Iklan

Iklan

,

Iklan

Inilah Asal Kata ”Minal Aidin wal Faizin”

Redaksi
Senin, 03 Mei 2021, 22:31 WIB Last Updated 2021-11-04T14:58:26Z

Sudah menjadi tradisi saat Idul Fitri, umat Islam Tanah Air akan meminta maaf satu sama lain. Mereka saling berkunjung ke tempat keluarga, kerabat, sahabat, hingga tetangga. Satu sama lain saling berjabat tangan dan mengucapkan “Minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin.”

Dua kalimat sejoli ‘aidin dan faizin’ selalu akrab di telinga ketika hari raya tiba. Hingga sekarang, kalimat tersebut masih banyak digunakan di televisi, radio, surat kabar, media sosial, dan berbagai media komunikasi lainnya.

Mulai dari pejabat negara hingga rakyat biasa, selalu memakai kalimat yang tidak diketahui asal-muasalnya itu. Benarkah kalimat itu yang disunahkan untuk diucapkan pada hari raya?

Minal ‘aidin wal faizin’ merupakan petikan dari bahasa Arab. ‘Aidin berasal dari kata ‘aidu yang artinya kembali. ‘Aidin merupakan bentuk fail (pelaku) yang menjadi jamak mudzakkar salim.

Jadi, aidin dapat diartikan “orang-orang yang kembali”. Sedangkan, al faizina diambil dari kata kerja (fiil) faza. Seperti halnya al ‘aiduna, al faizina juga menjadi jamak mudzakkar salim yang berarti “orang-orang yang menang”.

Jadi, minal ‘aidina wal faizina dapat diartikan “dari orang yang kembali dan dari orang yang menang/beruntung.” Jadi, sama sekali kalimat tersebut tidak mengartikan mohon maaf lahir batin, sebagaimana persepsi kebanyakan masyarakat awam.

Jika dibaca sekilas, kalimat ini masih susah untuk dimengerti. Mengingat kata ini hanyalah sepotong dan dirasa ada yang hilang dari kalimat tersebut. Kalimat ini juga asing di telinga kaum Arab. Mengingat kata ini tidak populer di bangsa Arab sendiri karena mereka tidak biasa mengucapkannya.

Jika melihat popularitasnya, kalimat tersebut hanya populer di bangsa Melayu, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Beberapa tempat mempunyai ucapan khas sendiri, seperti “Eid mubarak!” di Eropa, atau “Eid sa’id”, dan ucapan “Maaf zahir batin” di Malaysia.

Dalam kitab Dawawin Asy-Syi’ri al-Arabi ala Marri Al-Ushur Jilid ke-19 halaman 182 disebutkan, kalimat minal aidina wal faizin ternyata merupakan petikan dari lantunan syair pada masa Andalusia.

Penyair bernama Shafiyuddin al-Huli membawakan sebuah syair yang mengisahkan dendangan kaum wanita pada hari raya. Petikan dari salah satu syairnya itu terdapat kalimat “Ja’alna minal ‘aidina wal faizina (jadikan kami dari orang-orang yang menang dan orang-orang yang beruntung).”

Sedangkan di Indonesia, kalimat minal aidin wal faizin merujuk pada salah satu lagu yang populer pada era tahun 90-an. Petikan lagu tersebut mengatakan, “Minal ‘aidin wal faizin, maafkan lahir dan batin. Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin.”

Ketika itu, ucapan ini menjadi sangat populer dan dipakai oleh kebanyakan masyarakat Indonesia.

Dr Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati menjelaskan hal ini dengan lebih proporsional. Menurutnya, pertama kali kalimat tersebut jangan sampai salah penyebutan. Kata ‘aidin dan faizin’ jangan sampai disebut aidzin, aidhin, atau faidzin, faidhin.

Mengenai penghilangan kata ja’alna atau ja’alnallahu (semoga kami dijadikan, semoga Allah menjadikan kami) merujuk pada tradisi Arab yang suka to the point dan menghilangkan beberapa kata sebelumnya. Atau hal ini juga bisa disebabkan orang Indonesia yang susah menyebut dan menghafal lafaz Arab yang terlalu kepanjangan.

Lalu, kalimat seperti apakah yang disunahkan untuk diucapkan ketika berhari raya? Dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, ucapan Idul Fitri yang sesuai dengan sunah yaitu, Taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal kami dan kalian)” atau Taqabbalallahu minna waminkum wa ahalahullahu ‘alaik (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu sekalian dan semoga Allah menyempurnakannya atasmu).

Inilah kalimat yang disunahkan di dalam Islam. Al-Hafizh Ibnu Hajar, salah seorang ulama mazhab Asy Syafi’i, juga pernah menyampaikan bahwa para sahabat Rasulullah SAW bila bertemu pada hari raya mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minkum.” Mereka yang diucapkan kalimat tersebut membalasnya dengan kalimat yang serupa.

Ibnu Taimiyah lebih lanjut menerangkan, “Ucapan selamat hari raya sebagian mereka kepada sebagian lainnya jika bertemu setelah shalat Id dengan ungkapan, ‘Taqabbalallahu minna wa minkum’ dan A’aadahullahu alaika, serta ucapan sejenisnya.

Maka, hal ini telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa mereka melakukannya. Telah diperbolehkan pula oleh para imam, seperti Imam Ahmad dan selainnya. Maka siapa yang melakukannya, ia memiliki panutan, dan yang meninggalkannya pun memiliki panutan.” (Majmu’ Fatawa Jilid 24 halaman 253).

Penulis: Hannan Putra

Sumber: Republika.co.id.

Iklan