JAKARTA – Dunia digital bagi manusia adalah sebuah keniscayaan, alih-alih menghentikan, manusia bakal terlindas lajunya dunia digital. Maka, diperlukan kecerdasan untuk menjalani hidup di dunia digital ini.
Oleh karena itu menurut Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ismail Fahmi perlu dibuat kurikulum kecerdasan digital yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi institusi pendidikan di Indonesia. Demikian disampaikan Ismail Fahmi pada (5/5/2023) dalam acara ‘Aisyiyah Update #3 secara daring.
Founder Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia menyebut dalam dunia digital ada tiga level kecerdasan digital yakni digital citizenship, digital creativity, dan digital competitiveness. Menciptakan manusia-manusia dengan jenis kecerdasan tersebut perlu dimulai dari penyediaan institusi pendidikan.
Ismail Fahmi mengungkapkan, bahwa kurikulum tersebut sudah tersedia, namun masih perlu penyesuaian dengan kondisi dan situasi institusi pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu Ismail mendorong majelis pendidikan di Muhammadiyah ‘Aisyiyah dapat menginisiasi masuknya kurikulum kecerdasan digital ini ke sekolah-sekolah yang dimiliki.
“Kalau materi ini sudah siap, sekolah-sekolah kita ‘Aisyiyah Muhammadiyah dari Bustanul Athfal bisa menjadi bahan yang elok bagi kita secara real menyiapkan anak-anak dengan materi digital citizenship kurikulum yang pas.” Ungkapnya.
Dalam pandangan Ismail Fahmi, untuk membangan masyarakat digital yang cerdas melawan disinformasi diperlukan pendidikan sejak dini hingga dewasa. Melawan disinformasi, menurutnya bukan menempatkan teknologi sebagai pemeran utama, melainkan pemeran utamanya adalah masyarakat yang terdidik literasi digitalnya.
“Untuk membangun masyarakat digital yang cerdas dalam melawan disinformasi, bukan teknologi yang menjadi pemeran utama, tetapi pendidikan literasi digital sejak dini hingga SD, SMP, SMA paling tidak itu dan melibatkan guru hingga orang tua,” tegasnya.
Sementara itu, Peneliti dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) PP ‘Aisyiyah, firly Annisa menyebutkan bahwa dunia digital adalah dunia yang penuh potensi sekaligus tantangan.
Terlebih dengan karakter media digital yang immediately atau cepat, kemudian remediation yang karena saking cepatnya menyebabkan sering kehilangan konteks pesan atau sumber asli pesan, dan hypermediacy yang dalam satu gadget memungkinkan kita mengakses berbagai sumber informasi.
Oleh karena itu menurutnya, kesadaran menjadi warga negara digital harus dibarengi dengan kemampuan literasi digital.
“Digital literasi berkaitan dengan mengetahui, memahami dan menggunakan perangkat informasi digital tetapi jangan lupa kemampuan daya kritis kita juga akan ditentukan oleh menyikapi informasi dalam platform media yang kita gunakan.” Ungkapnya.
Etika dan Akhlak Digital
Di tengah serbuan informasi melalui media digital, jari yang aktif menulis dan menggambar harus disertai etika dan akhlak. Pasalnya jika tidak demikian, aktivitas jari yang meng-up date informasi menjadi sumber kecelakaan.
Kecelakaan tersebut terjadi menurut Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah, Siti Syamsiatun karena ketiadaan etika, akhlak serta keterampilan yang menyebabkan dengan mudah menyebarkan informasi hoax.
Oleh karena itu, dalam acara ‘Aisyiyah Update #3 yang diselenggarakan pada, Jumat (5/5/2023) secara daring, ‘Aisyiyah mendorong pemanfaatan perkembangan dunia digital dengan lebih beretika dan berakhlak.
“Kita tidak ingin menjadi jarimu adalah celakamu, jangan sampai itu terjadi, kita fokuskan dunia digital ini untuk mengakumulasi modalitas kita untuk kebaikan meraih surga.” Ungkapnya.
Sementara itu, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Guru Besar Bidang HAM dan Gender dan Staf Ahli di Kantor Staf Presiden dalam paparan materinya menuturkan, menghadapi serbuan informasi media digital warganet Indonesia juga membutuhkan digital literacy dan digital mentality.
Saat ini, imbuh Ruhaini, terjadi cultural lag di Indonesia karena masyarakat Indonesia yang memiliki akar budaya sebagai masyarakat yang bertutur melompat menjadi masyarakat visual. Hal itu terjadi karena ada proses atau tradisi membaca yang dilewatkan oleh masyarakat Indonesia.
“Kita mengalami proses melewatkan begitu saja suatu tradisi membaca yang sangat penting sekali, proses membaca yang saya sampaikan ini adalah proses memvisualkan sesuatu, memasukan dalam pikiran kesadaran, baru mengekspresikan,” terangnya.
Ruhaini menunjukkan bahwa, salah satu contoh dalam kehidupan dunia digital saat ini masih terdapat residu dari masyarakat bertutur yang mengatakan bahwa bertutur itu tidak masalah. Seperti; ‘Saya kan cuman ngomong, apa sih salahnya ?’.
“Dalam masyarakat bertutur itu memang tidak masalah karena ucapan akan hilang ditelan angin atau dilupakan tetapi kalau dituliskan dalam lini masa digital, ini akan menjadi masalah karena jejak digital itu abadi,” papar Ruhaini.
Dalam hematnya, saat ini banyak masyarakat yang membayangkan dunia digital itu seperti masa teknologi tv dengan komunikasi satu arah, padahal dunia digital itu two ways bahkan banyak pintu. Oleh karena itu dia mendorong untuk dilakukan pembangunan bangsa (nation building).
“Pembangunan nation building ini sama mahalnya dengan pembangunan infrastruktur karena kalau nation building retak maka bisa menghancurkan seluruh bangunan yang kita miliki,” katanya.***