Iklan

Iklan

,

Iklan

Jawaban Muhammadiyah Terkait Donor Jenazah untuk "Teaching Hospital"

Redaksi
Kamis, 18 September 2025, 11:11 WIB Last Updated 2025-09-18T04:11:10Z


JAKARTA, Muhammadiyah Good News || Islam tidak pernah menutup diri dari perkembangan ilmu pengetahuan. Sejak abad klasik, para sarjana muslim sudah melahirkan karya-karya monumental dalam astronomi, matematika, filsafat, dan tentu saja kedokteran.


Di antara cabang paling penting dalam ilmu kedokteran adalah anatomi, yaitu ilmu tentang susunan tubuh manusia. Ilmu ini tidak mungkin hanya berhenti di tataran teori. Ia membutuhkan praktik langsung melalui pengamatan terhadap tubuh manusia, baik dalam kondisi hidup maupun setelah meninggal.


Namun, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana hukumnya mendonorkan tubuh manusia—menjadikannya kadaver—untuk kepentingan penelitian dan pendidikan kedokteran di Teaching Hospital?


Islam menekankan penghormatan kepada manusia, baik ketika hidup maupun setelah meninggal. Allah berfirman:


وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا


“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Q.S. al-Isra’ [17]: 70).


Nabi Muhammad Saw bahkan menegaskan bahwa merusak jasad orang yang sudah meninggal sama buruknya dengan melukai orang hidup:


عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا


“Mematahkan tulang orang mati itu sama seperti mematahkannya ketika hidup.” (H.R. Abu Dawud, no. 2792).


Karena itu, syariat mengajarkan agar jenazah diperlakukan dengan penuh kehormatan: dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dikuburkan.


Posisi Kadaver dalam Dunia Medis dan Islam


Dalam dunia kedokteran, kadaver adalah mayat manusia yang diawetkan untuk keperluan penelitian. Ia sangat penting, sebab tidak ada media lain yang mampu menggantikan tubuh manusia dalam pembelajaran anatomi. Kadaver biasanya diperoleh dari dua sumber:


Unclaimed body (jenazah yang tidak teridentifikasi atau tidak diurus keluarganya), Wasiat seseorang yang rela mendonorkan tubuhnya setelah meninggal.


Di sinilah timbul perdebatan: apakah penggunaan mayat sebagai kadaver termasuk merusak jenazah, atau justru masuk dalam kategori maslahat?


Beberapa ulama kontemporer memberi kelonggaran. Yusuf al-Qaradawi, misalnya, membolehkan seorang muslim mewasiatkan tubuh atau organ tubuhnya untuk kepentingan penelitian dan pengobatan. 


Menurutnya, meski tubuh adalah titipan Allah, manusia diberi kewenangan untuk memanfaatkannya dengan cara yang memberi maslahat. Ia menegaskan:


“Tidak ada dalil syar‘i yang mengharamkannya. Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil sahih yang melarangnya.”


Imam Abu Hanifah, di sisi lain, menekankan bahwa mayat tidak boleh diperlakukan sebagai “harta” sehingga haram diperjualbelikan. Artinya, penggunaan kadaver hanya bisa dibenarkan dalam kerangka ilmu pengetahuan dan kemaslahatan, bukan untuk tujuan komersial.


Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa No. 12 Tahun 2007 memberikan kejelasan. Intinya, penggunaan jenazah untuk penelitian diperbolehkan, dengan syarat-syarat berikut:


  1. Tujuan penelitian adalah pengembangan ilmu kedokteran yang membawa kemaslahatan umum (hifz al-nafs/menjaga jiwa).
  2. Hak-hak jenazah harus dipenuhi terlebih dahulu (dimandikan, dikafani, disalatkan).
  3. Penggunaan mayat dilakukan sebatas kebutuhan (al-dharurah tuqaddaru biqadariha).
  4. Setelah penelitian selesai, jenazah segera dikuburkan dengan layak.
  5. Harus ada izin dari almarhum (melalui wasiat), dari ahli waris, atau dari pemerintah.


Kaidah Fikih yang Menjadi Landasan


Ada tiga kaidah penting yang menjadi pijakan hukum:


الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْضُوْرَاتِ


Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.


الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا


Kebolehan karena darurat dibatasi sesuai kadar kebutuhan.


اَلْمَصْلَحَةُ الْعَامَّةُ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْمَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ


Kemaslahatan umum lebih diutamakan daripada kemaslahatan khusus.


Artinya, membiarkan calon dokter tanpa pemahaman anatomi yang benar justru berpotensi mengorbankan nyawa pasien. Maka, pemanfaatan jenazah sebagai sarana belajar memiliki maslahat yang lebih besar.


Berdasarkan dalil-dalil, pandangan ulama, dan fatwa MUI, mendonorkan jenazah untuk kepentingan pendidikan kedokteran hukumnya boleh. Namun, syaratnya jelas: harus ada wasiat dari si mayit atau izin dari ahli waris, hak-hak jenazah harus dipenuhi terlebih dahulu, dan penggunaannya dibatasi sesuai kebutuhan.


Referensi: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Hukum Donor Mayat pada Teaching Hospital”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 09 Tahun 2022.

Iklan