JAKARTA--Menjelang pilkada serentak pada tanggal 27 November 2024, suhu politik di tanah air kembali memanas. Tarik ulur, berganti posisi siapa balon dan kans untuk menang untuk mendapat simpati masyarakat kian santer di berbagai media massa. Partai politik berebut mencari teman dengan tujuan bersama dapat berlayar aman, pertanda agar mereka memiliki hak suara dan kewenangan lima tahun mendatang.
Bagaimana efek kerjasama menyatukan perbedaan dalam politik praktis tadi, secara tidak sadar melupakan hal terpenting dari pemilihan kepala daerah yang sesungguhnya, yakni kesejahteraan rakyat. Tujuan melindungi segenap tumpah darah Indonesia, perlahan kabur karena keegoisan segelintir individu namun selalu mengatakan kepentingan rakyat dan bangsa.
Mengurai tentang makna "sejahtera" yang diimpikan rakyat lintas generasi, diantara kita dengan segala jenjang profesi, pendidikan bahkan agama pasti pernah berdiskusi dan mengeluh tentang keadaan Indonesia. Walaupun tidak selalu update bahkan peduli dengan perkembangan dinamika sosial politik negara, kita sebagai masyarakat adalah bagian terbesar merasakan dampak dari berbagai perubahan-perubahan tadi.
Maka tidak boleh kita hanya berdiam diri, menunggu tanpa melakukan sesuatu. Menjelang pilkada 2024 kita kawal tuntas hingga hasil diumumkan oleh KPU, kita pilih pasangan calon yang memiliki integritas, tidak semata sebab popularitas. Mengutip pendapat John C. Maxwell, “Kepemimpinan merupakan suatu tindakan, bukan sebuah jabatan (a leader is one who knows the way, shows the way, and goes the way).
Semoga calon pemimpin bangsa ini ingat, bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi Pancasila dan rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi (Pasal1Ayat(2) UUD 1945). Maka pilihlah pemimpin dengan sifat siddiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathonah (cerdas), seperti yang Rasulullah SAW ajarkan.
Sejahtera adalah amanat UUD 1945
Sejahtera bukan sekedar impian dan cita-cita yang harus terus didengungkan. Tetapi amanah para pendiri bangsa yang telah mengikhlashkan jiwa raga hingga titik darah penghabisan agar NKRI tegak. Mereka tidak mau anak cucu bangsa ini memiliki nasib seperti yang mereka rasakan. Jangankan mengenyam pendidikan yang layak, atau untuk makan sekali sehari harus melalui perjuangan melelahkan, yang paling memilukan adalah ketika negeri terjajah, tidak ada lagi hak hidup layak.
Jika jauh sebelum republik ini mengumandangkan takbir kemerdekaan tanda Indonesia berdaulat, Indonesia terjajah oleh bangsa asing yang berpura-pura menebar kebaikan padahal jelas mengambil keuntungan, tidak hanya hasil bumi ibu Pertiwi yang mereka kuras, tetapi juga kekayaan intelektual bangsa diangkut.
Sekarang penjajah itu tidak lagi berseragam, tidak lagi memegang senjata tanda memiliki kekuatan dan kekuasaan. Tetapi berubah menjadi ketidakadilan dalam mendapatkan hak memperoleh akses pendidikan, hukum, kesehatan serta lapangan pekerjaan. Sang Proklamator RI Bung Karno pernah berujar, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri".
Pernyataan, pesan atau bisa disebut peringatan Bung Karno diatas tidaklah sesederhana yang tersurat. Secara tersirat pesan tersebut bermakna sangat dalam. Bahwa perjuangan menjadikan negeri maju, sejahtera dimana rakyat mendapatkan hak utama tidak sesederhana teori. Perlu perjuangan, peluh dan komitmen melalui moral semua elemen bangsa. Mulai dari moral ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi serta moral keadilan.
Penulis : Amalia Irfani
Dosen IAIN Pontianak/Sekretaris LPP PWM Kalbar