Iklan

Iklan

,

Iklan

Kapan Salat Jamak Qashar Bisa Dilakukan? Ini Jawaban Muhammadiyah

Redaksi
Jumat, 07 November 2025, 07:51 WIB Last Updated 2025-11-07T00:51:15Z


KLATEN, Muhammadiyah Good News
|| Dalam pengajian tarjih yang digelar Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Klaten pada Jumat (31/10), Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Asep Sholahuddin, memaparkan secara rinci tuntunan menjamak dan mengqasar salat berdasarkan keputusan resmi Majelis Tarjih.


Ia menjelaskan perkembangan hukum fikih ini dalam Muhammadiyah, mulai dari fatwa hingga menjadi putusan yang bersifat mengikat bagi warga persyarikatan.


“Awalnya pembahasan tentang menjamak dan mengqasar salat baru sebatas fatwa yang dimuat dalam Tanya Jawab Agama jilid 1, 3, dan 6,” ujar Asep. “Namun pada tahun 2018, melalui Munas Tarjih ke-30 di Makassar, pembahasan ini diformalkan menjadi putusan resmi Muhammadiyah dan disahkan oleh Pimpinan Pusat.”


Dalam Munas tersebut, Majelis Tarjih menetapkan tujuh pokok pembahasan tentang menjamak dan mengqasar salat. Satu di antaranya, yakni hukum menjamak salat Jumat dengan Asar, belum selesai dibahas dan kemudian direkomendasikan untuk dikaji kembali pada Munas Tarjih ke-31 di Gresik, Jawa Timur.


Jamak, Qasar, dan Jamak Qasar


Asep menjelaskan bahwa dalam praktik ibadah, terdapat tiga istilah penting: menjamak salat, mengqasar salat, dan menjamak sekaligus mengqasar salat.


Menjamak salat berarti menggabungkan dua waktu salat, yakni Zuhur dengan Asar, serta Magrib dengan Isya, baik dilakukan pada waktu pertama (jamak takdim) maupun waktu kedua (jamak takhir).


“Contohnya, salat Zuhur dan Asar dikerjakan di waktu Zuhur disebut jamak takdim, sedangkan jika dilakukan di waktu Asar disebut jamak takhir,” jelasnya. Ia menekankan bahwa urutan salat tidak boleh dibalik — salat pertama harus didahulukan sebelum salat kedua.


Adapun mengqasar salat berarti meringkas salat yang semula empat rakaat menjadi dua rakaat. Hal ini berlaku bagi salat Zuhur, Asar, dan Isya. “Mengqasar bukan soal hitung-hitungan, tapi bentuk rukhshah (keringanan) yang diberikan Allah kepada musafir,” terang Asep. Ia mengutip hadis Nabi:


صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ


“Qasar salat adalah sedekah yang Allah anugerahkan kepada kalian, maka terimalah sedekah itu.” (HR. Muslim)


Karena itu, Asep menegaskan bahwa mengambil keringanan (rukhshah) justru lebih utama daripada menyempurnakan salat empat rakaat (itmam).


Selain karena safar, menjamak salat juga diperbolehkan dalam kondisi tertentu, seperti hujan lebat yang menyulitkan jamaah untuk ke masjid. Namun, keputusan untuk menjamak salat jamaah, kata Asep, harus ditentukan oleh imam, bukan makmum.


“Makmum tidak boleh memboikot atau memaksa imam untuk menjamak. Yang berhak menentukan hanyalah imam,” tegasnya disambut tawa jamaah.


Ia juga mengingatkan agar kebolehan jamak tidak dijadikan kebiasaan. Nabi SAW melakukannya dalam kondisi tertentu untuk memberikan kemudahan, bukan mengganti rutinitas salat lima waktu.


Dalam penjelasan lebih lanjut, Asep memaparkan empat dasar kebolehan mengqasar salat menurut putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah tahun 2018:


  1. Berdasarkan jarak tempuh (masafah).
  2. Pendapat ulama berbeda: ada yang menetapkan 5,5 km, 16 km, hingga 88 km sebagai batas minimal.
  3. Berdasarkan ‘illat hukum (alasan syar’i) berupa masyaqqah atau kesulitan perjalanan.
  4. Berdasarkan makna bahasa, yakni “idzā dharabtum fil-ard” (apabila kamu bepergian di muka bumi).
  5. Ayat ini tidak menentukan jarak tertentu, cukup adanya aktivitas safar.
  6. Berdasarkan urf (adat), yakni kebiasaan masyarakat dalam memaknai safar.


Muhammadiyah, kata Asep, memilih pendekatan urfiyah, bukan jarak matematis. “Nabi tidak memberi batas jarak atau waktu. Karena itu, ukuran safar dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat di tiap daerah,” jelasnya.


Safar yang dibolehkan untuk qasar, tambah Asep, harus dilakukan bukan untuk tujuan maksiat. Jika bepergian untuk perkara haram, maka rukhshah qasar tidak berlaku.


Lama Safar dan Kasus Musafir Bermakmum pada Mukim


Dalam hadis disebutkan bahwa Nabi pernah melakukan qasar selama 19 atau 20 hari dalam perjalanan. Namun, Asep menegaskan, angka itu bukan batasan waktu, melainkan kebetulan lamanya safar Rasulullah. “Selama seseorang masih dalam status musafir, ia boleh menjamak dan mengqasar,” ujarnya.


Ia juga mencontohkan praktik musafir yang bergabung dengan imam mukim. Dalam hal itu, musafir harus mengikuti salat imam secara sempurna. “Jika imam mukim salat Isya empat rakaat, maka musafir tidak boleh berhenti di dua rakaat. Ia wajib menyempurnakan empat rakaat bersama imam,” terang Asep.


Namun, jika jamaah semuanya musafir, maka salat dapat dijamak dan diqasar sesuai ketentuan. “Zuhur dan Asar dua rakaat, Magrib tiga rakaat, Isya dua rakaat,” tambahnya.


Menutup pengajiannya, Asep mengingatkan bahwa konsep jamak dan qasar merupakan bentuk kasih sayang Allah yang memberikan kelonggaran tanpa mengurangi nilai ibadah.


“Prinsipnya sederhana: Islam tidak ingin memberatkan umatnya. Karena itu, setiap kemudahan harus diiringi dengan pemahaman yang benar agar tidak berubah menjadi kelonggaran yang disalahgunakan,” ujarnya.


Dengan demikian, keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah tentang tuntunan menjamak dan mengqasar salat menjadi pedoman penting agar warga persyarikatan dapat beribadah secara tertib, sesuai syariat, dan selaras dengan prinsip tajdid Muhammadiyah — memurnikan ajaran, memajukan pemahaman. ***  (MHMD)

Iklan