GARUT — Perkembangan Muhammadiyah di wilayah Jawa Barat telah lama menjadi diskusi menarik. Meskipun terdapat catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Muhammadiyah sudah ada di Garut sejak 1923, ini sering dianggap sebagai perkembangan yang tertinggal.
Namun, penelitian yang dilakukan Iu Rusliana dkk dengan tajuk “Para Saudagar Batik dan Pengembangan Muhammadiyah Cabang Garut, 1919-1940” mengungkapkan bahwa peran penting pedagang batik di Garut, terutama HM Djamhari, telah menjadi katalis dalam perkembangan Muhammadiyah sejak 1919.
Studi tentang peran generasi awal pedagang batik di Garut membuka mata kita pada hubungan sejarah yang tidak terpikirkan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Iu Rusliana dkk ini bertujuan untuk membongkar peran pedagang batik dalam pendirian dan perkembangan Muhammadiyah di Garut selama periode 1919 hingga 1940.
Metode sejarah yang digunakan dalam penelitian Iu Rusliana ini sangat menekankan pada penggunaan sumber-sumber primer dan sekunder, termasuk arsip-arsip berharga, publikasi, dan wawancara dengan saksi mata.
Hasilnya mengungkapkan bahwa pedagang batik memainkan peran kunci dalam pendirian Muhammadiyah di Garut dan menjadikannya sebagai pusat pendirian Muhammadiyah di Jawa Barat.
Mereka tidak hanya membangun lembaga-lembaga amal pendidikan, tetapi mengembangkan cabang-cabang Muhammadiyah di wilayah Priangan, seperti Tasikmalaya, Kuningan, Bandung, dan Sukabumi, serta di seluruh Jawa Barat.
Penting untuk dicatat bahwa pada masa itu, pedagang-pedagang batik adalah kelompok elite yang menikmati posisi sosial yang tinggi. Hal ini memungkinkan mereka untuk menjalin hubungan yang baik dengan berbagai pihak, baik dalam hal bisnis, politik, maupun dakwah.
Peran sosial pedagang batik ini menjadi kunci dalam menjembatani komunikasi dengan kelompok priyayi, pemimpin agama, dan tokoh politik pada masa itu. Dalam hal ini, pedagang batik di Garut berperan sebagai penghubung yang efektif dalam mengembangkan Muhammadiyah dan mempromosikan nilai-nilai Islam di masyarakat.
Dengan pengungkapan ini, kita dapat lebih memahami sejarah yang terkadang terlupakan dari perkembangan Muhammadiyah di Garut yang didorong oleh semangat dan kontribusi berharga dari pedagang batik yang terhormat ini.
Mereka adalah bagian tidak terpisahkan dari narasi sejarah Muhammadiyah di Jawa Barat. Peran mereka seharusnya diakui dan dihargai dalam rangka meningkatkan pemahaman kita tentang perjalanan organisasi ini.
Sejarah perkembangan Muhammadiyah di Garut pada medio 1922-1940 tidak bisa dilepaskan dari peran besar kalangan pengusaha, khususnya para saudagar batik. Peran yang dimainkan oleh para saudagar ini dalam memajukan Muhammadiyah di Garut tidak dapat dipandang sebelah mata.
Iu Rusliana melakukan wawancara eksklusif dengan tokoh Muhammadiyah Garut Endang Hadi. Berdasarkan penuturan Endang, saudagar batik di Pasar Baru Garut adalah inisiator dan penggerak utama dalam perintisan Muhammadiyah di Garut.
Mereka tidak hanya berperan sebagai penggerak, tetapi sebagai penyokong finansial yang signifikan bagi perkembangan Muhammadiyah di wilayah Priangan Timur ini.
Pada awal 1922, Muhammadiyah Garut mulai beroperasi secara de facto dan Madrasah Al-Hidayah berkembang menjadi amal usaha pertama yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah.
Setahun kemudian, tepatnya pada 30 Maret 923, Surat Keputusan (SK) dari Pimpinan Moehammadijah ditandatangani oleh KH Ibrahim (Pimpinan Muhammadiyah selepas KH Ahmad Dahlan).
Walaupun SK ini diterbitkan pada 1923, Muhammadiyah di Garut sudah diakui secara de facto sejak tahun sebelumnya.
Tidak hanya memberikan dukungan finansial, saudagar batik juga aktif dalam gerakan infak dan sedekah yang memiliki dampak besar pada perkembangan amal usaha Muhammadiyah pada periode awal ini.
Para saudagar batik ini membuat semangat gerakan Muhammadiyah sangat tinggi. Bahkan mereka mengirim utusan dalam Konferensi Bagian Tabligh di Yogyakarta pada 1927.
Peran saudagar batik di Garut tidak hanya berdampak lokal, tetapi regional. Muhammadiyah di Jawa Barat mulai berdiri di berbagai daerah dan berkembang, berkat dukungan mereka.
Mereka mengutus dan membiayai mubalig dan kiai Muhammadiyah ke berbagai daerah, termasuk Bandung dan Kuningan. Sekolah dan madrasah yang menjadi amal usaha Muhammadiyah pada masa itu juga dibangun dengan dukungan ekonomi dari kalangan saudagar batik.
Pada periode 1922 hingga 1940 ini, amal usaha Muhammadiyah di Garut ini mengalami perkembangan yang signifikan pesat.
Pendirian Madrasah Muhammadiyah, sekolah (Institute Muhammadiyah) di Jalan Ciledug, renovasi dan perluasan Masjid Lio pada 1932, dan pendirian Standaarschool Muhammadiyah di Sukaregang adalah beberapa contoh prestasi yang dicapai berkat dukungan finansial dan semangat juang para saudagar batik seperti HM Djamhari, Wangsa Eri, dan HM Amir.
Dengan peran sentral saudagar batik dalam perkembangan Muhammadiyah di Garut ini, mereka telah membantu membangun pondasi kuat untuk Persyarikatan, yang pada akhirnya juga memberikan kontribusi besar dalam perkembangan pendidikan dan dakwah Muhammadiyah di Jawa Barat.
Referensi: I. Rusliana, S.R. Selamet, and Y. Daryadi, “Para Saudagar Batik dan Pengembangan Muhammadiyah Cabang Garut, 1919-1940,” Jurnal Sejarah Citra Lekha, vol. 6, no. 2, pp. 110-118, Jan. 2022. https://doi.org/10.14710/jscl.v6i2.33610.