Iklan

Iklan

,

Iklan

Profil Fatmawati, Pahlawan Nasional dan Aktivis Nasyiatul Aisyiah

Redaksi
Minggu, 28 Agustus 2022, 18:56 WIB Last Updated 2022-08-28T11:56:28Z


Kemerdekaan Republik Indonesia tidak terlepas dari seorang perempuan kelahiran Bengkulu pada hari  senin 5 februari 1923 bernama Fatmawati. Ia adalah istri sang proklamator, Ir Soekarno yang menjahit sang saka merah putih pertama Republik Indonesia dengan mesin jahit tangan di ruang tamu rumahnya. 


Beliau mendapatkan julukan “Merpati dari Bengkulu” dalam buku Bung Karno Masa Muda terbitan Pustaka Antar Kota pada tahun 1978. Fatmawati ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui keppres no 118/TH/2000 atas jasanya terhadap revolusi kemerdekaan. 


Ia lahir dari keluarga Muhammadiyah di Bengkulu, ayah Fatmawati bernama Hasan Din dan ibunya bernama Siti Jubaidah. Keduanya telah menjabat sebagai konsul Muhammadiyah dan  Aisyiah sejak Fatmawati menginjak usia remaja. 


Selain itu, Ayahnya juga memiliki garis keturunan bangsawan dari Kesultanan Indrapura Mukomuko, Pesisir selatan, Sumatera Barat. Meskipun saat Fatmawati lahir Muhammadiyah belum memiliki cabang resmi di luar Jawa. 


Tetapi, antara tahun tersebut hingga 1925 saat kedatangan seorang nasionalis pendiri Sarekat Ambon Alexander Jacob Patty di Bengkulu untuk menjalani masa pembuangannya, ditengarai sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi pergerakan di Bengkulu.


Dalam biografi Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1985) Muhammadiyah ketika itu langsung memanfaatkan kehadiran AJ Patty untuk turut berkiprah dalam pengembangan pendidikan Muhammadiyah yang segera dianggap pemerintah kolonial Belanda sebagai ancaman.


Keputusan Muhammadiyah Bengkulu itu mengakibatkan ayah Fatmawati, Hasan Din yang merupakan pegawai perusahaan lima besar Belanda bernama Borsumij (Borneo-Sumatra Maatschappij) sekaligus menjabat sebagai sekretaris Muhammadiyah dituntut oleh pemerintah kolonial untuk memilih satu di antara dua pilihan: keluar dari Borsumij atau menghentikan kegiatannya di Muhammadiyah yang seringkali konfrontatif terhadap pemerintah seperti rapat atau mengadakan arak-arakan yang berujung di kantor polisi.


Suasana tanah air pada 1923-1930 yang subur oleh pergerakan nasional membuat Hassandin tidak berpikir panjang untuk keluar dari Borsumy—yang menyediakan jaminan hidup layak dan memulai hidup dengan pendapatan tak menentu atas keputusannya untuk tetap berkhidmah pada Muhammadiyah sebagai jalur perjuangan kemerdekaan.


Bermula dari kedua orang tuanyalah Fatmawati mulai mengenal dan melibatkan diri dalam konferensi Muhammadiyah yang  digelar secara rutin untuk membaca Al-Qur’an dan menyanyi. Fatmawati pernah ditunjuk sebagai pembaca ayat suci Al-Qur’an pada pembukaan kongres Muhammadiyah di Palembang pada tahun 1936. 


Sejak remaja Fatmawati merupakan pelopor penggerak Nasyiatul Aisyiah di Bengkulu. Kesetiaan terhadap Muhammadiyah melalui Nasyiatul Aisyiah merupakan hasil penanaman norma Islam yang mendalam dan norma anti kolonialisme


Sejak remaja, Fatmawati selalu terlibat aktif dan berpartisipasi dalam berbagai pertemuan dan konferensi yang digelar oleh Muhammadiyah sebagai perwakilan dari Nasyiatul Aisyiah. 


Meskipun tidak menjadi ketua, tetapi Nasyiatul Aisyiah sangat berpengaruh terhadap jiwa, sikap dan perilakunya. Juga setelah menikah bahkan Ketika menjadi ibu Negara, Fatmawati tetap lekat dengan ajaran, prinsip dan tradisi Nasyiatul Aisyiah.


Sumber: muhammadiyah.or.id

Iklan