Oleh: Achmad Jainuri, Koordinator Bidang Pendidikan PWM Jawa Timur
Siklus munculnya mujaddid setiap seratus tahun ini didasarkan pada Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: ”sesungguhnya Allah akan membangkitkan pada kaum ini setiap awal abad seseorang yang akan memperbaharui (paham) keagamaannya.” Mujaddid yang dimaksudkan bisa seorang maupun kelompok dan karenanya bisa berupa pembaharuan pemikiran maupun gerakan.
Tajdid, yang muncul dalam berbagai ragam gerakan pembaharuan dalam sejarah Islam, merupakan salah satu bentuk implementasi nilai ajaran Islam setelah meninggalnya Nabi. Gerakan tajdid muncul sebagai jawaban terhadap tantangan kemunduran yang dialami dan, atau jawaban terhadap tantangan kemajuan yang dicapai oleh kaum Muslimin. Tulisan ini mencoba melihat kembali peran Muhammadiyah dalam mengemban misi tajdid yang telah berjalan selama sekitar satu abad.
Rekonstruksi tajdid Muhammadiyah dilakukan tidak hanya untuk menjawab kedua tantangan seperti yang disebutkan di atas, tetapi juga didasarkan pada landasan teologis yang menyebutkan perlunya pembaharuan pada setiap seratus tahun. Kedua tantangan di atas bisa dilihat dalam diri Muhammadiyah dan akibat pembaharuan yang telah dilakukannya. Alasan perlunya tajdid gerakan Muhammadiyah didasarkan pada alur logika yang menegaskan bahwa gerakan tajdid itu tidak akan muncul sebelum tegaknya sebuah tatanan kehidupan atau kemajuan, kemudian tatanan itu rusak dan kehidupan menjadi mundur.
Telah ditegakkannya kebaikan dan kemajuan dan rusaknya kehidupan secara berurutan harus ada sebelum gerakan tajdid itu dilakukan. Pertanyaannya kemudian adalah: apa pembaharuan yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah selama satu abad ini? Mengapa Muhammadiyah perlu merekonstruksi tajdid gerakannya? apakah rekonstruksi tajdid Muhammadiyah ini diarahkan untuk menjawab tantangan kemunduruan atau tantangan kemajuan atau kedua-duanya ?
Selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan tajdid, namun sejak dekade 1980-an kritik internal muncul mempertanyakan peran pembaharuan gerakan ini. Pada periode awal para elite Muhammadiyah telah meletakkan dasar wawasan keagamaan yang liberal, menurut konteks saat itu. Wawasan dasar keagamaan ini menjadi unsur penting formulasi ideologi gerakan yang memberikan landasan untuk mengkritisi tatanan kehidupan yang ingin dirubahnya, membenarkan tujuan yang ingin dicapai, membenarkan kebijakan dan langkah praktis guna mecapai tujuan.
Dasar pandangan seperti tersebut telah mendorong munculnya semangat tajdid ke dalam berbagai aspek kehidupan dan menerima nilai-nilai modern seperti: perubahan, rasionalitas, keteraturan, orientasi jangka panjang, rajin, kerja keras, tepat waktu, hemat, dan lain sebagainya. Pada tingkat individu, ideologi ini tidak hanya membentuk watak perilaku warga Muhammadiyah yang terbuka, menerima perubahan, rasional, adaptif, dan sebagainya, yang menjadi ciri utama kemodernan seseorang, tetapi juga telah melahirkan berbagai ragam institusi sosial yang membantu mencerahkan dan menyadarkan umat bahwa kemajuan dan kebahagiaan hidup merupakan tujuan yang bisa dicapai melalui kecerdasan dan bekerja keras.
Secara institusional, pada perempat pertama abad ke-20 Muhammadiyah dikenal sebagai simbol perubahan, kemajuan, dan karenanya dikenal sebagai gerakan modern. Stereotyping keagamaan yang menempel pada diri seorang Muslim sebagai eksklusif, tertutup, dan kolot terpatahkan oleh seorang anggota Muhammadiyah yang memiliki watak rasional dan terbuka. Pandangan dunia yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia diganti dengan pandangan yang menyebutkan bahwa Islam membolehkan umatnya untuk memperoleh kebahagiaan duniawi.
Sikap keagamaan yang intolerant diganti dengan toleran; sikap budaya yang uniformitas diganti dengan pluralis; pandangan keilmuan yang membatasi pada ilmu agama diganti dengan wawasan bahwa ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu agama. Stigma sosial yang menggambarkan orang Muslim itu malas, miskin, bodoh terbantahkan oleh semangat yang dikembangkan oleh warga Muhammadiyah yang kerja keras, memiliki penghasilan, dan memiliki pengetahuan untuk menekuni profesinya. Namun, masih bisakah keberhasilan institusional dan karakteristik individual yang disebutkan di atas dipakai mengukur tingkat keberhasilan Muhammadiyah sekarang ini?
Ketidaksiapan Muhammadiyah dalam mensikapi persoalan yang berkembang saat ini akan menghilangkan jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Oleh karena itu, langkah pertama untuk mengatasi tantangan kemunduran ini adalah kembali kepada semangat dan model yang telah dibangun oleh para generasi awal Muhammadiyah. Mereka ini dipandang telah berhasil dalam meletakkan ideologi dasar dan melaksanakan program pembaharuan dalam arti yang sangat luas.
Meskipun secara kuantitatif perkembangan fisik organisasi dan amal usaha semakin bertambah sekarang ini, tetapi kualitas gagasan dan ide pembaharuan tereduksi menjadi sangat superficial dan masih terjebak pada persoalan trivial. Oleh karena itu, bisa dipahami mengapa pembaharuan pada akhirnya hanya muncul dalam pemberantasan bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Kenyataan inilah yang kemudian mendorong munculnya usaha baru (tajdid gerakan) untuk menata kembali makna dan misi Muhammadiyah yang sesungguhnya.
Kedua, rekonstruksi tajdid gerakan juga diarahkan untuk menjawab tantangan kemajuan yang dihadapi oleh Muhammadiyah. Aspek penting dari rekonstruksi ini adalah menumbuhkan kesadaran warga Muhammadiyah untuk tidak puas dengan keadaan yang ada. Mereka harus merasa sebagai kelompok yang tidak ingin mempertahankan sesuatu itu sebagaimana adanya (status quo), tetapi menjadi kelompok yang selalu peka terhadap perubahan bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Berbagai tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah sebagian merupakan problem yang muncul akibat pembaharuan yang telah dilakukannya.
Orang mengaitkan kemajuan itu dengan semakin meratanya ide dan ciri kemodernan yang dulu umumnya ditemukan di kalangan warga Muhammadiyah, tetapi sekarang ini hampir menggejala di kalangan masyarakat luas. Dalam beberapa aspek pemikiran, dari sebagian kelompok yang disebut terakhir ini bahkan ditemukan ide dan gagasan yang lebih maju atau paling tidak, responsif terhadap wacana yang berkembang terkait dengan masalah keagamaan kontemporer.
Usaha untuk memperbaharui (tajdid) gerakan telah mencapai saat yang tepat pada usia Muhammadiyah satu abad (8 Dzulhijjah 1430 H). Karena itu semangat pembaharuan mesti terus disosialisasikan. Langkah ini dilakukan dengan merumuskan kembali atau memberikan makna baru ideologi gerakan. Pikiran dasar ideologi Muhammadiyah yang dirumuskan dalam maksud dan tujuan gerakan: “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” sampai sekarang, masih menjadi acuan gerakan.
Meskipun yang disebut “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” itu belum terumuskan secara jelas, namun tidak keliru apabila disimpulkan bahwa tatanan dasar kehidupan masyarakat yang diinginkan oleh Muhammadiyah, disadari atau tidak, mengacu pada konsep pendewasaan individu warga dan pemberdayaan masyarakat sipil. Dalam masyarakat seperti ini tingkat kedewasaan, kecerdasan, dan kesadaran anggotanya merupakan modal utama untuk menata kehidupan mereka sendiri.
Masyarakat menjadi cukup dewasa untuk bisa mengatur diri sendiri, bahkan tanpa adanya sebuah pemerintahan dan negara. Karena itu penekanan pada pembenahan sumber daya manusia melalui pendidikan menjadi program utama gerakan ini. Dari karakteristik warga masyarakat seperti inilah yang nantinya diharapkan bisa memfasilitasi munculnya sebuah peradaban. Jadi dalam konteks ini peran Muhammadiyah adalah keikutsertaannya dalam proses menciptakan sebuah peradaban baru.
Sumber: https://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/12/rekonstruksi-makna-gerakan-tajdid.html