Iklan

Iklan

,

Iklan

Soetomo, Pahlawan Nasional Peletak Kedokteran Khas Muhammadiyah

Redaksi
Minggu, 28 Agustus 2022, 11:30 WIB Last Updated 2022-08-28T04:41:22Z


“Tetapi pada hakikatnya Persyarikatan kami itu tiada lain hanya satu dari beberapa petunjuk lahirnya pemikiran baru yang menggetarkan bahagian antero dunia yang berfikir. Lagi pula boleh dikatakan akan pertimbangan atau perlawanan pengajaran Darwin. Bukankah pengajaran Darwin itu berasas peperangan hidup?


Sudah tentu saja kejadiannya pengajaran ini menindas dan memusnahkan yang bersifat lembek. Karena bermaksud untuk diri sendiri supaya dalam dunia ini mendapat tempat yang baik. Sedang fikiran baru itu timbul dari asas yang lain. Yakni asas cinta kasih. Asas cinta kasih ini sudah barang tentu tiada mengizinkan, tiada memberi kesempatan, beberapa untuk keperluan diri sendiri. Akan tetapi mewajibkan berkurban untuk mencapai hidup mulia bagi umum.” (dr. Soetomo).


Dua paragraf di atas merupakan penggalan pidato dr. Soetomo (1888-1938) pada Ahad, 14 September 1924 saat Pembukaan Poliklinik Muhammadiyah Surabaya.


Acara tersebut dihadiri oleh Pengurus Besar Muhammadiyah yakni Haji Soedja’ dan Ki Bagus Hadikoesoemo. 


Di hadapan khalayak umum yang datang menghadiri acara pembukaan Poliklinik Muhammad Surabaya itu, dr Soetomo memberi sambutan kepada undangan sekaligus memperkenalkan gerakan Muhammadiyah.


Poliklinik, Welas Asih dan Inklusi


Dalam pidato yang disampaikan tersebut, terselip pandangan menarik yakni tentang keberpihakan Muhammadiyah terhadap bangsa yang tertindas melalui pendirian klinik maupun balai pengobatan. dr. Soetomo menyebut konsep keberpihakan tersebut sebagai asas “cinta kasih” atau “etos welas asih.”


Asas tersebut jika ditarik ke belakang juga ditemukan dalam catatan Kyai Sudja’ tentang Buah Pikiran KH Ahmad Dahlan.


Selain asas cinta kasih atau etos welas asih yang dimiliki oleh Muhammadiyah ketika memberikan perlawanan terhadap penindasan, ciri lain yang melekat dalam kerja kemanusiaan Muhammadiyah adalah inklusi.


Menurut Prof. Zakiyudin Baidhawy, semangat kemanusiaan berbasis cinta-kasih telah mempersatukan orang-orang yang berbeda bangsa dan agama dalam Muhammadiyah.


Kerja sosial Muhammadiyah didasarkan atas pandangan bahwa kebenaran (al-haq) dan kebaikan (al-khair) Islam adalah manfaatnya tanpa memandang batas bangsa dan agama.


Asas cinta kasih juga menjadi kritik atas Darwinisme sebagai paradigma pemikiran Barat modern yang meletakkan seleksi alam atas kekuatan individu. Teori Darwinisme tidak memberikan kesempatan pada kaum lemah untuk maju. 


Paham tersebut ingin dikikis, sebab berpotensi melanggengkan penindasan pihak yang kuat terhadap yang lemah, serta menyuburkan sikap individualistik.


Asas cinta kasih saat itu ditawarkan sebagai paradigma baru untuk dijadikan sebagai alam berpikir umum Bangsa Indonesia dalam melawan penindasan yang terjadi pada dirinya, dengan tidak mengabaikan dimensi kemanusiaan.


Dimensi kemanusiaan tidak boleh sirna dari lubuk hati dan alam pikir Bangsa Indonesia. Meski ingin menghilangkan penindasan dan sikap individualistik yang lekat dengan budaya Bangsa Barat. Namun Poliklinik Muhammadiyah Surabaya tersebut tetap memberikan ruang bagi Bangsa Eropa untuk berobat.


Padahal Eropa adalah representasi nyata dari Barat. Sebab asas cinta kasih berdasar pada keinginan untuk menjadi manusia yang tidak hanya memikirkan dirinya maupun kelompoknya. Maka, dengan demikian asas cinta kasih ini menjadi satu kesatuan dalam jaring konseptual Al qur’an tentang rahmatan lil alamin.


Soetomo dan Muhammadiyah


Namun demikian, dokter alumni STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) tahun 1911, sekaligus Pahlawan Kemerdekaan Nasional ini oleh publik lebih dikenal kiprahnya sebagai salah satu tokoh pendiri Boedi Oetomo (1908) atau nama salah satu rumah sakit milik pemerintah di Kota Surabaya.


Karena di kalangan warga Muhammadiyah, dr. Soetomo namanya samar-samar bahkan nyaris tidak terdengar. Dalam kepeloporan kesehatan Amal Usaha Muhammadiyah bidang Kesehatan (AUMKes), namanya tenggelam oleh nama-nama besar seperti Kyai Sudja’, ataupun KH. Ahmad Dahlan.


Amat jarang (atau mungkin belum ada AUMKes yang mengabadikan namanya sebagai nama gedung atau yang lainnya), padahal dr. Soetomo pernah menjabat sebagai Medisch Adviseur H.B. PKO Muhammadiyah.


Sumpah dari Belanda untuk Indonesia


Sikap teguh pendirian dan tidak jarang berpandangan beda dengan yang lain, bahkan dengan kawan seperjuangan adalah identitas yang melekat pada diri dr. Soetomo sejak muda.


Sikap dan cara pandang tersebut disinyalir keturunan dari bapaknya, Raden Soewardji. Di mana saat itu R. Soewardji oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai sosok yang ke Barat-Baratan.


Misalnya ia tidak mau mengganti namanya ketika sudah dewasa, memiliki jabatan, atau sudah menikah, padahal waktu itu, ganti nama bagi orang yang mapan dianggap sebagai keharusan.


Selain itu, dirinya kerap kali merasa resah atas perlakukan tidak adil keluarga terhadap anak perempuannya. Keresahan tersebut dijawab oleh R. Soewardji dengan menyekolahkan anak-anak perempuannya, dengan tujuan menjaga martabat putri-putrinya supaya mendapat perlakuan adil di lingkungannya.


Sikap tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai kekalahan R. Soewardji atas Barat atau “modernisasi” yang selama ini menjadi lawannya. Sikap kritis lain yang sering dia keluhkan adalah rendahnya martabat bangsanya di mata orang-orang Barat.


Dikutip dari buku Gedung STOVIA sebagai Cagar Budaya (1973) karya S.Z. Hadisutjipto, R. Soewardji yang waktu itu menjabat sebagai Asisten Wedana sering menggerutu tentang buruknya derajat seorang Priyayi B.B (Binnenlands Bestuur: Pangreh Praja).


Hadisutjipto S.Z. menemukan percakapan penting, yang menjadikan tolak balik R. Soebroto (nama kecil dr. Soetomo) untuk memilih sekolah kedokteran di STOVIA. Soetomo kecil bertanya kepada ayahnya, “mengapa harus menggerutu jika masih tetap menjadi priyayi B.B.?


Mengapa tidak mau memilih jabatan lain saja, semisal menjadi guru ?. Mendengar itu, R. Soewardji menjawab, “Bila pekerjaan ini tidak saya jalani, apakah kau kira, kamu sekalian dapat makan roti dengan mentega?“, setelah berhenti sesaat, ayahnya kembali melanjutkan penjelasan.


“Hanya saja, permintaanku, janganlah kiranya anak-anak saya kelak dikemudian hari, ada seorangpun yang menjadi priyayi B.B.” Setelah mendapat jawaban tersebut, R. Soebroto semakin hormat kepada ayahnya dan berjanji tidak akan mengecewakannya.


Setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, dr. Soetomo kemudian pada 1919 mendapat beasiswa studi lanjut ke Belanda. Dikontrakkan kecilnya di Amsterdam, Belanda dr. Soetomo sering menjamu mahasiswa asal Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Belanda.


Kesempatan itu ia manfaatkan untuk memupuk rasa cinta kepada tanah air, dan mengajak mereka supaya tidak terlena dan memilih hidup di Eropa. Selama masa studinya di Belanda, dr. Soetomo pernah ditunjuk sebagai ketua Organisasi Mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang bernama Indonesische Vereeniging yang berarti Perhimpunan Indonesia.


Hingga suatu waktu di hadapan anggota pelajar atau mahasiswa asal Indonesia di Belanda dia bersumpah.


“Di Indonesia tempat kita. Disana tempat berjuang kita. Disana harus ditunjukkan keberanian, keperwiraan dan kesatryaan kita, terutama sekali kecintaan kita pada Nusa dan bangsa. Marilah kita bekerja disana, ditanah tumpah darah kita.”


Sumber: muhammadiyah.or.id

Iklan