BANDUNG — Di tengah kekayaan budaya Sunda yang kental dengan tradisi dan bahasa daerah, menyampaikan pesan Al-Qur’an secara efektif kepada masyarakat ermenjadi sebuah tantangan. Bagaimana membuat ini mudah dipahami oleh masyarakat Sunda yang masih kuat memegang bahasa dan tradisi lokal, tanpa kehilangan esensi agama?
Inilah yang menjadi fokus utama dalam pembahasan Tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda di kalangan Muhammadiyah, sebagaimana disampaikan oleh Guru Besar Bidang Ilmu Tafsir UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Jajang Rohmana, dalam acara Gerakan Subuh Mengaji pada Sabtu (26/04).
Muhammadiyah dan Tafsir Sunda
Muhammadiyah telah lama hadir di Jawa Barat sejak tahun 1923, masuk melalui dua jalur utama: jalur utara dari Batavia (Jakarta) dan jalur selatan melalui Garut. Khususnya di Garut, Muhammadiyah dikenal sebagai perintis dengan mendirikan lembaga pendidikan dan masjid, yang menjadi cikal bakal penyebaran paham pembaharuan Islam di wilayah tersebut.
Para mubalig Muhammadiyah, banyak di antaranya berasal dari Kudus dan Yogyakarta, membawa semangat modernisasi sambil berdagang, hingga akhirnya memperkenalkan gagasan-gagasan baru ke masyarakat Sunda.
Salah satu kontribusi monumental Muhammadiyah dalam konteks lokal adalah penyusunan tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda. Prof. Jajang menyoroti pentingnya penggunaan bahasa daerah dalam menyampaikan ajaran Al-Qur’an agar lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat.
“Tanpa bahasa daerah, isi Al-Qur’an sulit diterima oleh masyarakat Indonesia yang beragam bahasanya,” ujarnya. Di Jawa Barat, bahasa Sunda menjadi alat utama untuk mensosialisasikan Islam, baik melalui pengajian, majelis taklim, maupun karya tulis seperti tafsir.
Tokoh sentral dalam pembahasan ini adalah Mohammad Emon Hasim, seorang aktivis Muhammadiyah dari Ciamis yang aktif di Bandung, khususnya di wilayah Cicendo. Hasim menciptakan karya tafsir berjudul Ayat Suci Lenyepaneun, sebuah tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda sebanyak 30 jilid yang disebut Prof. Jajang sebagai karya monumental.
Tafsir ini tidak hanya menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga menjelaskannya dengan bahasa Sunda yang kaya akan ungkapan dan peribahasa, sehingga relevan dan mudah dipahami oleh masyarakat Sunda, terutama di pedesaan.
Hidup dari masa penjajahan Belanda hingga era kemerdekaan dan wafat pada 2009, Hasim dikenal konsisten menggunakan bahasa Sunda dalam berbagai karyanya, termasuk khotbah Jumat dan terjemahan hadis.
“Tafsir Lenyepaneun sangat cocok untuk pengajian subuh atau dakwah di desa-desa, karena bahasanya dekat dengan masyarakat Sunda yang belum fasih berbahasa Indonesia,” ungkap Prof. Jajang.
Bahasa Sunda dalam tafsir ini menggunakan tingkatan halus (lemes) dan kasar (kasar) secara cermat, sesuai konteks ayat. Misalnya, dalam Surah Thaha, ketika Nabi Musa menegur Nabi Harun, Hasim menggunakan kata “hidep” (engkau, halus) untuk mencerminkan kelembutan seorang nabi kepada saudaranya.
Prof. Jajang menekankan bahwa tafsir Lenyepaneun kaya akan ungkapan dan peribahasa Sunda yang sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Salah satu contoh adalah penjelasan tentang penyakit hati dalam Surah Al-Baqarah ayat 10:
“Panyakit nu ngancik dina ati téh mimitina mah mencenit leutik siga pisirungeun dina tunggul, lila-lila ngagedéan, asa mokaha mirucaan ceceremed mipit teu amit ngala teu ménta, lila-lila jadi ngabaju, beuki dieu beuki ludeung nepi ka ahirna lébér wawanén jadi bangsa gerot.”
Ungkapan ini menggambarkan penyakit hati yang awalnya kecil, namun lama-kelamaan menjadi kebiasaan buruk hingga merusak, seperti pencuri kecil yang akhirnya menjadi koruptor besar.
Contoh lain adalah larangan menikahi perempuan musyrik dalam Surah Al-Baqarah ayat 221. Hasim menggambarkan kecantikan perempuan musyrik dengan ungkapan puitis:
“Mojang lenjang ngalempereng koneng atawa jangjing kulitna semu hejo carulang, panon cureuleuk beungeutna ngadaun seureuh, pendekna mah ti luhur sasemet buuk ti handap sausap dampal matak moho nu nenjo, geulis pilih tanding endah taya papadana matak ibur salelembur matak ear sajajagat. Tapi hanjakal sanajan geulis andalemi ampuh timpuh pikayungyuneun pikaheroyeun geuning dipiamis buah gintung, atina midua pikir ngijing sila bengkok sembah ka Nu Maha Kawasa, musyrikat nu dila’nat ku Mantenna.”
Ungkapan ini tidak hanya indah, tetapi juga mengingatkan umat untuk tidak terpukau oleh kecantikan semata tanpa mempertimbangkan keimanan.
Mengandung Misi Modernis Muhammadiyah
Tafsir Lenyepaneun bukan sekadar terjemahan, tetapi juga sarana dakwah ideologis Muhammadiyah untuk memperbarui pemahaman keagamaan masyarakat Sunda. Hasim menekankan perlunya umat Islam terbebas dari taklid buta, khurafat, dan tahayul.
Dalam tafsirnya, ia mengkritik praktik-praktik seperti pemujaan terhadap Dewi Sri dalam tradisi pertanian, yang dianggapnya sebagai bentuk kemusyrikan. “Dina ngolah sawah ge tara tinggalkeun tutungkusan ti karuhun nyaeta ngamuhit ka Dewi Sri,” tulis Hasim, seraya menyebut praktik seperti menyuguhkan sesajen sebagai tahayul yang harus ditinggalkan.
Misi purifikasi ini sejalan dengan visi Muhammadiyah untuk menghadirkan Islam yang bersih dari ajaran yang dianggap menyimpang, sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah. Prof. Jajang menyebut tafsir ini sebagai upaya untuk “meluruskan” pemahaman agama, terutama di tengah masyarakat Sunda yang pada masa itu masih kuat dipengaruhi tradisi lokal.
Meski tafsir Lenyepaneun telah memberikan kontribusi besar, Prof. Jajang menyayangkan minimnya penerus Muhammad Hasim di kalangan Muhammadiyah Jawa Barat.
“Setelah beliau wafat pada 2009, belum ada lagi warga Muhammadiyah yang menulis tafsir atau terjemahan Al-Qur’an berbahasa Sunda,” ujarnya. Padahal, kebutuhan akan karya semacam itu masih besar, terutama di majelis taklim dan pengajian yang menggunakan bahasa Sunda.
Ia juga menyoroti pentingnya merawat bahasa Sunda sebagai bagian dari keberlangsungan dakwah Islam di Jawa Barat. “Bahasa daerah adalah jembatan untuk menyampaikan ajaran Islam secara fleksibel dan mudah diterima,” tambahnya.
Prof. Jajang berharap warga Muhammadiyah, khususnya generasi muda, dapat melanjutkan tradisi ini, baik dalam bahasa Sunda maupun Indonesia, untuk memperkaya khazanah tafsir dan mendukung islamisasi yang lebih kental di masyarakat.
Paparan Prof. Jajang Rohmana dalam Gerakan Subuh Mengaji ini mengingatkan kita akan pentingnya kreativitas dalam dakwah. Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun karya Mohammad Emon Hasim bukan hanya warisan keagamaan, tetapi juga budaya yang memperkaya bahasa Sunda. Karya ini menjadi bukti bahwa Islam dapat hadir secara fleksibel, merangkul budaya lokal tanpa kehilangan nilai-nilai universalnya.
Tantangan ke depan adalah bagaimana generasi saat ini dapat melanjutkan semangat tersebut, menjadikan Al-Qur’an semakin dekat dengan hati masyarakat Sunda melalui bahasa yang mereka cintai.***(MHMD)