Sajak tak harus melulu ejawantahkan keindahan bahasa. Bagi seorang penganut realisme sosial bukan indah kata-kata yang jadi pusat daya tarik dalam bersajak; melainkan terkandung ide yang menggerakkan jasad.
Nah, redaksi sastramu.com berhasil mendapatkan simpanan berharga Sukron Abdilah. 3 sajak di bawah ini bernilai profetik karena ada semburat energi humanisasi dalam menyimpan Tuhan yang bermakna bagi diri sendiri. Tentunya tanpa melupakan manusia sekeliling.
“Wau qasam”
Wallahi Surti,
Aku tak bisa membiarkan diperbudak berhala duniawi
Wallahi Agami,
Aku tak bisa menghalangi diri membumikan ajaran suci
Wallahi Insani,
Rasa kemanusiaanku tak akan pernah mati
Wallahi Khalafi,
Keberbedaan itu tak mungkin aku caci-maki
Wallahi ya harfal ilahi,
Huruf nan Agung itu ikatkan diri bersama ilahi Rabbi
Wau qasam terus bersemayam menukik di hati
Tak kuat diri melepaskan semangat Ilahi
2008
Sufi pedesaan
sarung lama lekat di pinggang
kopiah ladus wadahi kepala
sorba putih kecoklatan melilit leher berkurap
tak menghijabnya berma’rifat pada Tuhan
seusai Subuh bergulir, ia pergi ke sawah becek
memangku cangkul di pundak
bergontai lewati jalan penuh aral menghadang
untuk menanam urat nadi kehidupan
bulir-bulir padi itu merekah
tanda keikhlasan sang sufi mengabdi pada ilahi
yang tak tertandingi mobil, HP, dan duit bergepok
dari kekuasaan yang berjabat-jabat
2008
Yasinan Mencerahkan
buku tipis sediakan segumpal pengharapan
gema tahlil mengakbarkan nama Tuhan
satu jam mata mengantuk dendangkan puji-pujian suci
setelah itu suasana ramai cengengesan anak kecil berhamburan
menghampiri sohibul hajat yang sibuk menyedekahkan panganan
nama agung Jaelani jadi wasilah buat keselamatan dunia dan akhirat
kedukaan sang mayat menerpa setiap jiwa pelayat yang sedikit berkarat
dengan dedakian dosa yang hijab-menghijabi laku lampah
andai semangat di balik surat Yaasin koe tangkap agar tak meliar
niscaya gemilang peradaban mewujud jadi satu keindahan
2008