ditonton ribuan kali dan menjadi bahan diskusi di kelas daring. “Saya merasa, dakwah tidak lagi hanya di podium,” katanya, “tapi juga di timeline.”
Di sinilah titik baliknya: Muhammadiyah bukan hanya bergerak di dunia nyata, tetapi juga di dunia naratif digital.
Etos Rasional dan Etika Digital
Sebagai gerakan Islam yang tumbuh dengan semangat rasional dan berkemajuan, Muhammadiyah menghadapi tantangan unik di era algoritma. Di satu sisi, media sosial menawarkan ruang luas untuk menyebarkan nilai. Namun di sisi lain, ia mengandung risiko banjir informasi, misinformasi, dan reduksi makna.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana menjaga “akal sehat” Muhammadiyah di ruang digital? Jawabannya terletak pada etika dan literasi. Suara digital Muhammadiyah tidak boleh hanya lantang, tetapi juga bernas dan beradab. Ia harus mampu menembus algoritma tanpa kehilangan makna. Dakwah digital tidak sekadar mengutip ayat, tetapi juga membangun konteks. Tidak sekadar berbicara keras, tetapi berbicara benar.
Teknologi sebagai Amal Usaha Baru
Jika rumah sakit, sekolah, dan universitas menjadi amal usaha abad ke-20, maka ruang digital bisa menjadi amal usaha abad ke-21. Platform digital Muhammadiyah sejatinya bukan hanya kanal komunikasi, tetapi juga ladang amal dan ilmu. Dari aplikasi donasi berbasis AI, podcast keislaman, hingga sistem data sosial yang transparan—semua adalah wujud baru dari semangat tajdid (pembaruan).
Namun, transformasi digital ini menuntut keberanian epistemik: keberanian untuk belajar ulang, membangun ulang, dan menafsir ulang nilai-nilai lama dalam bahasa baru. Dalam konteks ini, suara digital Muhammadiyah adalah cermin dari kesanggupan untuk terus beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Renungan di Tengah Bisingnya Dunia Maya
Kadang, di sela-sela hiruk-pikuk feed dan notification, kita bisa merenung: apakah suara digital Muhammadiyah sekadar gema, ataukah ia sungguh punya gema hati? Mungkin, di sinilah letak refleksinya. Suara digital bukan tentang seberapa banyak likes yang didapat, tetapi seberapa dalam pesan itu berakar di benak dan jiwa orang-orang yang mendengarnya.
Dalam dunia yang semakin cepat, mungkin justru yang paling dibutuhkan adalah jeda. Jeda untuk berpikir, mendengar, dan memaknai. Di titik inilah suara digital Muhammadiyah menemukan relevansinya: menjadi jeda di tengah kebisingan, menjadi cahaya di tengah kabut informasi.
Suara digital Muhammadiyah bukan sekadar adaptasi terhadap zaman, tetapi ekspresi dari keyakinan lama dalam bentuk baru: bahwa dakwah adalah usaha pencerahan manusia dalam setiap konteks, termasuk konteks digital.
Di masa depan, suara itu mungkin tidak lagi keluar dari pengeras suara masjid, melainkan dari algoritma dan data. Namun selama nilai-nilainya tetap berpijak pada ilmu, iman, dan kemanusiaan, maka suara digital itu akan tetap menjadi bagian dari perjalanan panjang Muhammadiyah menuju masyarakat utama yang sebenar-benarnya.***


