JAKARTA – MAARIF Institute genap 20 tahun. Di usianya hari ini, MAARIF Institute sejak awal berdirinya teguh berkomitmen menjadi salah satu pilar bangsa yang bergerak untuk kerja-kerja kemanusiaan, merawat kebinekaan, mendorong penegakan HAM, memperjuangkan kebebasan beragama dan mensosialisasikan watak dan ciri khas Islam Indonesia sebagai agama rahmatan li al-alamin, inklusif, dan toleran serta memiliki kesesuaian dengan demokrasi yang berpihak kepada keadilan.
Dalam rangka mensyukuri dua dekade tersebut, MAARIF Institute luncurkan buku “Katalisator Perekat Kebinekaan Membangun Generasi Inklusif”. Buku yang ditulis oleh Abdul Mu’ti (PP. Muhammadiyah), Musdah Mulia (Aktivis Perempuan), Alissa Wahid (Jaringan Gusdurian), dan kawan-kawan lainnya yang juga menjadi kolega MAARIF Institute ini berkisah tentang perjalanan lembaga dalam mengawal pikiran-pikiran Buya Syafii tentang keindonesiaan, keagamaan dan kemanusiaan yang tujuannya tidak lain untuk menampilkan karakter bangsa yang moderat.
Acara yang digelar di Aula Ahmad Dahlan, Lt. 1 Gedung Dakwah PP. Muhammadiyah, Jl. Menteng Raya No. 62 Jakarta Pusat ini, dihadiri oleh sejumlah narasumber, antara lain: Musdah Mulia (Penulis Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis), Jack Manuputty (Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja), M. Wahyuni Nafis (NCMS) dan Desvian Bandarsyah.(UHAMKA). Acara ini dipandu oleh Moh. Shofan (Direktur Program MAARIF Institute).
Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif MAARIF institute, dalam sambutannya juga mengatakan bahwa apa yang kini dikembangkan oleh MAARIF Institute selama 20 tahun terakhir ini, tidak lain merupakan ikhtiar untuk merealisasikan gagasan besar Buya Syafii yang terangkum dalam konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
“Sebagaimana layaknya sebuah organisasi, tentu masih ada kekurangan dan ketidaksempurnaan yang bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk proyeksi ke depan. Terlebih, selama perjalanan dua dekade terakhir ini dunia telah berkembang sangat cepat. Salah satu pendorong perubahan adalah revolusi teknologi informasi dan telekomunikasi, di mana pada satu sisi kesempatan setiap orang dengan mudah mendapatkan informasi secara terbuka, seiring bertumbuhnya masyarakat yang lebih demokratis, toleran, dan berkeadilan”, terang Rohim.
Rohim menambahkan, “Buya Syafii sudah meninggalkan kita setahun yang lalu. Kita semua menjadi pewaris, bukan hanya pemikiran-pemikiran Buya Syafii yang sangat brilian dan kritis dalam menyoroti masalah-masalah bangsa, tetapi juga mewarisi keteladanan dan kesederhanaan. Kita bukan sekedar mengenang tapi juga bagaimana bisa melanjutkan pemikiran Buya Syafii”.
Sementara, narasumber pertama, Musda Mulia dalam paparannya, mengatakan, “Sebagai orang yang sering dilibatkan dalam berbagai program MAARIF Institute, menurut hemat saya, hal paling menonjol dilakukan oleh MAARIF Institute selama dua dekade kehadirannya adalah upaya-upaya pencerdasan bangsa melalui program penguatan literasi agama”, ujarnya.
Musdah melanjutkan, hakikatnya, ini adalah kerja-kerja pemerintah sesuai tujuan bernegara, di antaranya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kita semua sadar, pemerintah memiliki banyak keterbatasan sehingga masyarakat sipil diharapkan berpartisipasi aktif membangun bangsa. Di sinilah MAARIF Institute menunjukkan kepeduliannya sebagai elemen masyarakat sipil yang berkiprah untuk kecerdasan bangsa dan kemajuan peradaban manusia.
Sementara Jacky Manuputty, melihat bahwa selama dua dekade, MAARIF Institute bekerja keras untuk menggerakan gairah intelektualisme dan mengembangkan Islam berkemajuan yang progresif, toleran dan anti kekerasan melalui Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) Ahmad Syafii Maarif dan berbagai program lainnya.
“Tantangan MAARIF Institute setelah dua dekade pengabdiannya tentu tidak ringan. Melembagakan dan menggelorakan gagasan dan keteladanan Buya Syafii melalui manajemen pengetahuan dan pengelolaan tata-laku untuk memperkuat kohesi sosial terus digerus oleh praktek-praktek intoleransi, persekusi, dan narasi kebencian berbasiskan agama yang masih marak terjadi di Indonesia, terutama ketika kita menghadapi tantangan tahun politik menuju ke Pemilihan Umum saat ini”, terang Jacky.
Dua narasumber lainnya, Wahyuni Nafis dan Desvian Bandarsyah, berharap MAARIF Institute, diharapkan untuk tetap berkomitmen pada wawasan keislaman yang mendasarkan pada kemaslahatan kemanusiaan dan keindonesiaan. “Karena itu, apresiasi pada dua dekade MAARIF Institute ini, sebenarnya kita berikan kepada para penggeraknya”, ujar Wahyuni Nafis.
Acara yang dihadiri tidak kurang dari 200 orang peserta ini diharapkan bisa menjadi energi baru dalam upaya mensosialisasikan gagasan dan cita-cita sosial Buya Syafii, baik di ranah keislaman, kebangsaan yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebinekaan yang dapat diwariskan kepada anak-anak bangsa.***(mhmd)