
Oleh: SUKRON ABDILAH, Peneliti Pusat Studi Media Digital Universitas Muhammadiyah Bandung
BANDUNG -- Suatu pagi di sebuah ruang kelas di universitas Muhammadiyah, seorang dosen membuka perkuliahan dengan bertanya, “Jika KH Ahmad Dahlan hidup di zaman ini, kira-kira beliau akan berdakwah lewat apa?”
Seorang mahasiswa menjawab cepat, “Lewat TikTok, Pak!”
Ruang kelas pun tertawa, tapi di balik tawa itu terselip renungan yang dalam: bagaimana semangat tajdid (pembaruan) Muhammadiyah bisa bernafas di dunia digital hari ini?
Tajdid merupakan jantung dari Muhammadiyah. Ia bukan sekadar program modernisasi, melainkan roh pembaruan yang berpijak pada kesadaran tauhid dan semangat rasionalitas Islam. Kontekstualisasi ajaran Islam ialah sebuah keniscayaan tak nisbi.
Sejak KH Ahmad Dahlan menafsir ulang arah kiblat di Yogyakarta lebih dari seabad lalu, tajdid menjadi simbol keberanian untuk berpikir ulang—untuk menantang kebiasaan tanpa makna, dan menegakkan kebenaran dengan ilmu. Kini, dunia berubah. Kiblat umat manusia tidak lagi hanya fisik, tetapi juga digital. Arus informasi mengalir tanpa batas, membentuk cara baru manusia beragama, berinteraksi, dan memahami dunia.
Di tengah situasi ini, tajdid harus menemukan bentuk barunya: tajdid digital. Ia bukan sekadar penggunaan teknologi dalam dakwah, melainkan transformasi cara berpikir, cara berdialog, dan cara membangun peradaban Islam di dunia siber. Ia adalah kelanjutan spiritual dan intelektual dari semangat Islam berkemajuan yang menjadi DNA Muhammadiyah.
Islam Berkemajuan di Era Digital
Islam berkemajuan adalah konsep yang menempatkan Islam sebagai agama ilmu, kemanusiaan, dan pencerahan. Dalam konteks digital, nilai-nilai ini menuntut tafsir baru. Dunia siber menghadirkan rasionalitas baru: rasionalitas algoritmik. Manusia berpikir cepat, berbagi tanpa henti, tapi sering kehilangan kedalaman makna.
Di sinilah tajdid digital Muhammadiyah berperan sebagai kritik dan penyelaras. Gerakan ini tidak boleh larut dalam logika kecepatan dan popularitas semata, melainkan harus menghadirkan rasionalitas digital yang berakhlak—sebuah bentuk kecerdasan yang tidak hanya berbasis data, tapi juga nurani.
Islam berkemajuan mengajarkan bahwa ilmu tanpa moral hanyalah kekosongan. Maka, di era digital, moralitas menjadi infrastruktur utama dari kemajuan. Muhammadiyah perlu menegaskan kembali posisi etikanya: bahwa teknologi harus tunduk pada nilai, bukan sebaliknya.
Sejak berdirinya, amal usaha Muhammadiyah menjadi manifestasi tajdid yang konkret—membumikan nilai Islam dalam bentuk lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial. Kini, tajdid digital menuntut perluasan makna amal usaha itu. Sekolah digital, dakwah berbasis AI, platform pembelajaran terbuka, aplikasi zakat transparan—semua itu bukan sekadar inovasi teknis, tetapi bagian dari amal usaha digital Muhammadiyah. Yang dibangun bukan hanya infrastruktur teknologi, melainkan ekosistem nilai: ruang digital yang beradab, cerdas, dan mencerdaskan.
Namun, agar tidak terjebak pada semangat instrumentalis, Muhammadiyah harus memastikan bahwa setiap bentuk digitalisasi tetap berpijak pada misi pencerahan (tanwir). Sebuah teknologi yang tidak mencerahkan manusia hanyalah alat yang kehilangan arah.
Dakwah Digital yang Mencerahkan
Tajdid digital bukan tentang seberapa sering konten dakwah Muhammadiyah muncul di media sosial, tetapi seberapa dalam pesan itu menggugah kesadaran. Dalam budaya algoritmik yang menilai kebenaran berdasarkan jumlah “like” dan “view”, dakwah berkemajuan harus berani tampil berbeda: menawarkan kedalaman di tengah kecepatan. Kiai Ahmad Dahlan dulu mendobrak kemapanan dengan papan tulis dan Al-Qur’an; kini, para penerusnya bisa berdakwah lewat podcast, short video, atau AI voice. Tapi esensinya tetap sama: mengajarkan manusia berpikir dengan hati dan beriman dengan akal.
Maka, tajdid digital Muhammadiyah tidak boleh berhenti pada “digitalisasi dakwah”, tetapi harus naik kelas menjadi “dakwah digital yang berfilsafat”—yang menuntun umat untuk tidak hanya connect secara jaringan, tetapi juga connected secara makna. Islam berkemajuan menempatkan etika dan ilmu dalam satu tarikan napas. Dalam dunia digital yang rentan polarisasi, disinformasi, dan budaya instan, etika menjadi benteng terakhir kemanusiaan.
Tajdid digital berarti mengembalikan nilai-nilai ukhuwah, kejujuran, dan tanggung jawab ke dalam logika digital. Muhammadiyah bisa menjadi pionir dalam menciptakan etika siber Islami: panduan moral untuk berinteraksi di ruang maya, bukan dengan larangan kaku, tapi dengan kesadaran spiritual.
Seperti halnya KH Ahmad Dahlan yang mengajarkan Al-Ma’un sebagai teologi sosial, kini tiba waktunya bagi Muhammadiyah untuk menulis “Al-Ma’un Digital”—teologi baru yang menjawab penderitaan, keterasingan, dan krisis makna manusia di era mesin. Pada akhirnya, tajdid digital bukan proyek sesaat, tapi proyek peradaban. Ia bukan sekadar bagaimana Muhammadiyah hadir di dunia digital, tetapi bagaimana Muhammadiyah mendidik dunia digital itu sendiri agar lebih manusiawi.
Filsafat Islam berkemajuan menegaskan bahwa kemajuan sejati bukanlah percepatan teknologis, melainkan pencerahan spiritual dan sosial. Tajdid digital berarti menegakkan kemajuan dengan akal, mengarahkan teknologi dengan nilai, dan memanusiakan dunia siber dengan kasih.
Jika KH Ahmad Dahlan hidup hari ini, mungkin beliau tidak lagi menatap langit Yogyakarta untuk menentukan arah kiblat, tetapi menatap layar—mencari arah baru bagi dakwah di semesta digital. Dan arah itu tetap sama: menuju Tuhan, dengan akal yang berpikir, hati yang hidup, dan teknologi yang beradab.
Tajdid digital Muhammadiyah adalah kelanjutan logis dari Islam berkemajuan—gerakan yang menolak stagnasi dan memeluk perubahan dengan nilai. Di tengah dunia yang makin otomatis, Muhammadiyah harus menjadi suara kesadaran: bahwa teknologi tanpa etika hanyalah kekuasaan tanpa jiwa.
Di masa depan, tajdid digital bukan hanya strategi komunikasi, melainkan fondasi spiritual bagi keberlanjutan peradaban. Karena di balik setiap klik, setiap data, dan setiap algoritma, selalu ada tanggung jawab kemanusiaan yang tak boleh hilang. Dan di situlah tajdid sejati menemukan maknanya: pembaruan yang bukan sekadar modern, tapi juga memanusiakan.***


