Oleh: Rafi Tajdidul Haq, Sekum PC IMM Bandung Timur
Dalam kegiatan Nurchalis Madjid Memorial Lecture (NMML) yang ke-3 di Universitas Paramadina, almarhum Buya Syafi’i Ma’arif menjadi “keynote speaker” pada kegiatan tersebut. Orasi ilmiahnya yaitu menyangkut politik identitas dan masa depan pluralisme di Indonesia, dan mendapat tanggapan yang luas dari para akademisi.
Saat saya membaca tulisan Buya untuk pertama kalinya, banyak hal yang bisa dicuri baik dari pemikiran maupun gaya bahasa dan diksi kata yang digunakan. Saya ingin menyampaikan hal ini terlebih dahulu sebelum mengulas sedikit apa yang menjadi intisari dari buku ini.
Bahasa tulisan Buya penuh dengan adagium (peribahasa) dan metafor-metafor yang langka, unik sekaligus bermakna dalam dan filosofis . Contohnya, masa depan negara Indonesia jangan sampai masuk pada “museum sejarah”, itu artinya Buya tidak menghendaki hancurnya NKRI sehingga harus masuk pada “museum sejarah”.
Atau saat ia membicarakan penjajahan di Indonesia, ia mengatakan, bahwa bangsa barat (Belanda dalam konteks Indonesia) telah “mencekik leher” bangsa dan negara Indonesia.
Kata mencekik leher sangat jarang digunakan. “Mencekik leher” bisa bermakna bahwa negara Indonesia kesulitan bernafas dan sesak, oleh karena itu bangsa Indonesia (dulu nusantara) oleng bahkan menderita dalam menjalani kehidupannya.
Atau saat mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini membicarakan tentang bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, ia mengatakan bahwa bom tersebut sebagai “berkah” bagi kemerdekaan Indonesia.
Karena, tak terbayang kapan kemerdekaan akan diraih seandainya “berkah” tersebut tidak diberikan. Kata “berkah” sangat jarang diekspresikan dalam teks-teks sejarah, tapi Buya menggunakan metafor itu dalam membicarakan hal itu. Cukup menarik bukan?
Kembali ke topik, yaitu politik Identitas. Dengan diawali argumen L.A Kauffman, yaitu orang yang pertama kali mempromosikan istilah politik identitas, Buya menyebutkan bahwa politik identitas berkaitan erat dengan kepentingan-kepentingan sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar/utama dalam sebuah bangsa atau negara.
Pasca orde baru, politik identitas mencuat tajam ke permukaan. Hal itu merupakan keniscayaan yang mana selama masa orde baru aspirasi-aspirasi golongan agama, suku, ras banyak yang disubordinasikan atau diisolasi ke ruang yang tidak bisa didengar.
Kemudian, ini pada akhirnya yang menjadi bom waktu yang meledak pasca orde baru runtuh. Sebelumnya, di Indonesia politik identitas pernah dilakukan di masa-masa orde lama, yaitu pada saat Presiden Soekarno memimpin negara.
Dimana, partai politik banyak yang dibangun di atas dasar paham ideologi tertentu seperti komunisme, sosialisme, islamisme atau nasionalisme. Sehingga, kondisinya pada saat itu konstelasi politik sangat panas dan menegangkan.
Dalam pandangan Buya, politik identitas tak selamanya berkonotasi negatif. Ia memisalkan dengan kasus warga Amerika latin yang menuntut keadilan atas dominasi keturunan spanyol di negaranya.
Di Indonesia, permintaan agar dibuka selebar-lebarnya hak otonomi daerah pasca reformasi juga merupakan politik identitas berdasarkan wilayah dan regional tertentu yang berakibat baik demi meratanya ekonomi suatu negara. Itu contoh-contoh yang dipaparkan Buya.
Akan tetapi politik identitas juga akan berakibat merusak tatanan manakala kelompok atau golongan baik partai, suku atau ras tersebut dalam memperjuangan identitasnya diaktualisasikan lewat kekerasan dalam aksi yang nyata seperti perusakan tempat ibadah, tidak menghargai kelompok, lain dan anti-pluralitas.
Di akhir kesimpulannya, Buya tidak terlalu mengkhawatirkan fenomena politik identitas selama warga negara indonesia tetap berpegang pada semangat sumpah pemuda, pancasila dan nilai-nilai bangsa lainnya.