Oleh: Prof KH Dadang Kahmad, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sebuah pepatah bijak mengatakan, “Tangguhnya nahkoda kapal terletak pada ombak yang dia hadapi di laut, semakin banyak ombak dan makin besar maka pengalaman yang didapatkan semakin banyak sehingga menghasilkan nahkoda yang tangguh.”
Begitu pula dengan hati kita. Sakit hati adalah hal yang wajar dialami oleh manusia. Sakit hati merupakan salah satu musibah yang ditimpakan kepada jiwa seseorang.
Ketika kita ditimpa musibah, rasanya membuat sedih, berduka, dan meredupkan semangat hidup. Membuat daya juang yang sebelumnya begitu hebat menjadi rapuh. Bagi sebagian orang, sakit hati mungkin akan membuatnya terpuruk.
Namun, bagi sebagian yang lain, sakit hati justru dijadikan bahan bakar untuk meraih kesuksesan. Mereka inilah yang mampu bangkit kembali setelah terjatuh dalam kesedihan hati. Tak peduli berapa kali ia terjatuh, yang paling penting adalah berapa kali ia bangkit lagi.
Menurut Sigmund Freud secara psikoanalitik, rasa sakit hati muncul dikarenakan adanya kontrol super ego yang tinggi terhadap ego sehingga mempengaruhi alam sadar yang merasa cemas, was-was, dan takut untuk tidak dihargai dan diapresiasi oleh orang lain.
Sakit hati sering muncul manakala harga diri seseorang dilecehkan, tidak dihargai, atau direndahkan. Keadaan ini kemudian menstimulasi otak untuk berpikiran buruk dan menanamkan kegelisahan dalam hati, serta terungkap dalam sikap seseorang. Tentu saja setiap orang yang sedang sakit hati akan mengadakan respon untuk mengatasinya.
Respon tersebut bisa berupa kekuatan psikologis yang disebut energi ketidakbahagiaan, misalnya, sikap menyesali diri, rasa sedih, menangis, murung, bingung, dendam yang pada akhirnya melahirkan perilaku negatif. Itu jika kita berbicara mengenai sakit hati dalam hubungan sesama manusia.
Entah mengapa manusia sering terjebak dalam pikiran yang membuat hari-harinya tak nyaman dan penuh dengan rencana-rencana buruk. Seringkali setiap hari diwarnai dengan perasaan tidak senang, hati yang bergolak, kebencian, dan dendam. Alangkah menderitanya kehidupan orang semacam ini. Dia akan menjadi orang yang cepat tersinggung dan naik darah.
Namun, jika kita berbicara dalam kerangka hubungan antara manusia dengan Allah, sakit hati akan memiliki definisi yang lebih indah. Kedudukan antara manusia yang satu dengan yang lain di hadapan Allah adalah sama, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya.
Sakit hati yang timbul karena iman kepada Allah justru akan menjadi energi positif untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Ya, sakit hati merupakan hal yang sangat wajar dialami oleh manusia. Hanya saja, yang membedakan antara manusia beriman dan tidak adalah penyikapan dari rasa sakit hati itu.
Ada sakit hati yang menjerumuskan manusia dalam penyakit hati dan ada pula sakit hati yang berbuah manis berupa kesabaran dan rasa takut atas teguran Allah.
Berbahagialah bagi umat Islam yang telah memiliki suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah Saw. Dalam keseluruhan hidup beliau tidak pernah merasa sakit hati dengan hinaan, cacian, bahkan siksaan dari orang-orang yang memusuhinya. Beliau tidak pernah sakit hati karena dilempari isi perut unta setiap hari.
Di dalam Al-Quran dijelaskan, “Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang yang beriman.” (QS Ali Imran: 139).
Percayalah, semakin mudah kita merasa sakit hati dan tersinggung dengan ucapan atau perbuatan orang lain hanya akan menyebabkan kesengsaraan hidup. Padahal itu merupakan ladang amal bagi kita.
Jika kita disakiti, lalu kita tidak membalasnya, justru memaafkannya, bukankah itu pahala yang besar di sisi Allah? Coba saja jika kita tidak pernah disakiti, tidak akan mungkin kita mendapat pahala dari memaafkan orang lain.
Oleh karena itu, bersikap positif menjadi penting bagi kita untuk menghalau rasa sakit hati yang kadang muncul. Teladanilah Rasulullah Saw., dan para sahabat yang membalas kejahatan orang lain dengan kebaikan. Maka pada sisi Allah ada balasan bagi tiap perbuatan manusia.
Digubah dari buku karya Prof Dadang Kahmad berjudul, Musibah Pasti Berlalu (Quanta, 2014)