Iklan

Iklan

,

Iklan

Sejarah Kalender Hijriyah dan Keutamaan Berpuasa di Bulan Muharram

Redaksi
Selasa, 18 Juli 2023, 09:07 WIB Last Updated 2023-07-18T02:07:14Z


JAKARTA
— Selain digunakan untuk menentukan waktu ibadah dan perayaan keagamaan, kalender atau sistem penanggalan Hijriyah juga menjadi simbol dan identitas umat Muslim. 


Para Sahabat Nabi, setelah wafatnya Rasulullah Saw pada abad ke-7 M menjadikan sistem kalender Hijriyah ini sebagai pedoman yang mereka patuhi dengan sungguh-sungguh.


Seiring dengan berkembangnya Kekhalifahan Islam, tanggal-tanggal dalam kalender menjadi sangat penting dalam pembuatan keputusan hukum, perjanjian, dan dokumen penting lainnya. Adanya urutan bulan dan hari yang teratur di dalam kalender memudahkan mereka dalam komunikasi dan menjaga ketertiban.


Awal Mula Penyusunan Kalender Hijriyah


Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai bulan-bulan dan hari-hari dalam kalender, para sahabat masih menghadapi tantangan dalam mencatat peristiwa secara tahunan. 


Kadang-kadang mereka tidak tahu tahun mana yang dimaksudkan ketika sebuah peristiwa atau dokumen tidak memiliki tanggal yang lengkap. Untuk mengatasi hal ini, mereka perlu menentukan titik awal suatu era yang bisa digunakan sebagai acuan.


Beberapa tokoh sejarah, seperti al-Shaʿbi dan al-Biruni, telah menunjukkan bahwa manusia selalu menggunakan peristiwa-peristiwa penting sebagai titik acuan dalam menetapkan era. 


Demikian pula, dalam budaya Arab pra-Islam, mereka menggunakan peristiwa-peristiwa seperti kematian Kaʿab ibn Luʾayy, Tahun Gajah (ʿAm al-Fil), dan Harb al-Fijar sebagai acuan waktu.

 

Dalam kronik sejarahnya, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, Imam Thabari menyatakan: Maymun bin Mihran menceritakan: Sebuah dokumen hukum untuk suatu perbuatan dikirim kepada ʿUmar yang tertulis bulan Sya’ban. 


ʿUmar bertanya: Apakah ini Syaʿban tahun lalu atau tahun yang akan datang? Kemudian Khalifah setelah Abu Bakar ini berkata kepada para sahabat: Mari kita tetapkan satu titik awal yang digunakan oleh masyarakat.


Kesepakatan Memilih Peristiwa Hijrah


Pada saat itu, ʿUmar dan para sahabatnya melakukan diskusi tentang bagaimana cara mencatat peristiwa-peristiwa tersebut. Mereka sepakat untuk mengadopsi cara penulisan tanggal yang digunakan oleh bangsa asing, yaitu dengan menuliskan “di bulan ini tahun ini”. Namun, muncul pertanyaan mengenai tahun mana yang harus dijadikan titik awal.


Beberapa orang menyarankan untuk menggunakan waktu wahyu pertama kepada Nabi Muhammad, sementara yang lain mengusulkan untuk menggunakan wafatnya Nabi sebagai titik awal. 


Setelah pembahasan yang panjang, akhirnya mereka sepakat untuk menggunakan hijrah sebagai awal era Islam. Dalam menentukan bulan awal, ada yang mengusulkan Ramadan, namun akhirnya, para sahabat dengan bulat setuju untuk memulai tahun dengan bulan Muharram.


Pada masa Kekhalifahan ʿUmar inilah para sahabat sepakat untuk menggunakan hijrah Nabi Muhammad sebagai titik awal era Islam. Hijrah ini memiliki makna yang mendalam, karena memisahkan kebenaran dari kesesatan. 


Dengan menetapkan hijrah sebagai titik awal, umat Muslim memiliki fondasi yang kuat untuk mengukur waktu dan mengidentifikasi diri mereka sebagai umat Islam.


Dengan demikian, kalender Islam bukan hanya sekadar alat pengukur waktu, tetapi juga lambang identitas dan warisan umat Muslim. Para sahabat Nabi telah memahami pentingnya menjaga ketertiban dan konsistensi dalam penggunaan kalender ini, sehingga memastikan bahwa perintah Allah dan Rasul-Nya tetap terjaga.


Hikmah di Balik Penamaan Hijriyah


Penamaan “hijriyah” diambil dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Hijrah ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah Islam yang menandai perpindahan Nabi Saw dan para sahabatnya ke Madinah untuk membentuk sebuah negara Islam yang baru. 


Keputusan untuk menggunakan hijrah sebagai titik awal era dalam perhitungan tahun Hijriyah adalah hasil dari pertimbangan dan kesepakatan para sahabat setelah wafatnya Nabi Muhammad.


Peristiwa hijrah memiliki makna yang mendalam bagi umat Muslim. Selain menjadi pemisah antara masa kehidupan Nabi Muhammad di Mekkah dan di Madinah, hijrah juga merupakan awal dari pembentukan komunitas Muslim yang kuat dan menandai langkah awal dalam membangun fondasi Islam sebagai agama dan sistem kehidupan yang komprehensif.


Penggunaan kalender Hijriyah, yang dimulai dari peristiwa hijrah, adalah salah satu cara bagi umat Muslim untuk terus terhubung dengan akar sejarah dan identitas mereka sebagai umat Islam. Ini juga mengingatkan mereka akan nilai-nilai dan ajaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad selama periode hijrah dan selanjutnya.


Dengan mengetahui dan memahami sejarah perhitungan tahun Hijriyah yang berakar dari peristiwa hijrah, umat Muslim dapat menghargai dan merayakan perayaan-perayaan keagamaan dalam konteks yang lebih mendalam. 


Selain itu, mereka juga diingatkan akan komitmen untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad dan para sahabat dalam menjaga keutuhan umat Muslim dan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.


Keutamaan Berpuasa di Bulan Muharram


Berdasarkan perhitungan Hisab Hakiki Wujudul Hilal, 1 Muharram 1445 H jatuh pada 19 Juli 2023 M. Muharram merupakan bulan pertama dalam susunan Kalender Islam. Bulan ini termasuk dalam daftar Bulan Haram bersama dengan Zulqaidah, Zulhijah, dan Rajab.


Hal di atas berdasarkan atas pemahaman dari QS. At-Taubah ayat 36, di mana Allah berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus.”


Menurut anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Asep Shalahuddin, Nabi Muhammad Saw menganjurkan pada umatnya agar melakukan ibadah puasa pada bulan Muharram. 


Berdasarkan hadis: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ‘Puasa (sunah) yang paling utama setelah (puasa) di bulan Ramadan adalah (puasa) pada bulan Allah yang al-Muharram (puasa Asyura), dan salat sunah yang paling utama setelah salat fardhu adalah salat malam.” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).


Hadis di atas menunjukkan bahwa puasa sunah yang paling utama setelah puasa wajib di bulan Ramadan adalah puasa sunat pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan puasa Asyura. Terdapat dua keutamaan puasa Asyura pada bulan Muharram, di antaranya:


Pertama, puasa Asyura merupakan salah satu dari empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi SAW. 


Berdasarkan hadis: “Dari Hafshah ia berkata: Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi SAW, yaitu: puasa Asyura tanggal sepuluh dan puasa tiga hari setiap bulan serta salat dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad dan an-Nasai).


Kedua, puasa Asyura mempunyai keutamaan dapat menghapus dosa tahun yang lalu. 


Berdasarkan hadis: “Dari Qatadah ra. Ia berkata: Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa pada hari Arafah, beliau menjawab: Puasa pada hari Arafah dapat menghapus dosa tahun lalu dan tahun yang akan datang. Dan beliau ditanya lagi tentang puasa Asyura, maka beliau menjawab: Puasa Asyura dapat menghapus dosa yang lalu”. (HR. al-Jama’ah, kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi).


Namun, sebelum melaksanakan puasa Asyura, disunahkan untuk melaksanakan puasa Tasua. 


Berdasarkan hadis: “Ia (Ibnu Abbas berkata); Rasulullah saw bersabda: Seandainya aku (Rasulullah) masih hidup sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilan”. (HR Ibnu Majah). 


Meski Nabi Saw telah berniat untuk melakukan puasa pada hari kesembilan, namun Rasulullah Saw belum sempat melaksanakannya karena telah dipanggil Yang Maha Kuasa.


Dapat disimpulkan bahwa puasa Asyura sebaiknya dilaksanakan setelah puasa Tasu’a, karena Nabi Muhammad saw melakukan puasa Asyura pada tanggal kesepuluh dan beliau juga berniat untuk berpuasa pada tanggal kesembilan. Menurut Asep, ini adalah pendapat atau cara yang paling kuat.***(mhmd)

Iklan