YOGYAKARTA — Dialog Ideopolitor resmi ditutup oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir pada, Ahad (7/5/2023) di Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Haedar berharap, Ideopolitor menjadi ajakan gerak seirama secara organisatoris, serta menata sikap kritis yang sesuai Kepribadian Muhammadiyah.
Sementara itu, Rektor UAD Muchlas MT dalam sambutannya memanjatkan syukur atas suksesnya penyelenggaraan Dialog Ideopolitor edisi ini. Dia berharap dialog ini memberi bekal Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) untuk diimplementasikan di wilayah masing-masing.
Haedar Nashir menyampaikan bahwa, Dialog Ideopolitor gelombang I ini akan disambung dengan Ideopolitor gelombang II pada 13-14 Mei di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA). Pendalaman dan penyegaran materi ini harusnya menjadi ajakan untuk menyatu, bergerak seirama dalam memimpin Persyarikatan.
“Berbagai pemikiran yang kemarin dibahas ini semakin mengkristalkan kita, pemahaman kita, komitmen kita tentang nilai-nilai dasar yang menjadi pondasi dan bingkai gerakan kita.” Ungkapnya.
Peserta tidak boleh merasa cukup dengan materi yang didapatkan melalui Ideopolitor ini. Materi-materi yang disampaikan harus dilakukan pendalaman di wilayah masing-masing, dengan penggunaan platform umum yang sesuai bingkai organisatoris.
“Kita perlu membawa organisasi kita ini semakin unggul dan berkemajuan, sebagaimana menjadi tagline begitu juga visi 2022-2027.” Tuturnya.
Guru Besar Sosiologi ini berpesan, setelah Dialog Ideopolitor ini pimpinan Muhammadiyah lebih tertata sikap kritisnya sesuai dengan Kepribadian Muhammadiyah, tentu sikap kritis tersebut untuk memperbaiki keadaan umat, bangsa dan kemanusiaan semesta.
Dalam dimensi politik, PP Muhammadiyah mendorong kader-kader potensial untuk maju dalam percaturan politik legislatif, dan juga bidang-bidang lain, termasuk Yudikatif. Oleh karena itu, Haedar mengapresiasi Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) bidang Pendidikan yang menyiapkan kader potensial untuk posisi-posisi tersebut.
Dengan itu, Haedar berharap Muhammadiyah bisa berperan vital dalam aktualisasi konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Kebesaran Muhammadiyah Diakui Dunia
Pengakuan kebesaran Muhammadiyah bukan disampaikan oleh internal, melainkan ilmuwan atau peneliti asing mulai dari Mitsuo Nakamura sampai dengan Robert W. Hefener, seorang ilmuwan Pakar Kajian Islam dan Politik Kebudayaan Indonesia asal Boston University, Amerika Serikat.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pada, Ahad (7/5) dalam acara Penutupan Dialog Ideopolitor di Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Hal itu sekaligus menegaskan, bahwa kebesaran Muhammadiyah dapat disaksikan secara obyetif.
Bahkan Robert Hefner meminta kepada Haedar Nashir untuk ‘melupakan’ buku yang ditulisnya ‘Civil Islam : muslims and democratization in Indonesia’. Pasalnya dia menemukan kebaruan informasi tentang Islam dan demokrasi di Indonesia setelah bersentuhan dengan Muhammadiyah secara langsung.
Termasuk Mitsuo Nakamura, yang awalnya menganggap Muhammadiyah sebagai organisasi Islam nomor sekian dan bukan nomor satu. Namun setelah menjalani dialog dengan tokoh dan menyaksikan langsung Muhammadiyah, Profesor adalah Chiba University, Jepang menegasikan argumentasi yang menyebutkan Muhammadiyah lebih kecil dibandingkan yang lain.
Sebenarnya, pengakuan atas kebesaran Muhammadiyah bukan hanya disampaikan oleh dua tokoh tersebut, tetapi juga masih banyak yang lain. Namun demikian, bukan pengakuan kebesaran yang ingin dicapai oleh Muhammadiyah, lebih dari itu kehadiran Muhammadiyah ingin memberi manfaat seluas-luasnya dan memberikan kemajuan bagi kehidupan umat, bangsa dan kemanusiaan semesta.
Haedar menceritakan, untuk mempopulerkan simbol-simbol yang lekat di Muhammadiyah tidaklah mudah. Misalnya terma ‘Mencerahkan’ dan ‘Berkemajuan’. Guru Besar Sosiologi ini mengatakan bahwa untuk mempopulerisasi terma-terma itu dan kemudian diterima publik luas bukan pekerjaan mudah.
“Itu bukan pekerjaan mudah; untuk memperoleh trust dari media itu ada dua hal. Satu, bahwa yang bersangkutan harus bisa dijaga obyektifitas pemikirannya, dan kedua adalah sikap kebangsaannya.” Ungkapnya.
Pengetahuan publik tentang Muhammadiyah menurut Haedar saat ini mulai tercerahkan melalui peran ilmuwan atau peneliti dan media. Akan tetapi, imbuh Haedar, untuk urusan ke internal Muhammadiyah masih menerapkan adagium ‘sedikit bicara banyak bekerja’. Akan tetapi untuk ke eksternal perlu disampaikan.
Oleh karena itu, Haedar senantiasa mendorong kader, pimpinan dan warga Persyarikatan Muhammadiyah untuk percaya diri dengan identitas kemuhammadiyahannya. Tidak perlu minder, dan selalu merasa bahwa Muhammadiyah ini lebih kecil dibandingkan dengan yang lain.
Tentang gerakan dan pengkhidmatan Muhammadiyah bagi umat, bangsa dan kemanusiaan universal perlu disampaikan untuk publik luas melalui platform maupun kanal-kanal media masa dan sosial, mimbar akademik dan lain sebagainya. Hal itu diharapkan memberikan konstruksi Muhammadiyah bagi orang lain secara elegan.
“Itu bagian dari kita untuk mengomunikasikan Muhammadiyah secara tetap elegan, tidak usah sombong. Tapi juga tidak usah terlalu menutupi diri, karena tanpa itu orang menjadi tidak tahu atas apa yang dilakukan Muhammadiyah.” Ungkapnya.***