Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Wakil Sekretaris LPCR-PM PP Muhammadiyah
JAKARTA -- Lembaga Pengembangan Cabang Ranting dan Pembinaan Masjid Muhammadiyah (LPCR-PM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah baru selesai menyelenggarakan perhelatan Akademi Marbot Masjid, bertempat di Masjid Al Afalah, Sragen Jawa Tengah. Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 1-8 Juni 2024.
Para peserta adalah perwakilan dari 12 Masjid Muhammadiyah di Indonesia; Masjid Al Furqon Depok, Masjid Mujahidin PWM Jawa Barat, Masjid Al Jihad Banjarmasin, Masjid Al Muqarrabin PWM Gorontalo, dan Masjid Ar Rahmah RS Cempaka Putih.
Para penggagas acara begitu cerdas dalam memilih istilah ”Akademi Marbot”. Ia banyak mengundang rasa ke-ingintahuan dari orang lain. Kata akademi, biasannya hanya dipahami sebagai sebuah jenjang pendidikan formal setingkat diploma. Kali ini ia telah diperluas menjadi taman belajar bersama. Sebuah medium untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman di antara peserta belajar.
Hal istimewa lainnya adalah, materi yang diberikan benar-benar terkait dengan perkara manajemen Masjid, dan tempat acaranya juga di Masjid. Para peserta belajar, tidur, makan di wilayah Masjid.
Perluasan Fungsi Masjid
Penulis berkesempatan hadir dan berdiskusi dengan Mas Kusnadi Ikhwani, Ketua DKM Masjid Al-Falah Sragen, sekaligus pengampu Akademi Marbot. Dalam pandangannya, Masjid adalah tempat ibadah yang mulia.
Oleh karena itu, ia bisa menjadi ruang perjumpaan yang strategis bagi ummat. Selain untuk sholat berjamaah 5 kali dalam 24 jam, ia bisa menjadi wahana untuk menelorkan gagasan-gagasan kreatif, baik yang bermuara pada kemaslahatan ummat. Ia bisa berfungsi sebagai wadah belajar, tempat usaha, tempat nongkrong anak-anak muda, tempat berkreasi, hingga menginap bagi mereka yang sedang dalam perjalanan jauh.
”Bahkan Masjid bisa menjadi tempat tinggal sementara bagi mereka yang terbuang dari keluarga dan komunitasya. Tentu ada aturan yang harus ditaati dan diikuti ” Ujar Mas Kusnadi.
Untuk mewujudkan gagasan itu, syarat utamannya, Masjid harus dikelola secara professional. Yaitu tindakan yang sarat kebaikan, kejujuran, penuh amanah. Semua kebijakan para pengelola manajemen Masjid harus bisa dipertanggungjawabkan. Teknisnya bisa dibuat dengan berbagai macam cara.
Namun substansinya, pengelolaan Masjid harus auditable. Ciri professionalitas lainnya adalah adannya reward yang cukup adil bagi semua pihak yang terlibat dalam kepengurusan Masjid sesuai fungsi masing-masing. Mulai dari imam, guru, petugas kebersihan, parkir, keamanan, pengelola keuangan, pelaksana program dan semuannya.
Mengelola Masjid tidak bisa dijadikan pekerjaan sambilan. Mereka bisa menauladani spirit dalam mengelola gedung pertunjukan, hotel, bangunan perkantoran. Dari pemeliharaan gedung, fasilitas, semua asset Masjid.
Standar kebersihan di semua ruangan dari tempat sholat, toilet, tempat belajar, ruang penginapan, tempat parkiran hingga taman di sekitar Masjid harus baik. Jaminan keamanan harta-benda milik orang yang sedang berada di Masjid juga harus terjamin. Tidak boleh ada kejadian orang berangkat dengan sandal kulit, pulang terpaksa berganti dengan sandal jepit.
Ketika standar layanan kebutuhan fisik di atas sudah bisa diberikan dengan baik, itu dirasa belum cukup. Pihak pengelola Masjid masih harus berusaha bisa memenuhi kebutuhan rohani anggota jamaah.
Karena Masjid adalah sarana belajar, bertukar pengetahuan dan pengalaman dalam konteks ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang relevan. Penentuan tema kajian, narasumber yang tepat dan sejumlah sarana lain yang dibutuhkan akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pengelola. Secara lebih jauh, masjid juga bisa sebagai sarana untuk jualan memenuhi kebutuhan jamaah, sarana nongkrong bagi anak-anak muda dan banyak lagi. Jadi manajer Masjid yang kreatif, keren, selaras kebutuhan jamaah dan tuntutan zaman adalah mutlak.
Akademi Masjid yang diselenggarakan oleh LPCR-PM ini tidak diniatkan untuk mencetak para ”Marbot Masjid” yang dipersempit pemaknaan dan fungsinya. Marbot sering dipersepsikan sebagai tukang azan, pengatur sound system, penunggu Masjid dan tukang bersih-bersih perabot.
Fungsi di atas tetap penting, tetapi marbot Masjid dalam proses pendidikan kali ini tidak sebatas itu. Setelah pelatihan mereka diharapkan mampu menjadi seorang manajer, pemimpin Masjid yang multi tasking. Untuk itu, mereka dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan agar mampu menjadi seorang manajer pengelolaan Masjid yang cakap, trampil, berpengetahuan, jujur dan amanah.
”Mengeola Masjid tidak boleh sambilan. Pengelola harus bekerja secara professional sehingga mampu memakmurkan jamaahnya”. Demikian pesan Ketua DKM Masjid Raya Al Falah Sragen, Kusnadi Ikhwani yang sekaligus pengurus LPCR-PM PP Muhammadiyah.
Untuk itu, materi yang disampaikan dalam proses belajar ini berorientasi pada pembangunan professionalitas kerja. Seperti; Manajemen Kemasjidan; keuangan, program, kepemudaan, keilmuan, dakwah,. Layanan terbaik, adalah materi utama lain yang diberikan untuk menegaskan bahwa prinsip layanan terbaik adalah hal sangat penting bagi para manajer Masjid. Terakhir terkait dengan teknik penggalangan dana.
Membentengi Godaan
Ketika suatu Masjid sudah mampu menggalang dana secara baik dan berhasil, maka tantangan terbesarnya adalah sistem pengelolaannya secara sidiq, amanah dan fathanah. Sebagai manusia yang tidak pernah luput dari kehendak, maka setiap orang berpotensi menghadapi godaan saat berada pada lingkungan kuasa dalam mengelola uang besar, tetapi milik ummat.
Mas Kusnadi Ichwani memiliki pesan untuk membentengi diri dalam menghadapi godaan tersebut. Antara lain;
Pertama, sejak awal, penggalangan dan pengelolaan dana Masjid harus dikelola oleh pihak ke tiga yang jujur dan amanah. Dalam hal ini LAZISMU adalah pilihan terbaik. Lembaga ini memiliki sistem kontrol yang sangat ketat.
Pencatatan uang masuk dan keluar sudah terlembaga dengan sangat baik dan auditable. Semua kebijakan penggunaan uang harus bisa dipertanggungjawabkan melalui sistem audit oleh lembaga idependen dan professional.
Kedua, niat baik harus didukung oleh sumberdaya yang cukup untuk merawat niat itu agar tetap teguh. Para Pimpinan Masjid yang bekerja penuh sebaiknya sudah aman secara ekonomi. Kebutuhan dasar bagi diri dan keluarganya sudah bisa terpenuhi dari sumber keuangan sendiri. Dengan begitu, maka niat baik bisa terawat keteguhannya.
Ketiga, dalam pengelolaan seluruh aktivitas Masjid mensyaratkan adanya kontrol secara ketat oleh pengurus lain. Tugas pengontrol benar-benar hanya mengawasi, tidak boleh terlibat dalam pelaksanaan. Mereka yang duduk di dalam struktur ini bisa direpresentasi dari berbagai bidang keahlian dan fungsi.
Ketiga prasyarat di atas mutlak dalam upaya membangun manajemen Masjid yang mampu memakmurkan ummat. Amin. ***