Iklan

Iklan

,

Iklan

Memahami Bid'ah

Redaksi
Senin, 18 Juli 2022, 17:41 WIB Last Updated 2022-09-02T14:08:06Z

Bid’ah secara bahasa berasal dari akar kata dalam bahasa Arab, yakni bada’a, artinya mengadakan (membuat) sesuatu yang baru.

Adapun dalam istilah syara, pengertian bid’ah adalah cara baru dalam perkara agama yang diserupakan syariat yang dikerjakan orang dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah dan mengharap pahala tanpa adanya dalil dalam syarak atau contoh dari Rasulullah SAW.

Dari istilah di atas dapat dipahami bahwa bid’ah dibatasi dalam hal agama (akidah dan ibadah). Kata bid’ah terdapat dalam hadits Nabi SAW, antara lain hadis riwayat Muslim dari Jabir ibnu Abdillah.

Dari Jabir bin Abdillah (diriwayatkan) ia berkata bahwasannya apabila Rasullullah SAW menyampaikan khutbah maka kedua matanya memerah, suaranya lantang, dan semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang memberikan komando pada bala tentaranya.

Beliau bersabda, "Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari tengah)."

Beliau melanjutkan sabdanya, “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, seburuk-buruk perkara adalah bid’ah, dan setiap bid'ah adalah sesat." Dalam riwayat an-Nasa’i (hadist nomor 1550) disebutkan dengan lafal, dan setiap yang sesaat adalah di neraka."

Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat tentang macam-macam bid’ah. Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi oleh perbedaan pijakan dasar. Ada yang mendasarkan kepada aspek yuridis (syarak) dan ada yang mendasarkan kepada aspek bahasa.

Menurut Asy-Syatibi (dalam kitab "Al-I’tisam" Juz I hal 34), bid’ah itu hanya ada dalam bidang agama yang sengaja dibuat menyerupai syariat dengan tujuan mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku (perbuatan) secara berlebihan, terutama dalam beribadah kepada Allah SWT.

Sementara yang berhubungan dengan adat adalah suatu cara dalam agama yang diada-adakan orang dengan tujuan bahwa adat itu dipandang menyerupai syariat. Pandangan Asy-Syatibi ini didasarkan hadits di atas.

Asy-Syatibi juga mendasarkan pandangannya kepada hadis Bukhari (nomor 5063) dari Anas bin Malik: Telah mengabarkan kepada kami Humaid bin abi Tawil bahwasannya ia mendengar Anas bin Malik berkata, ... kemudian datanglah Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, ... "Barang siapa yang tidak suka sunnahku, maka bukan termasuk golonganku," (HR Bukhari).

Dari hadis tersebut, Asy-Syatibi menyimpulkan antara lain orang yang melakukan sesuatu dalam urusan agama tanpa berlandaskan sunnah, maka jelas dirinya telah berbuat bid’ah.

Sementara itu, pendapat lain, misalnya Asy-Syaf”i, membagi bid’ah kepada bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Dipandang terpuji jika sesuatu yang baru itu tidak bertentangan dengan Al Quran atau as-Sunnah dan atsar sahabat atau ijmak sahabat. Jika sebaliknya, akan di pandang sebagai  bid’ah sayyiah/tercela.

Keterangan ini dirujuk dari kitab "Al Bida’ Al-Hauliyah" bab "Bid’ah Fii Istilah" juz 1 halalam 29 karya Abdullah bin Abdul Aziz bin Ahmad Al-Tuwaijri, kemudian bisa juga dilihat dalam kitab "Hilyatul Auliya" karya Abu Nu’aim juz 9 halalam 113 dan "Fathul Baari" juz 13 halaman 253 karya Ibnu Hajar.

Dalam kaitan ini, menurut Muhammadiyah bid’ah itu hanya ada dalam masalah akidah dan ibadah mahdlah. Namun, dalam masalah muamalah, selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat dan dapat mendatangkan maslahat bagi kehidupan–walaupun tidak ada pada zaman Rasulullah SAW–maka hal tersebut bukanlah suatu perbuatan bid’ah.***

______________________________

Sumber: Majalah SM edisi 13

Editor: Feri A

Iklan