Iklan

Iklan

,

Iklan

Sukarno: Penggunaan Tabir Lambang Perbudakan, Tidak Sesuai Ajaran Kiai Ahmad Dahlan

Redaksi
Rabu, 10 Mei 2023, 12:22 WIB Last Updated 2023-05-10T05:22:12Z


JAKARTA
– Persinggungan Sukarno dengan Muhammadiyah pertama kali terjadi saat dirinya indekos di rumah tokoh Sarekat Islam, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII/29-31 Surabaya, Jawa Timur.


Berdasar kesaksiannya, pertemuan dengan pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan terjadi pertama kali saat dia berumur 15 tahun alias pada sekira tahun 1916.


Saat itu Kiai Ahmad Dahlan bertabligh ke Surabaya. Dari pertemuan itu, Sukarno mendapatkan kesan kuat hingga ‘ngintil’ (mengekor) kepada Kiai Ahmad Dahlan.


Keterlibatan Sukarno dengan Muhammadiyah semakin kuat tatkala dirinya menjalani pemindahan tempat pengasingan dari Ende ke Bengkulu pada 14 Februari 1938. Di sana, Sukarno aktif menjadi Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah dan Direktur Sekolah Menengah Muhammadiyah.


Catatan menarik terjadi kala Sukarno mendebat penggunaan tabir di suatu rapat Muhammadiyah Bengkulu pada bulan Januari 1939. Sikap protes Sukarno ditunjukkan dengan cara walk out (meninggalkan) rapat tersebut.


Protes Sukarno


Dalam protesnya, Sukarno menganggap penggunaan tabir melambangkan langkah pandang Islam yangg mundur. Tabir sendiri adalah pembatas wanita dan laki-laki yangg membikin jamaah wanita tidak dapat memandang penceramaah alias jamaah lain dari musuh jenis.


Erniwati dkk dalam Samaun Bakri: Berjuang Untuk Republik Hingga Akhir Hayat (2019) menulis pasca kejadian itu, Sukarno berjumpa dengan tokoh Muhammadiyah Haji Syudjak dan Samaun Bakri. Keduanya sepakat dengan pandangan Sukarno. 


Haji Syudjak sendiri menyebut tabir memang tidak diperlukan dalam rapat Muhammadiyah, lantaran Kiai Ahmad Dahlan pun beranggapan demikian.


Bukan Semata-mata Tabir


Protes Sukarno terhadap masalah tabir nyatanya lantaran Sukarno meletakkan angan besar untuk agar Muhammadiyah sukses mengangkat umat dari pandangan kolot yangg membelenggu untuk maju. Pada wawancara dengan koresponden Surat Kabar Antara yang dimuat di Surat Kabar Pandji Islam tahun itu, Sukarno berkata:


“… Saya adalah siswa dari Historische School van Marx. Hal tabir itu saya pandang historisch pula, zuiver onpersoonlijk (bukan perihal personal). Tampaknya seperti soal kecil, soal kain yangg remeh. Tapi pada hakekatnya, soal mahabesar dan mahapenting, soal yangg mengenai segenap maatsschappelijke positie (posisi sosial) kaum perempuan. Saya ulangi: tabir adalah simbol dari perbudakan kaum perempuan! Meniadakan perbudakan itu adalah pula satu historische plicht (tugas sejarah)!”


Menulis Surat Terbuka ke Kiai Mas Mansur


Tak cukup dengan uraian dari Haji Syudjak yangg dikenal sebagai periwayat KH. Ahmad Dahlan, Sukarno meminta ketegasan soal norma Islam dan pandangan Muhammadiyah ke tokoh Muhammadiyah lain yangg juga sahabatnya, Kiai Haji Mas Mansur.


Dalam pandangannya Sukarno menganggap perintah Allah menundukkan pandangan (ghaddul bashar) sudah cukup sebagai pedoman dalam relasi muamalah laki-laki dan wanita sehingga tidak perlu tambahan seperti tabir yangg justru membikin wanita terkungkung.


Berikut isi dari Surat Terbuka Sukarno berjudul “Minta Hukum yangg Pasti dalam Soal ‘Tabir” sebagaimana dimuat dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi (1959):


Assalamu’alaikum, Saudara yangg tercinta!


Atas permintaan dan atas nama banyak kaum intelektuil Indonesia, saya dengan perantaraan Saudara, menulis surat ini kepada semua personil Muhammadiyah, terutama sekali kepada utusan-utusannya yangg bakal berkongres di Medan pada penghabisan bulan ini. Dengan sangat saya minta agar apa yangg saya tuliskan di bawah ini diperhatikan betul-betul.


Sebab perihal yangg saya tuliskan ini bukanlah sekali-kali perihal yangg ‘remeh’, tetapi betul suatu perihal yangg mengenai ideologi kaum intellegentzia Indonesia dan kaum Muhammadiyah seluruhnya.


Hal itu adalah perihal tabir. Dengan mengucap alhamdulillah kepada Allah subhanahu wata’ala, maka tindakan protes saya tempo hari, ialah dengan langkah demonstratif bersama-sama saya punya isteri meninggalkan satu rapat Muhammadiyah yangg memakai tabir sudah membangunkan minat sebagian besar rakyat Indonesia terhadap soal ini. Ada yangg pro, ada yang zakelijk-netral, ada yangg anti, ada yangg mau menghabisi soal ini dengan alasan-alasan perseorangan yangg tidak zakelijk (komersial). Sekarang sudah nayatalah minat itu sehangat-hangatnya, dan tinggallah kita membicarakan perihal ini di Maejlis Tarjih kelak dengan tenang dan objektif.


Saya minta Saudara mengerti betul-betul apa yangg saya maksudkan tahadi dengan menyatakan bahwa soal ini mengenai ideologi kaum Muhammadiyah pula.


Mengenai ideologi kaum intelektuil, oleh lantaran kaum intelektual betul-betul tidak bisa simpati kepada tabir itu karena merekat tahu bahwa tabir itu adalah betul-betul “simbolnya perbudakan kaum perempuan” itu.



Mereka mengira bahwa saya bermaksud mengatakan bahwa orang laki-laki Islam dengan sengaja mau memperbudakkan kaum perempuan, lampau menindas kaum perempuan. Saudara tahu bukan begitu maksudnya. Tabir adalah simbol perbudakan perempuan, sebagaimana misalnya Burgerlijk Wetboek (kode sipil) orang Belanda adalah simbol perbudakan perempuan. Di dalam Burgerlijk Wetboek itu, sebagai hasilnya historisch maatschappelijk proces (proses sosial sejarah), hak-hak kaum wanita Eropah banyaklah diikat dan digunting. Tetapi siapakah orang yangg mau mengatakan bahwa orang laki-laki Eropah memperbudak wanita Eropah? Siapakah yangg tidak mengetahui bahwa orang Eropah sangat beleefd dan galant terhadap kaum perempuannya?


Namun, tiap-tiap orang yangg mengetahui seluk-beluknya Burgerlijk Wetboek akan membenarkan perkataan saya bahwa Burgerlijk Wetboek itu adalah simbol perbudakan perempuan, dan bahwa oleh karenanya Burgerlijk Wetboek itu berkarakter tidak sempurna dan tidak boleh menjadi teladan bagi kita.


Tidak, Saudara Mansur yangg tercinta. Susunan Burgerlijk Wetboek bukanlah akibat dari persengajaan perseorangan kaum laki-laki Eropah mau menghina kaum perempuan, bukanlah akibat bewust willen (keinginan secara sadar), tetapi adalah akibat dari susunan masyarakat Eropah, dari perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat Eropah dari historisch maatschappeljike verhoudingen (hubungan sosial sejarah) di kalangan orang Eropah.


Maka begitu pula, jika saya mengatakan bahwa tabir adalah simbol dari perbudakan kaum perempuan, maka bukanlah saya maksudkan bahwa orang laki-laki Islam sengaja mau menindas kaum perempuan, bukanlah saya maksudkan bahwa orang laki-laki Islam semuanya orang jahat, tetapi adalah bahwa tabir perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat orang Islam, ialah akibat alias sisa dari historisch maatschappelijke verhoudingen di kalangan orang Islam. Malahan saya berkata: walaupun misalnya betul orang laki-laki Islam era sekarang memasang tabir itu justru “mau memuliakan orang perempuan”, begitulah separuh argumen dari pro tabir, maka saya tetap menamakannya simbol perbudakan!


Bukan kehendak perseorangan yangg di sini kudu kita pertimbangkan, tetapi adalah kedudukan masyarakat, perbandingan-perbandingan masyarkat! Misalnya kerabat mengurung burung di dalam sangkar emas, memberikan kepadanya makan dan minum yangg lezat, menempatkan sangkar itu di dalam bilik yangg terindah untuk memuliakan dia, tidakkah betul jika saya berbicara bahwa Saudara menghukum burung itu? Itulah sebabnya, maka saya di dalam interview tempo hari mengatakan, bhaw atabir bukan perkataan kain secabik, tetapi adalah satu hal, yangg mengenai segenap maatschappelijke positie (posisi sosial) perempuan!


Saudara, saya ulangi lagi: kaum intelektual Indonesia tidak bisa simpati tabir itu, oleh lantaran mereka dengan cara historisch maatschappelijke analyse, mengetahui bahwa tabir adalah sisanya historisch proces yang mendatangkan perbudakan masyarakat. Mereka merasakan tabir sebagai satu perihal yangg betul menyinggung ideologi mereka karena mereka hidup di dalam satu ideologi anti-perbudakan. Marilah kita perhatikan dan benarkan ideologinya kaum intelligentzia itu!


Dan sebaliknya marilah kita sekarang perhatikan serta menjaga ideologi kaum Muhammmadiyah sendiri! Sebab sebagai tahadi sudah saya katakan, maka tabir adalah mengenai ideologi kaum intelektuil Indonesia dan ideologi kaum Muhammadiyah. Kenapa mengenai pula ideologi kaum Muhammadiyah?


Mengenai ideologi kaum Muhammadiyah pula, oleh lantaran soal tabir ini menjadi ujian kepada kaum Muhammadiyah sungguh jauhkan mereka punya kemuhammadiyahan: apakah betul mereka beraliran muda tak mau lain argumen melainkan Quran dan Hadis; apakah betul mereka beraliran muda, berani menentang budaya yangg tidak sesuai dengan Quran dan hadis; apakah betul mereka beraliran muda berani menerima semua perihal modern yangg nyata dibolehkan oleh agama? Ideologi Muhammadiyah di dalam kongres Medan ini dibawa di atas padang ujian, dan kaum intelektuil Indonesia menunggu-nunggu dan mendoa-doa, moga-moga ujian itu berhatsillah kiranya yangg sesuai dengan zaman.


Ah, Saudara Mansur! Kenapa di dalam soal ini kita merasakan norma yangg buat isteri-isteri Nabi sahaja itu, kepada umum? Kenapa di dalam soal ini kita mau melampaui kebijaksanaan Allah dan Rasul, yangg buat umum tidak menyuruh pasang tabir? Kenapa di dalam soal ini kita berkata, “Ya, diperintahkan sih tidak, tapi dilarang pun tidak”?


Kenapa di dalam soal ini kita begitu? Kenapa misalnya kita, buat menajga jangan sampai ada orang mencuri, tidak tutup sahaja kita punya rumah? Menutup rumah toch juga tidak dilarang? Atau buat menjaga jangan sampai kita berdusta, tidak kita tutup sahaja kita punya mulut jangan bicara dengan orang lain? Membisu toh juga tidak dilarang?


Sekali lagi: kenapa di dalam soal ini?


Sukarno, Pandji Islam 1939


Sumber: muhammadiyah.or.id

Iklan