Iklan

Iklan

,

Iklan

Wajibkah Hukum Shalat Berjamaah? Ini Jawaban Muhammadiyah

Redaksi
Senin, 05 September 2022, 15:56 WIB Last Updated 2022-09-05T08:56:54Z


Shalat jamaah lima waktu di masjid sangat ditekankan bagi lelaki Muslim. Yang sering digunakan para ustadz adalah hadis tentang orang buta tetap diminta Nabi Saw., ke masjid karena telinganya tetap bisa mendengar adzan. 


Pertanyaannya, apa benar dasar hadis tersebut? Karena kesannya memberatkan, padahal Nabi Saw., sendiri menyatakan “Yassiruu wa laa tu’assiruu” dan al-Qur’an menyebutkan “Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus‘ahaa”.


Inilah Jawaban Majelis Tarjih Muhammadiyah:


Mengenai hukum shalat berjamaah telah dibahas dalam buku “Tanya Jawab Agama Jilid 1” yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Adapun mengenai hadis tentang orang buta tersebut memang benar shahih, diriwayatkan dalam sebuah hadis:


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan) ia berkata: Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar: Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid. Lalu ia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya: Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)? Laki-laki itu menjawab: Benar. Beliau bersabda: Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat). [HR. Muslim no. 1044].


Hadis tersebut dijadikan hujjah bagi ulama yang berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah adalah wajib. Selain hadis tersebut, pendapat ini juga berpegangan pada ayat al-Qur’an, "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk." [QS. al-Baqarah (2): 43].


Maksud rukuk di sini ialah shalat, sedang “rukuklah bersama orang-orang yang rukuk” ialah shalat bersama orang lain yakni berjamaah.


Ayat al-Qur’an lain yang juga dijadikan hujjah pendapat ini adalah, "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata…" [QS. an-Nisa’ (4): 102]. 


Perintah melaksanakan shalat jamaah juga dapat dipahami dari hadis riwayat Malik ibn al-Huwairits berikut,"… kembalilah kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan perintahkan (untuk shalat). Beliau lantas menyebutkan sesuatu yang aku pernah ingat lalu lupa. Beliau mengatakan: Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. Jika waktu shalat sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi imam adalah yang paling tua di antara kalian." [HR. al-Bukhari no. 595 dan Muslim no. 1080].


Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami bahwa melakukan shalat jamaah adalah wajib, bahkan sampai dalam keadaan perang pun berjamaah harus dilakukan, seperti perintah dalam ayat tersebut. 


Namun, terdapat ulama yang berpendapat bahwa shalat jamaah hukumnya sunnah muakkadah. Pendapat ini didukung oleh mazhab Hanafi dan Maliki, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaukani dalam Nail al-Authar jilid 3 halaman 146. 


Al-Karakhi dari ulama Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Pendapat mereka berdasarkan dalil hadis berikut ini, "Dari Abdullah ibn Umar (diriwayatkan), bahwa Rasulullah Saw., bersabda: Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat." [HR. al-Bukhari no. 609 dan 610, dan Muslim no. 1036 dan 1039].


Hadis di atas menyebutkan tentang keutamaan shalat berjamaah daripada shalat sendirian, tidak menunjukkan tentang kewajiban melakukan shalat berjamaah. Shalat sendirian (munfarid) masih mendapatkan pahala, hanya tidak sebanyak pahala shalat berjamaah. 


Perbuatan yang masih mendapat pahala artinya tidak berarti sesuatu yang tidak boleh dikerjakan. Apabila tidak boleh dikerjakan tentu dilarang, dan bagi yang mengerjakan tentu tidak diterima dan tidak diberi pahala atau bahkan berdosa. 


Pendapat ini didukung pula dengan hadis berikut, "Dari Abu Musa (diriwayatkan) ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Orang yang paling banyak mendapatkan pahala dalam shalat adalah mereka yang paling jauh (jarak rumahnya ke masjid), karena paling jauh dalam perjalanannya menuju masjid. Dan orang yang menunggu shalat hingga ia melaksanakan shalat bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang melaksanakan shalat kemudian tidur." [HR. al-Bukhari no. 614 dan Muslim no. 1064)


Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas apabila dikompromikan (al-jam’u wa at-taufiq), dapat dinyatakan bahwa yang ditemukan adalah dalil-dalil yang sangat memberikan tekanan untuk dilaksanakan shalat berjamaah serta keutamaan-keutamaannya, tetapi dalam pada itu tidak ditemukan dalil yang menunjukkan berdosa kepada orang yang meninggalkan shalat jamaah.


Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah, sebab tidak ditemukan dalil mengenai ancaman siksa atau dosa bagi orang yang meninggalkannya. 


Sekiranya hukumnya wajib, maka konsekuensi hukumnya adalah berdosa dan mendapat siksa apabila meninggalkannya. Mengingat hukumnya sunnah muakkadah, maka selama tidak ada uzur syar‘i, umat Islam sangat dianjurkan untuk melakukan shalat berjamaah di masjid. Wallahu a‘lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No.20, 2018.

Iklan