Iklan

Iklan

,

Iklan

Kyai Haji Mas Mansoer dari Muhammadiyah Berjuang untuk Indonesia

Redaksi
Senin, 19 September 2022, 08:26 WIB Last Updated 2022-09-19T01:26:00Z


Mas Mansoer adalah salah satu tokoh Islam Indonesia terkemuka di abad ke-20. Lahir pada 25 Juni 1896 di Surabaya. Ayahnya bernama KH Mas Ahmad Marzuqi merupakan keturunan keraton Sumenep di Madura dan seorang khatib tetap di masjid Sunan Ampel di Surabaya.


Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya. Dari kedua orang tuanya, Mas Mansoer memiliki akar tradisi pesantren yang sangat kuat, sehingga hidup dalam suasana keagamaan dan adat yang begitu kental.


Pesantren dan Kitab Kuning


Mas Mansoer kecil sering menyaksikan ceramah-ceramah KH. Ahmad Dahlan di Surabaya. Ia juga menimba ilmu dari Muhammad Thaha Ndresmo berlanjut ke pesantren Demangan Bangkalan, dan tidak luput pula belajar pada Kiai Khalil untuk mendalami al-Quran dan Kitab Alfiyah Ibnu Malik.


Akrab dengan kitab kuning dan tradisi pesantren lainnya, pada tahun 1908 Mas Mansoer menunaikan ibadah haji sekaligus mukim dan belajar di Mekkah kepada Kyai Mahfudz yang berasal dari Pesantren Termas, Pacitan.


Setelah menunaikan haji, Mas Mansoer belajar di Mekkah selama empat tahun sebelum harus pindah karena semakin tidak kondusifnya situasi politik di jazirah Arab kala itu.


Pada mulanya, ayah Mas Mansoer tidak mengizinkannya pindah ke Mesir lantaran beranggapan negara di Afrika Utara itu bukan tempat yang baik untuk belajar. Namun, Mas Mansoer kali ini terpaksa untuk tidak menuruti kehendak ayahnya.


Pada tahun 1912 berangkat ke Mesir dengan menumpang kapal laut dan akhirnya diterima di Fakultas Agama Universitas Al-Azhar.


Sepulang dari Mekkah dan Mesir pada tahun 1915, Mas Mansoer mengasuh dan mengajar di Pesantren An-Najjiyah di Sidoresmo.


Selain mengajar kitab kuning di pesantren, ia juga aktif terlibat dalam pelbagai gerakan, baik yang bersifat sosial, politik, keilmuan, maupun keagamaan.


Bahkan bergabung dengan Sarekat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto dan terlibat mendirikan pusat kajian Taswirul Afkar bersama Kiai Wahab Hasbullah. Di sela-sela kesibukannya sebagai aktivis dalam dunia pergerakan pun, Mas Mansoer masih sempat berfikir kontemplatif dengan menulis di berbagai media.


Mas Mansoer dan Muhammadiyah


Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi Muhammadiyah. Awalnya anggota biasa kemudian menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, lalu menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur.


Pada tahun 1927, ia dipercayai menjadi ketua Majelis Tarjih pertama. Puncaknya dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada Oktober 1937, Mas Mansoer resmi ditunjuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.


Di bawah kepemimpinan Mas Mansoer, Persyarikatan Muhammadiyah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik dalam dakwah, pendidikan, kaderisasi, maupun dalam pergerakan nasional.


Setelah menjadi Ketua PB Muhammadiyah, Mas Mansoer mulai melakukan gebrakan politik yaitu dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).


Selain didominasi oleh aktivis Muhammadiyah, dalam MIAI juga ada Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah yang keduanya tokoh Nahdlatul Ulama (NU).


Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) tahun 1938 bersama Sukiman Wiryasanjaya. Menurut sebagian kalangan, pendirian ini dilakukan sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).


Pada 19 Maret 1939, Mas Mansoer dan R. Wiwoho mewakili partai tersebut untuk mendirikan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) bersama kaum pergerakan kebangsaan di Jakarta.


Sebagai organisasi federasi partai politik, GAPI secara aktif menuntut kepada Hindia Belanda untuk menerapkan pemerintahan demokratis bagi Indonesia. Berdasarkan anggaran dasar organisasinya, GAPI memiliki tujuan untuk: Menyatukan partai politik Indonesia dalam perjuangan kedaulatan pemerintahan Indonesia; Demokratisasi pemerintahan Indonesia; Mencegah konflik antar partai politik Indonesia dalam melakukan perjuangan kemerdekaan.


Sebagai tokoh elit politik dan pemuka agama yang disegani, Mas Mansoer juga banyak ditawari jabatan prestisius oleh pemerintahan Hindia Belanda. Misalnya, ia pernah menolak tawaran menjadi Ketua Hod van Islamietische Zaken, yaitu lembaga yang bertugas memberikan nasihat-nasihat keagamaan Islam kepada Pemerintah Hindia Belanda. 


Meski akan memperoleh gaji sebesar seribu gulden setiap bulan, setara gaji bupati kala itu, ia tetap tegak pada pendirian tidak ingin menjadi alat pemerintahan penjajah.


Ketika Jepang menggantikan kekuasaan Belanda atas Nusantara, tepatnya pada tanggal 16 April 1943, dibentuklah organisasi yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Lapangan Ikada, Jakarta.


Mas Mansoer bersama dengan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantoro ditunjuk sebagai pimpinan PUTERA yang kemudian dikenal dengan sebutan Empat Serangkai.  Keempat tokoh ini dianggap Jepang sebagai kelompok yang paling berpengaruh di Indonesia.


Keterlibatannya dalam Empat Serangkai mengharuskan Mas Mansoer pindah ke Jakarta, sehingga Ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo.


Jepang mempelajari bahwa untuk merebut hati rakyat, perlu tokoh nasional yang saat itu sudah dipercaya rakyat. Harapannya, golongan nasionalis dan intelektual dapat mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk melancarkan perang Jepang.


Meskipun Jepang membentuk PUTERA dengan misi mengeksploitir kekayaan Indonesia bagi keperluan Perang Asia Timur Raya, Empat Serangkai saat itu memanfaatkan fasilitas yang diberikan pemerintah Jepang seperti koran dan radio untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia kelak.


Pada tahun 1944, Mas Mansoer mengundurkan diri dari Empat Serangkai. Ada yang menyebut karena kondisi kesehatannya yang terus memburuk, ada pula beberapa sumber menulis bahwa hal itu sebagai sikap protesnya terhadap kekejaman Jepang terhadap orang-orang Indonesia.


Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya di Surabaya dan kedudukannya dalam Empat Serangkai digantikan oleh rekannya di Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo.


Pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan HUT Kaisar Jepang, Tenno Haika, pengurus dan anggota Badan Pengurus Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) diangkat.


Tugas BPUPKI adalah menyelidiki hal-hal penting dan menyusun rencana persiapan kemerdekaan Indonesia, serta terkait erat dengan lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. Dari jumlah keseluruhan anggota BPUPKI adalah 62 orang Indonesia, termasuk di dalamnya Mas Mansoer.


Saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, gelombang semangat meliputi seluruh orang di Tanah Air. Mulai dari akar rumput hingga pimpinan negara.


Di Surabaya bagian utara, Mas Mansoer memimpin barisan pemuda yang melawan militer Belanda. Kondisi raga yang sakit tidak memungkinkannya untuk melawan secara frontal. Saat itulah, Mas Mansoer ditangkap pihak musuh dan ditahan.


Di tengah pecahnya perang kemerdekaan, Mas Mansoer meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Sang ulama sekaligus negarawan ini wafat sebelum usianya memasuki setengah abad. Jenazahnya dimakamkan di Gipo, Surabaya. Mas Mansoer dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 26 Juni 1964.


Naskah: Ilham Ibrahim

Editor: Fauzan AS

Sumber: muhammadiyah.or.id

Iklan