JAKARTA -- Diskusi tentang hukum memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw hingga kini masih terus bergulir. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai perkara bid’ah yang harus ditinggalkan. Sebagian lagi memandangnya sebagai bagian dari ekspresi rasa rindu terhadap Rasulullah Saw.
Jika kita menelaah lebih dalam, maka sebenarnya persoalan yang sering diperdebatkan pada 12 Rabiulawal ini masuk dalam wilayah ijtihadiyah. Artinya, perkara yang tidak secara tegas diperintahkan, juga tidak secara eksplisit dilarang dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Tim Fatwa Tarjih, misalnya, menegaskan bahwa belum ditemukan dalil yang memerintahkan secara langsung untuk menyelenggarakan Maulid. Mereka juga tidak menemukan dalil yang melarangnya. Dengan demikian, kedudukan hukum memperingati Maulid adalah mubah.
Hanya saja, ada syarat penting bilamana ingin memperingati Maulid, seperti jangan sampai pelaksanaannya mengandung unsur yang dilarang syariat, seperti bid’ah, syirik atau bentuk pemujaan berlebihan kepada Nabi Saw.
Rasulullah Saw sendiri sudah mengingatkan agar umat Islam tidak melampaui batas dalam memuliakan beliau. Ia tidak ingin seperti orang Nasrani yang berlebihan dalam memuja Nabi Isa. Dalam sebuah hadis, Nabi Saw bersabda:
عَنْ عُمَرَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: Aku mendengar Nabi saw bersabda: Janganlah kalian memuji-muji aku secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani memuji Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah. Maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Hadis di atas menjadi garis batas penting bahwa mencintai Nabi Saw memang wajib. Hanya saja tidak boleh berlebihan sampai menempatkan Rasulullah Saw melebihi kedudukan yang sebenarnya. Kita tetap tempatkan Rasulullah Saw sebagai hamba Allah sekaligus Rasul-Nya.
Adapun jika Maulid dijadikan sarana untuk kemaslahatan umat, maka itu bisa bernilai positif. Misalnya, memperingati Maulid dengan pengajian, kajian sejarah Nabi atau kegiatan sosial. Dalam forum seperti itu, umat bisa belajar meneladani akhlak dan pemikiran Nabi Saw. Juga bisa menambah kadar keimanan dan ketakwaan.
Allah sendiri menegaskan bahwa Rasulullah Saw adalah teladan terbaik bagi manusia. Firman Allah terdapat dalam QS Al Ahzab ayat 21 berbunyi:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, serta banyak mengingat Allah.” [QS. al-Ahzab (33): 21].
Ayat ini mempertegas arah peringatan Maulid yang semesetinya: menjadikan Rasulullah Saw sebagai figur yang diteladani dalam kehidupan sehari-hari, bukan sebagai individu yang kita sembah.
Denngan demikian, memperingati Maulid pada dasarnya boleh. Bahkan bisa bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang tepat. Tetapi, jika diwarnai dengan hal-hal yang terlarang, misalnya ada secara ritual atau peribadatan tanpa adanya dalil yang jelas, maka bsia saja menjadi perbuatan yang tercela.
Maka, kesimpulannya sederhana: memperingati Maulid boleh, asal tidak berlebihan, tidak mengandung hal yang dilarang, dan diarahkan untuk dakwah serta kemaslahatan umat.
Referensi: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Hukum Mengadakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 23 2009.