
YOGYAKARTA , Muhammadiyah Good News || Dalam rangka menyemarakkan Milad ke-113 Muhammadiyah, Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar Pengajian Semarak Milad pada Sabtu (1/11/2025).
Hadir sebagai pemateri, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Budi Jaya Putra, yang mengajak jamaah untuk membangun keluarga sakinah dengan fondasi kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang.
Menurut Budi, pernikahan dalam pandangan Islam bukan sekadar ikatan formal, melainkan “wifaqon ghalizhoh”—perjanjian yang kuat antara suami dan istri yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab dan ketulusan.
“Pernikahan itu bukan sekadar hidup bersama, tetapi menyatukan dua jiwa untuk saling menumbuhkan kebaikan,” ujarnya.
Dalam ceramahnya, Budi memperkenalkan filosofi keluarga bahagia yang ia kemas dengan istilah khas Jawa, yaitu GUCI, LENGO, KOYU, dan GAPUK.
Ia menjelaskan, GUCI berasal dari kata “Lugu lan Suci” yang berarti jujur dan apa adanya, serta suci dalam arti tidak ada dusta di antara pasangan.
“Kejujuran itu penting agar tidak muncul keributan. Sampaikan dengan baik, jangan sampai meledak,” pesannya.
Selanjutnya, LENGO dimaknai sebagai kondisi ketika emosi memuncak. Dalam situasi seperti ini, seseorang perlu menenangkan diri agar tidak terjerumus pada kekerasan dalam rumah tangga.
“Bukan orang kuat yang pandai bergulat, tapi yang bisa menahan amarah,” kutip Budi dari hadis Nabi.
Adapun KOYU mengandung makna menyambut pasangan dengan senyum dan tawa, sebagaimana sabda Nabi, “Tabassumuka ila akhika shadaqah” — senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.
Sementara GAPUK berarti menghargai dan memuji pasangan atas apa yang diperbuat, sekecil apa pun itu. “Apresiasi sederhana bisa membuat pasangan merasa dihargai dan mempererat kasih sayang dalam rumah tangga,” jelasnya.
Selain itu, Budi juga menekankan pentingnya kebiasaan sederhana seperti memeluk pasangan sebelum bekerja. Tindakan kecil itu, kata dia, dapat memunculkan hormon kebahagiaan (dopamin) dan memperkuat keharmonisan rumah tangga.
“Hal-hal kecil yang dilakukan dengan cinta bisa menjadi sumber kebahagiaan besar dalam rumah tangga,” pungkasnya.
Keluarga Muhammadiyah Harus Jadi Teladan
Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Agus Taufiqurrahman, menegaskan pentingnya peran keluarga Muhammadiyah dalam menanamkan nilai-nilai tauhid dan tajdid sebagai landasan kehidupan pribadi maupun dalam membangun masyarakat.
Menurutnya, keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat dan bangsa. Di dalamnya berlangsung proses sosialisasi nilai-nilai Islam yang paling intensif dan menentukan arah pembentukan karakter.
“Menjadi kewajiban setiap anggota Muhammadiyah untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, sebagaimana ditegaskan dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM),” ujar Agus dalam Seminar Keluarga Muhammadiyah.
Agus menambahkan, keluarga Muhammadiyah harus benar-benar mampu mewujudkan Keluarga Sakinah yang terintegrasi dengan Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
“Keluarga punya tanggung jawab membangun masyarakat agar menjadi masyarakat utama. Keluarga tidak boleh terpisah dari masyarakat, tetapi menjadi bagian aktif di dalamnya,” tegasnya.
Dalam konteks itu, Agus mengajak keluarga Muhammadiyah untuk memainkan perannya secara nyata, dimulai dari hal-hal sederhana yang berdampak jangka panjang, seperti mendidik anak agar terbiasa berpikir kritis dan logis.
“Semangat tajdid menuntut nalar yang sehat. Karena itu, anak-anak perlu dibiasakan untuk bertanya, berpikir rasional, dan tidak mudah percaya pada mitos,” ungkapnya.
Selain menanamkan pemahaman Islam yang rasional, Agus juga menekankan pentingnya pendidikan yang membangun semangat Islam berkemajuan untuk melahirkan generasi yang berilmu, kreatif, dan mandiri.
“Anak-anak perlu dikenalkan dengan konsep Islam berkemajuan yang menuntun mereka pada kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial,” jelasnya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, lanjut Agus, diperlukan desain lingkungan keluarga yang berlandaskan nilai tauhid. “Rumah Muhammadiyah harus menghadirkan suasana keimanan—dengan doa, bacaan Al-Qur’an, dan diskusi keagamaan. Orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya,” tuturnya.
Ia menekankan, keteladanan dalam ibadah, kejujuran, kerja keras, dan tawakal merupakan bentuk pendidikan tauhid yang paling kuat. “Penanaman tauhid bukan hanya melalui kata-kata, melainkan melalui konsistensi amal,” imbuhnya.
Agus menutup dengan ajakan agar seluruh keluarga Muhammadiyah senantiasa berupaya mewujudkan kehidupan keluarga yang berlandaskan nilai-nilai Islam, sehingga tercipta ketenangan dan ketenteraman dalam kehidupan.
“Jika seluruh nilai itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, insyaallah Keluarga Sakinah Muhammadiyah akan terwujud,” pungkasnya.
Implementasi PHIWM di Tengah Krisis Moral
Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Salmah Orbayyinah mengungkapkan bahwa permasalahan keluarga di era modern semakin kompleks. Meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta tingginya kasus perceraian, menjadi tantangan serius bagi ketahanan keluarga di Indonesia, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Salmah menyampaikan bahwa sepanjang Januari hingga Juni 2024, terdapat 578 korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY. Sementara itu, pada semester pertama 2025 tercatat 237 anak menjadi korban kekerasan.
“Pelecehan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi, lebih dari 40 persen dari total kasus, diikuti oleh kekerasan fisik dan psikis,” ungkap Salmah dalam Seminar Keluarga Muhammadiyah.
Ia menambahkan, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY mencapai 1.326 kasus, dengan jenis terbanyak adalah kekerasan terhadap istri (KTI).
Selain kasus kekerasan, tingginya angka perceraian juga menjadi sorotan. Berdasarkan data tahun 2024, terdapat 637 kasus perceraian di DIY, menempatkan wilayah ini di urutan kesembilan nasional.
“Penyebab utamanya adalah perselisihan berkepanjangan, masalah ekonomi, meninggalkan pasangan, perbuatan nista, kebiasaan buruk, dan kekerasan dalam rumah tangga,” jelas Salmah.
Menghadapi berbagai persoalan tersebut, Salmah mengajak warga Persyarikatan untuk kembali pada Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) sebagai panduan dalam membangun keluarga yang sakinah dan harmonis.
“PHIWM adalah dokumen ideologis Muhammadiyah yang seharusnya menjadi pedoman bagi seluruh warga Persyarikatan dalam kehidupan sehari-hari. Jika dipahami dan diamalkan, maka kehidupan kita akan berjalan seiring dengan ideologi Muhammadiyah,” tegasnya.
Menurut Salmah, PHIWM memuat sebelas kerangka penting, salah satunya mengenai Kehidupan dalam Keluarga. Dalam kerangka ini, Muhammadiyah menekankan pentingnya keluarga sebagai pusat pembentukan akhlak dan keteladanan.
“Keluarga Muhammadiyah harus menampilkan uswah hasanah dalam kehidupan yang Islami, menanamkan nilai ihsan, serta menegakkan amar makruf nahi mungkar di lingkungan keluarga,” ujar Salmah.
Ia menambahkan, keluarga yang Islami harus menumbuhkan kasih sayang, menghormati hak anak, saling menghargai antaranggota keluarga, serta memberikan pendidikan akhlak mulia secara paripurna.
“Dengan meneguhkan kembali PHIWM dalam kehidupan keluarga, kita bisa menghadirkan suasana yang harmonis dan sakinah di tengah kompleksitas tantangan zaman,” tandasnya.***(MHMD)


