
JAKARTA, Muhammadiyah Good News || Dalam kehidupan rumah tangga, perceraian sering kali menjadi pintu terakhir ketika segala upaya mempertahankan pernikahan tidak lagi mungkin dilakukan. Namun, di Indonesia, proses cerai tidak sesederhana ucapan “Aku ceraikan kamu.”
Menurut peraturan perundang-undangan, talak baru sah apabila diikrarkan di depan sidang pengadilan. Lantas bagaimana jika seorang suami menjatuhkan talak di luar sidang pengadilan? Apakah talaknya tetap jatuh menurut syariat Islam?
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (yang kini telah diperbarui menjadi UU No. 3 Tahun 2006) menegaskan:
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Artinya, perceraian harus diproses secara hukum, baik melalui permohonan suami (cerai talak) maupun gugatan istri (cerai gugat). Perceraian tidak bisa dilakukan secara sepihak atau sembarangan.
Majelis Tarjih dan Tajdid menegaskan bahwa meskipun perceraian termasuk wilayah hukum privat, dampaknya sangat luas: menyangkut ketenteraman keluarga, nasib anak-anak, dan kepastian hukum dalam masyarakat. Karena itu, pengaturan hukum diperlukan agar tercipta kemaslahatan sosial.
Talak dalam Pandangan Syariat
Islam memang tidak menutup pintu perceraian. Namun, Nabi Muhammad Saw mengingatkan bahwa perceraian bukanlah perkara ringan. Dalam sebuah hadis disebutkan:
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
“Perkara halal yang paling dibenci Allah Ta‘ala adalah talak.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Hadis ini menegaskan bahwa walaupun talak itu halal, tapi sangat tidak disukai oleh Allah. Karenanya, umat Islam tidak boleh mempermudah urusan perceraian tanpa alasan yang jelas dan proses yang tertib.
Dalam fikih klasik, suami memang memiliki hak luas untuk menjatuhkan talak di mana saja dan kapan saja. Begitu talak diucapkan, maka jatuhlah perceraian itu. Namun dalam konteks masyarakat modern, praktik seperti ini menimbulkan banyak persoalan: hilangnya kepastian hukum, kerugian bagi istri dan anak, hingga kekacauan administratif di masyarakat.
Karena itu, ijtihad hukum Islam modern — seperti tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 115 dan 123 — menetapkan bahwa perceraian hanya sah apabila dilakukan di depan sidang pengadilan, dan baru dinyatakan resmi sejak talak diikrarkan di sana.
Kebijakan ini merupakan bentuk tahawwul al-hukm (perubahan hukum) yang sah secara syariat. Dalam kaidah fikih disebutkan:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الأَزْمَانِ
“Tidak diingkari adanya perubahan hukum karena perubahan zaman.” (Qawā‘id al-Fiqh, h. 113)
Perubahan ini bukanlah penyimpangan dari syariat, tetapi bagian dari semangat Islam yang selalu mempertimbangkan kemaslahatan umat. Seperti dikatakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah:
تَغَيُّرُ الْفَتْوَى وَاخْتِلَافُهَا بِحَسَبِ تَغَيُّرِ الأَزْمِنَةِ وَالأَمْكِنَةِ وَالأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَالْعَوَائِدِ
“Fatwa bisa berubah dan berbeda-beda sesuai perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan adat istiadat.” (I‘lam al-Muwaqqi‘in, Juz III, h. 3)
Para ulama maqāṣid al-syarī‘ah menjelaskan bahwa semua hukum Islam bertujuan untuk menghadirkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 107)
Dengan demikian, aturan bahwa talak harus diucapkan di depan pengadilan sejatinya adalah bagian dari rahmat itu—untuk melindungi keluarga, memberi kepastian hukum, dan menutup jalan bagi kerusakan sosial (sadduz-zarī‘ah).
Pandangan Ulama Muhammadiyah
K.H. Ahmad Azhar Basyir, mantan Ketua Majelis Tarjih dan PP Muhammadiyah, menegaskan bahwa perceraian di muka pengadilan lebih sesuai dengan ruh Islam. Ia berkata:
“Perceraian yang dilakukan di muka pengadilan lebih menjamin kesesuaiannya dengan pedoman Islam, sebab sebelum ada keputusan, terlebih dahulu dilakukan penelitian apakah alasan-alasannya cukup kuat. Dengan demikian, pengadilan dapat bertindak sebagai hakam (penengah) sebelum mengambil keputusan.” (Hukum Perkawinan Islam, h. 83–84)
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa dengan pertimbangan maslahat mursalah, tidak ada keberatan bagi negara untuk mewajibkan setiap perceraian melalui pengadilan. Hal ini justru sejalan dengan semangat syariat untuk menegakkan ketertiban dan keadilan.
Dari berbagai pertimbangan fikih, hukum positif, dan maqāṣid al-syarī‘ah, dapat disimpulkan bahwa:
Perceraian wajib dilakukan melalui pengadilan. Cerai talak harus diucapkan di depan sidang pengadilan, dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. Talak di luar sidang pengadilan tidak sah. Karena berpotensi menimbulkan mudarat dan kekacauan hukum, maka ia termasuk tindakan yang harus dicegah berdasarkan prinsip sadduz-zarī‘ah.
Dengan demikian, hukum Indonesia yang mengatur bahwa talak harus diikrarkan di depan pengadilan bukan bertentangan dengan syariat, justru merupakan bentuk penerapan nilai-nilai Islam yang paling substantif: menjaga kemaslahatan, menegakkan keadilan, dan mencegah kerusakan.
Referensi: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Perceraian di luar Sidang Pengadilan”, Majalah Suara Muhammadiyah No.12 Tahun 2007.


