Iklan

Iklan

,

Iklan

Islam Wasathiyah dan Persatuan Bangsa

Redaksi
Senin, 05 September 2022, 16:24 WIB Last Updated 2022-09-21T07:15:48Z


Oleh: Prof KH Dadang Kahmad,
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah


Indonesia ditakdirkan Allah menjadi negara multikultural, rakyatnya terdiri atas berbagai ragam budaya, suku, dan agama, yang bebas diekspresikan oleh penganutnya sebagai kekayaan modal bangsa yang sangat berharga.


Kondisi ini membutuhkan satu sikap dan praktik keagamaan yang bisa menempatkan keragamaan sebagai kekuatan untuk menumbuhkan optimisme menuju suatu kemajuan peradaban dalam berbangsa dan bernegara.


Indonesia adalah negara yang luar biasa, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, terdiri dari 17.000 ribu lebih pulau, 1.304 suku bangsa, dan lebih dari 700 bahasa.


Bangsa ini memang membutuhkan alat permesatu yaitu di samping ideologi negara juga teologi mayoritas bangsa perlu pemahaman keberagaman wasathiyyah yang selalu mengintegrasikan antara keislaman, kemodernan, kebangsaan, dan keindonesiaan.


Kalau tidak, bisa dibayangkan konsekuensinya sangat mengerikan, bisa saling klaim kebenaran yang ujungnya jadi perseteruan dan perpecahan.


Allah SWT berfirman: “Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umatan wasathan (umat pertengahan) agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian,” (QS Al-Baqarah [2]: 143).


Ayat di atas mengandung prinsip kehidupan yang menjadi landasan Islam, baik di ranah akidah, syariah, muamalah, maupun akhlak berdasarkan pilar “wasathiyyah” (baca: moderat, keseimbangan, dan keserasian).


Secara bahasa, kata “wasathiyyah” berasal dari kata “wasatha” yang berarti adil atau sesuatu yang berada adil atau sesuatu yang berada di pertengahan.


Sementara itu, jumhur ulama menambahkan bahwa makna “wastha” berarti pilihan (al-khiyar) atau yang paling utama (afdhal).


Hal tersebut mengindikasikan bahwa model Islam wasathiyah menjadi pilihan yang utama di tengah keragaman bangsa Indonesia sebagai salah satu upaya menciptakan keutamaan berislam.


Tiga sifat utama


Imam As-Sa’di dalam kitab “Tafsir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan” menjelaskan umatan wasathan sebagai umat yang memiliki sifat adil dan terbaik, umat yang senantiasa mengambil jalan tengah di setiap permasalahan.


Dari konsep makna tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kata “wasatha” mengandung tiga sifat utama, yakni sifat udulan (adil); tidak condong ke salah satu dua kutub ekstrem yang berbeda, bersifat khiyar (pilihan); dan afdhal (terbaik).


Dalam konteks keindonesiaan dan kebangsaan, di tengah fenomena adanya wacana dan gerakan literal, keras dan radikal di Indonesia, membuat semua makin tersadarkan untuk segera merumuskan Islam tengahan ini.


Tujuannya tentu saja supaya Indonesia tetap menjadi negara bersama, “Darul Ahdi wa Syahadah”, yang aman, tenteram, dan bahagia.


Dalam petikan Muqaddimah Anggara Dasar Muhammadiyah yang dirumuskan dan ditetapkan pada 1950 disebutkan:


“Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur, dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan, dan gotong royong; bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh setan dan hawa nafsu.”


Berdasarkan semua yang disebutkan di atas, Islam Wasathiyah adalah cara berislam yang paling sesuai dengan karakter bangsa dan masyarakat Indonesia dan sudah dipraktikkan oleh leluhur kita sejak Islam datang ke bumi pertiwi ini. 


Insyaallah akan terus dianut dan dipraktikkan oleh semua umat Islam Indonesia sepanjang masa.***


Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah

Iklan