YOGYAKARTA – Dalam kajian keagamaan di Masjid KH Sudja Yogyakarta, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Budi Jaya Putra, menyampaikan pelajaran mendalam dari kisah keluarga Nabi Ibrahim.
Kajian yang digelar pada Senin (05/05) ini mengupas keimanan luar biasa Nabi Ibrahim, Siti Sarah, Siti Hajar, dan Nabi Ismail dalam menghadapi ujian berat dari Allah. Salah satu ujian terbesar yang disoroti adalah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk membawa Siti Hajar dan putranya, Ismail, ke sebuah tempat tandus yang kini dikenal sebagai Makkah.
Saat itu, Makkah belum memiliki penghuni, sumber air, atau fasilitas apa pun, bahkan “sinyal pun belum ada,” ujar Budi dengan nada humor, disambut tawa jemaah.
Siti Hajar, dengan keimanan yang kokoh, menerima keputusan suaminya tanpa keluh kesah, meski ditinggalkan di padang pasir tanpa bekal memadai. Ketika Nabi Ibrahim meninggalkannya, Siti Hajar tidak marah atau kecewa, melainkan berusaha mencari air untuk anaknya, Ismail.
Perjuangannya berlari antara Bukit Safa dan Marwah, yang kini menjadi ritus sai dalam ibadah haji, menjadi simbol ketabahan dan tawakal. “Bayangkan, ditinggalkan tanpa air, tanpa apa-apa, tapi Siti Hajar tidak mengeluh. Ini kekuatan iman,” ungkap Budi.
Puncaknya, Allah memberikan mukjizat berupa air yang memancar dari bawah telapak kaki Nabi Ismail, yang kini dikenal sebagai air Zamzam.
Budi menegaskan, kisah ini mengajarkan pentingnya ketaatan kepada Allah tanpa ragu. Ia mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an, “Wala khawfun ‘alaihim walahum yahzanun” (QS. Al-Baqarah: 112), yang berarti tidak ada rasa takut atau sedih bagi orang beriman.
Keimanan keluarga Nabi Ibrahim menjadi teladan bagi umat Islam untuk menghadapi ujian hidup dengan sabar dan penuh tawakal. “Jika kita ditinggalkan di padang pasir seperti Siti Hajar, mungkin kita sudah protes. Tapi Siti Hajar tidak, karena dia yakin perintah suaminya berasal dari Allah,” jelasnya.
Lebih lanjut, Budi menyoroti bahwa ujian ini juga menggambarkan pentingnya menjaga nasab dan keturunan yang berkualitas. Nabi Ibrahim, meski lama menanti keturunan, tetap sabar dan tidak kehilangan iman.
Ketika akhirnya dikaruniai Ismail dan Ishak, ia rela memisahkan diri dari Ismail atas perintah Allah. “Ini pelajaran besar. Keimanan membuat kita tidak takut kehilangan apa pun, asal itu perintah Allah,” tuturnya.
Budi mengajak jemaah untuk meneladani sikap ini, terutama menjelang Idul Adha, di mana keimanan diuji melalui ketaatan berkurban. Ia mengkritik sikap sebagian orang yang mampu membeli barang mewah, seperti sepeda jutaan rupiah, namun enggan berkurban.
“Keimanan kita dipertaruhkan. Kalau beriman, berkurban itu mudah,” tegasnya. Kajian ini mengingatkan umat Islam untuk memperkuat iman dan ketaatan seperti keluarga Nabi Ibrahim.***