JAKARTA — Hukum asal dari ibadah mahdlah adalah haram. Segala hal yang berkaitan dengan ibadah mahdlah mulai dari tuntunan, ukuran, waktu, volume, dan lain-lain harus disesuaikan dengan dalil Al Quran dan Al Sunah. Salah satu contoh yang masuk dalam koridor ibadah mahdlah ialah puasa Nishfu Syaban.
“Membahas tentang ibadah puasa pada tanggal-tanggal tertentu maka sejatinya kita sedang memasuki syariat Islam dalam ranah ibadah mahdhah, yakni ibadah yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah tuntas di masa nabi dan tidak mengalami perubahan meski berkembangnya zaman, kecuali sebab syar’i yang mengharuskan,” ucap ’Aabidah Ummu ‘Aziizah.
Menurut Anggota Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini, anggapan adanya puasa di waktu pertengahan bulan sya’ban ini berangkat dari hadis riwayat Ibnu Majah melalui Ali r.a: “Jika ada malam Nishfu Sya’ban maka dirikanlah (ibadahlah) di malamnya dan puasalah di siang harinya.”
Hadis ini menurut ijma’ ulama berderajat dhaif (lemah) karena salah satu rawinya yang terkenal sebagai pemalsu hadis, sehingga hadis-hadis yang diriwayatkannya akan terjatuh pada kategori hadis palsu. Karenanya, hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Namun begitu, terdapat beberapa hadis tentang puasa di bulan Sya’ban riwayat Bukhari dan Muslim dari jalur Aisyah yang berbunyi:
Dari Siti Aisyah ra berkata: “Rasulullah berpuasa hingga kami menyangka Ia berbuka, dan berbuka hingga kami menyangka Ia tidak berpuasa dan aku tidak pernah melihat Rasul menyempurnakan puasanya satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat Rasul memperbanyak puasanya daripada berpuasa di bulan Sya’ban”.
Ada pula hadis riwayat an-Nasai yang berbunyi: Salah satu dari kami biasa berbuka di bulan Ramadan, dan tidak mampu untuk mengqadha puasa tersebut hingga masuk bulan Sya’ban. Rasulullah tidak berpuasa di bulan mana pun seperti yang beliau berpuasa di bulan Sya’ban, beliau berpuasa sepanjang bulan itu kecuali sedikit.
Menurut ‘Aabidah, dua hadis di atas menggambarkan bahwa Rasulullah melakukan puasa di bulan Sya’ban dengan teknis: (1) terkadang sebulan penuh, (2) terkadang tidak penuh namun tetap terhitung banyak dibandingkan pada bulan-bulan lain. Sehingga apabila dua kesimpulan tersebut menggunakan paradigma jam’u wa at-taufiq, maka akan terangkum dua hal:
Pertama, jika seorang muslim hendak puasa Sya’ban maka dapat melakukannya dengan puasa satu bulan penuh; dan kedua, jika seorang muslim hendak melakukan dengan tidak sebulan penuh tetapi ingin memperbanyak puasa di bulan tersebut, maka dapat melakukan puasa-puasa sunnah yang telah ada seperti Senin-Kamis, Ayyamul Bidh dan atau bahkan puasa Daud. Dan bukan bermakna membuat puasa Sya’ban sendiri seperti sepekan penuh dan seterusnya.
Selain itu, terdapat tinjauan lain terkait hadis riwayat an-Nasai di atas yang menggambarkan Rasulullah berpuasa penuh selama bulan Sya’ban.
“Hal ini perlu adanya tinjauan lebih lanjut karena kebiasaan orang Arab yang sering mengatakan ‘semalaman penuh’, padahal realitanya hanyalah sebagian malam saja, hal ini dikatakan untuk menggambarkan bahwa hal tersebut dikerjakan dengan jumlah yang banyak bukan menunjukkan pada bilangan yang bulat atau 1 malam secara mutlak,” terang alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini.
Oleh karena itu, Muhammadiyah meyakini bahwa tidak ada ibadah khusus dalam Nishfu Sya’ban seperti puasa di tengah bulan saja, Yasinan dan lain sebagainya. Apa yang ada hanya anjuran Rasulullah kepada umat Islam untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban dengan teknis sebagaimana dijelaskan sebelumnya.***(MHMD)