Banyak pertanyaan mengapa Kiai Ahmad Dahlan menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama gerakan Muhammadiyah. Bahkan sekolah yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan berumur satu tahun lebih tua daripada gerakan Muhammadiyah.
Dalam seminar nasional DPP Ikatan Alumni UNY, Selasa (12/10/2021), Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut bahwa Kiai Ahmad Dahlan memiliki alasan khusus menggarap pendidikan, yaitu untuk merekat persatuan bangsa sekaligus melawan kolonialisme Belanda.
“Integrasi sosial ini sengaja dilakukan Kiai Dahlan karena beberapa konteks. Pertama, konteks sosial di mana masyarakat saat itu, terutama masyarakat Islam tersegregasi dalam kelompok-kelompok sosial yang memang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipertemukan atau sangat sulit dipertemukan,” kata Mu’ti, dikutip dari Muhammadiyah.or.id.
“Nah sebagian dari segregasi sosial itu karena sistem pendidikan yang sengaja dibuat dikotomis. Kita tahu dari sejarah saat itu, sistem pendidikan terbagi menjadi model sekolah Belanda dan model sekolah pesantren yang dikembangkan masyarakat Islam,” ungkap Mu’ti.
Sekolah Belanda waktu itu tidak mengajarkan pelajaran agama sama sekali, kecuali ekstrakulikuler. Sebaliknya, pondok pesantren tidak mengajarkan ilmu umum sama sekali, bahkan menyebut ilmu umum sebagai ilmu kafir. Akibatnya, masyarakat yang lulus dari dua lembaga pendidikan itu menurut Mu’ti tidak bisa dipertemukan, baik dalam konteks sosiologis maupun konteks ideologis.
“Karena itu Kiai Ahmad Dahlan kemudian mengembangkan sistem pendidikan yang di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu umum, diajarkan mata pelajaran studi agama, dan studi non-agama,” imbuhnya.
Untuk merekat persatuan bangsa, Kiai Ahmad Dahlan tidak cukup dengan mendirikan Muhammadiyah. Namun, beliau juga memilih mengajar ekstrakulikuler agama di sekolah guru dan sekolah pamong praja.
Dipilihnya sekolah guru dan sekolah pamong praja pun dilakukan Kiai Dahlan dengan pertimbangan strategis agar prinsip persatuan bumiputera lebih tersebar luas karena pengaruh guru dan kebijakan pamong praja.
“Kita tahu sistem pendidikan Belanda itu membagi murid dan kesempatan pendidikan berdasarkan kelas sosial mereka sehingga kalangan-kalangan elite bisa sekolah sampai jenjang tinggi, bahkan sampai luar negeri, tapi kalangan alit hanya bisa sekolah sampai sekolah ongko loro. Kalau kita membaca buku-buku pendidikan Indonesia, kita bisa melihat bagaimana politik pecah belah Belanda itu sukses dilakukan dari pendidikan,” terang Mu’ti.
Menariknya, untuk merekat persatuan bangsa, Kiai Ahmad Dahlan melakukan integrasi sosial dengan membolehkan masyarakat non-muslim untuk belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Hal itulah yang terjadi di Muhammadiyah dari dahulu hingga sekarang.
“Kiai Dahlan melihat persoalan disintegrasi dan segregasi itu melalui pendidikan. Kalau kita baca bukunya Kiai Syudja’, Kiai Dahlan dalam mengajarkan pelajaran agama lewat ekstrakulilkuler itu yang ikut bukan terbatas yang beragama Islam, bahkan yang berbeda agama pun diperbolehkan mengikuti pelajaran,” jelas Mu’ti.***
[Muhammadiyah.or.id]