Oleh: CEPI AUNILAH — Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Bandung
Dikisahkan bahwa pada suatu hari, Ustman bin Affan sedang beristirahat di rumahnya. Di luaran sana matahari sangat terik sehingga tida ada seorang pun yang berani keluar rumah.
Tidak berapa lama, ada seorang laki-laki terhuyung-huyung lewat di depan rumah Utsman. Sahabat nabi ini heran siapakah gerangan orang yang berani menantang panasnya matahari pada siang itu.
Sesaat kemudian, laki-laki itu muncul kembali dengan menuntun seekor sapi. Utsman melihat dan memperhatikan laki-laki tersebut. Ternyata laki-laki itu adalah Khalifah Umar bin Khattab. Utsman memanggil Umar agar berteduh di rumahnya.
”Sedang apakah gerangan engkau, wahai saudaraku?” tanya Utsman. ”Engkau sendiri mengetahuinya, bukan, kalau aku sedang menuntun sapi?,” jawab Umar.
”Sapi milik siapakah itu?” tanya Utsman penasaran karena biasanya Umar tidak memedulikan mengenai harta benda miliknya.
”Ini salah satu sapi sedekah anak-anak yatim yang tiba-tiba saja terlepas dari kandangnya dan lari ke jalanan, jadi aku mengejarnya,” jawab Umar.
”Tidak adakah orang lain yang mengurusinya? Bukankah engkau ini seorang khalifah?” tanya Utsman lagi setengah mendesak.
“Siapakah yang bersedia menebus dosaku kelak pada Hari Perhitungan? Maukah orang itu memikul tanggung jawabku di hadapan Tuhan? Kekuasaan adalah amanah, wahai saudaraku, bukan kehormatan,” tegas Umar.
Utsman menyarankan Umar beristirahat dahulu di rumahnya. Namun, sang khalifah ternyata lebih memilih melanjutkan kewajibannya.
Dengan terseok-seok dan di bawah panasnya matahari, Umar melanjutkan perjalanan diikuti oleh tatapan mata Utsman yang berurai air mata seraya berkata, ”Engkau adalah cermin bagaimana seharusnya seorang pemimpin negara berbuat dan hal itu pasti membuat berat para khalifah setelahmu.”
Umar bin Khattab adalah salah satu pemimpin saleh yang dikenal pandai menjaga amanah kepemimpinannya dengan baik.
Dia menjadikan jabatan sebagai sarana untuk mengabdi kepada Tuhannya. Jabatan yang ada di tangan tidak membuatnya sombong, apalagi sampai berkhianat. Umar rela menderita demi rakyatnya sendiri.
Bahkan dalam kisah terkenal lainnya, Umar sampai rela memanggul gandum dengan pundaknya sendiri untuk diberikan kepada salah seorang keluarga miskin yang sedang kelaparan.
Sungguh luar biasa, bukan? Khalifah yang satu ini memang tegas dan amanah. Ketika kesempatan untuk duduk di kursi kekuasaan tidak digunakan sebagaimana mestinya, pantaslah kalau balasannya adalaah celaan rakyat—terutama di media sosial.
Balasan yang sangat menyakitkan dan mengerikan, bahkan bisa berujung penjara. Itulah fenomena yang terus berulang, apalagi di zaman canggihnya teknologi saat ini ketika tidak ada sekat-sekat informasi.
Memimpin adalah bagaimana seni meniru kepemimpinan sukses di masa lampau. Peradaban yang maju tentu ada penguasa yang amanah, tegas, dan sekaligus peduli di baliknya.
Mengapa demikian? Penguasa adalah ibarat motor penggerak satu perubahan menuju kemajuan. Tidak mungkin sebuah bangsa maju kalau pemimpinnya malas-malasan.
Kisah Umar ibnu Khattab di atas adalah cermin bagaimana sebuah kepemimpinan dijalankan dengan sungguh-sungguh, mulai dari hal kecil—mencari sapi amanah anak yatim.
Pemimpin saat ini pun sejatinya bisa memulai kepemimpinannya mulai dari hal yang kecil. Jangan pernah berpikir besar tanpa mengikutkan perkara-perkara yang kecil.
Bukankah sesuatu yang besar itu awalnya kecil? Jadi, jangan meremehkan sesuatu yang kecil. Esensi seorang pemimpin adalah melayani, bukan dilayani. Bersikap tegas, tidak plin-plan.
Amanah terhadap jabatan yang diemban tanpa tujuan apa pun, kecuali kepentingan rakyat. Kemudian, bisa tegas terhadap suatu keputusan dengan segala risikonya.
Dengan begitu, kepemimpinan suatu bangsa akan maju mengalahkan bangsa-bangsa yang lain. Banyak contoh yang membuktikan hal tersebut, asalkan rajin membaca jejak sejarah.
Sesungguhnya bisa jadi amanah dan ketegasan hanya akan ada dalam kisah-kisah klasik sebuah peradaban jika penguasa sebuah bangsa saat ini tidak bisa meneladani sikap amanah dan tegas Umar. Belajarlah dari sejarah.
Jadi, sekarang pilihannya adalah mau tegas dan amanah seperti Umar ataukah mau tetap stagna seperti ini? Ini sebuah pilihan yang harus segera diambil. Semoga saja.