Iklan

Iklan

,

Iklan

Mencintai Hamba-Nya

Redaksi
Selasa, 08 November 2022, 16:24 WIB Last Updated 2022-11-08T09:24:36Z


Oleh: Prof. KH. Dadang Kahmad,
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah


Fadilah tauhid, setidaknya ada dua sifat Allah yang mulia yaitu kebersamaan Allah dan kedekatan Allah pada hamba-Nya. Ketika hamba semakin dekat pada Allah, maka Allah lebih dekat lagi padanya. Sehingga hal ini, mengingatkan kita bahwa jangan sampai lalai dari mengingat atau berdzikir pada Allah. 


Di dalam hadispun dikatakan bahwa Allah itu sesuai dengan sangkaan hamba-Nya, di mana hal ini menuntut kita supaya selalu husnudzhan pada Allah dalam do’a dan rasa harapnya.


Rasulullah bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Sebagaimana kita tahu, sangat banyak buku-buku agama bertebaran, entah itu di perpustakaan, toko-toko, atau rak-rak buku, mengajarkan kita bagaimana kiat dan cara kita mencintai Allah. 


Semuanya berbicara tentang bagaimana cara kita mencintai Allah, atau bagaimana seorang hamba berusaha untuk mencintai Allah Yang Maha Tinggi. Jika ada seorang rakyat jelata yang menghormati rajanya yang besar dan agung, itu merupakan hal yang biasa dan tidak aneh. 


Tapi coba kita lihat, kalau ada orang yang derajatnya lebih tinggi mencintai orang yang martabatnya lebih rendah, itu adalah hal yang langka. Karenanya pada kesempatan kali ini, perlu disampaikan hal yang agak berbeda barangkali, yaitu bagaimana Allah mencintai hambanya. 


Mungkin seseorang bertanya atau merasa aneh, mungkinkah Allah sebagai Tuhan yang Mahaagung dan Tinggi mau mencintai kita yang hanya sebagai seorang makhluk? Lalu, apa istimewanya, kalau Allah mencintai kita? 


Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil malaikat Jibril dan berkata: ‘Wahai Jibril, aku mencintai orang ini maka cintailah dia!’ Maka Jibrilpun mencintainya, lalu Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit dan berkata: ‘Wahai penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai orang ini, maka cintai pulalah dia oleh kalian semua, maka seluruh penduduk langit pun mencintainya. Kemudian orang itu pun dicintai oleh segenap makhluk Allah di muka bumi ini.’ (HR. Bukhari).


Rasulullah Saw. bersabda, “Cinta yang berlebihan terhadap harta dan kedudukan dapat mengikis agama seseorang,” (HR Ath-Thusi). Harta, siapa pun mengakuinya sebagai elan vital kehidupan. 


Sampai-sampai, tidak sedikit dari manusia yang merasa “kiamat” manakala tak berharta. Selanjutnya, tidak sedikit yang putus asa lalu menempuh jalan pintas; mengais rezeki dengan cara kurang mulia. 


Mencuri, merampok, menipu, dan berlaku korup adalah contoh jalan-jalan kotor yang terpaksa dijadikan solusi. Hal ini, mungkin selaras dengan sabda Nabi Saw. yang berbunyi, “Hampir saja kefakiran mendekatkan pada kekufuran,” (HR. At-Thabrani). 


Di sisi lain, memiliki banyak harta juga belum tentu jadi jaminan manusia keluar dari kekufuran. Artinya, harta bisa menjadi boomerang. Sedikit saja luput dari kemampuan memanfaatkannya, harta bisa menyerang balik pemegangnya, membahayakan, bahkan sampai menjerumuskan tuannya pada kehancuran. 


Mungkin masih terlintas dalam ingatan kita betapa Qarun, hartawan dengan emas berlimpah ruah, akhir hayatnya ditelan bumi beserta hartanya; sungguh mengenaskan! 


Begitu juga terjadi pada Fir’aun, Raja Mesir sezaman Nabi Musa as, karena hartanya ia menjadi gelap mata. Tak tanggung-tanggung, kesombongan karena harta dan kedudukannya berpuncak pada “deklarasinya” sebagai Tuhan (menyaingi Allah) yang mengaku mampu menghidup-matikan manusia. 


Kematian Fir’aun? Tidak jauh hinanya dengan kematian Qarun: Fira’un dilumat air laut untuk menempuh alam baka. 


Bagi orang seperti Qarun dan Fir’aun, harta adalah segalanya. Mereka lupa bahwa harta adalah amanat yang dititipkan Allah kepada hamba-Nya. Sehingga terlena dan lupa untuk bersyukur. 


Padahal, syukur adalah salah satu bentuk laku dan kata untuk meluapkan rasa terima kasih kepada Sang Pemberi Kekayaan, Allah SWT. Salah satu wujud syukur adalah memberikan hak fakir miskin yang dititipkan dalam harta kita. Dalam hal ini, Allah secara tegas menganjurkan umat-Nya menunaikan zakat, membayar infak, dan membiasakan sedekah. 


Menunaikan zakat, membayar infak, dan membiasakan sedekah adalah upaya pembersihan harta kita dari berbagai kekotoran. Sebab, sesuatu yang kotor kerap melahirkan penyakit. 


Begitu juga dengan harta yang kotor, kerap melahirkan penyakit dalam hati. Nah, menunaikan zakat, membayar infak, dan membiasakan sedekah adalah usaha menanggalkan “unsur penyakit” harta kita. Alhasil, setiap harta yang kita cerna akan bersih dari segala unsur penyakit (hati). 


Begitulah yang menimpa Qarun dan Fir’aun. “Unsur penyakit” dalam hartanya menumbuhkan penyakit hati berupa kikir, pelit, sombong, dan angkuh. Akibatnya, Allah menunjukkan murka-Nya terhadap manusia seperti mereka. 


Jangankan menyambut mereka di surga, dunia saja memusnahkan mereka dengan cara mengerikan. Karena itu, selain manusia, malaikat pun akan ikut mendoakan kita akan dilimpahkannya harta benda lebih banyak lagi. 


Dalam sebuah keterangan dijelaskan, tiap menjelang pagi hari, dua malaikat turun ke bumi. Yang satu berdoa: "Ya Allah, karuniakanlah bagi orang yang menginfakkan hartanya tambahan peninggalan." Yang satu lagi berdoa: "Ya Allah, timpakan kemusnahan bagi harta yang ditahannya (dibakhilkannya)." (HR. Mutafaq’alaih). 


Kecintaan Allah akan sangat mudah menghampiri hamba-Nya yang pandai bersyukur. Sampai-sampai, Allah memberikan janji dalam firman-Nya: “Barang siapa yang bersyukur (akan nikmat-Nya) niscaya akan ditambah lagi (kenikmatan-Nya). Barang siapa yang kufur (akan nikmat-Nya), sesungguhnya adzabku (Allah) sangatlah pedih,” (QS. Ibrahim [14]: 7). 


Tentu, siapa pun orangnya yang tidak merasa bangga mendapatkan kebahagiaan dari Tuhannya? Sementara bagi siapa yang kufur akan nikmat-Nya, akhir hayat seperti yang menimpa Qarun dan Fir’aun, tidak mustahil akan menimpanya. 


Sebagai manusia, tentunya kita bebas memilih; jalan syukur atau jalur kufur? 


Digubah dari buku karya prof. Dadang Kahmad berjudul, Musibah Pasti Berlalu (Quanta, 2014).

Iklan