Iklan

Iklan

,

Iklan

Jalan Pencerahan Taubat

Redaksi
Jumat, 23 September 2022, 18:38 WIB Last Updated 2022-10-03T09:32:16Z


Oleh: Prof. KH. Dadang Kahmad,
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah


Di dalam Al-Quran dijelaskan untuk bertaubat karena ketika kita bertaubat, maka jiwa dan hati kita akan menjadi tenang. Ketika kita ditimpa musibah juga, bertaubatlah karena dengannya jiwa kita akan kembali pada ketenangan. 


Allah Swt., berfirman, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.” (QS Al-Fajr: 27-28).


Kita bukanlah makhluk ma’sum yang terpelihara dari dosa. Kita hanyalah manusia biasa yang tak jarang terselip khilaf dan dosa. Namun, percayalah selalu ada jalan untuk kembali. Dan Allah adalah sebaik-baik tempat kembali. 


“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong.” (QS Az-Zumar: 54). 


Taubat menjadi pintu gerbang pertama yang dilalui seorang hamba untuk kembali kepada Allah. Berkenaan dengan sifat manusia yang tak pernah luput dari perbuatan-perbuatan dosa, maka taubat menjadi penting dilakukan oleh setiap orang. 


Taubat bukan hanya ketika merasa berbuat dosa, tetapi juga untuk senantiasa mensucikan diri.

 

Perintah untuk bertaubat tidak hanya ditujukan untuk golongan tertentu saja, melainkan juga untuk orang-orang yang beriman. Kita tidak pernah tahu, mungkin saja ada dosa-dosa dan kemaksiatan yang telah dilakukan tanpa sengaja. Atau boleh jadi kita melakukan sesuatu yang menyakiti hati saudara kita tanpa kita sadari. 


Maka, bertaubat menjadi lebih utama daripada kita menuai balasannya di akhirat kelak. Allah akan selalu membuka pintu bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat dengan sungguh-sungguh, selama nyawa belum sampai ke tenggorokan. 


Rasulullah Saw. sendiri sebagai pribadi yang dijamin masuk surga oleh Allah, pribadi yang ma’sum, tetap bertaubat pada Allah. Demikian juga dengan kita yang hanya manusia biasa dan setiap hari bergelimangan dengan dosa-dosa. 


Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai manusia! Bertaubatlah kalian kepada Allah, sungguh aku bertaubat kepada Allah seratus kali dalam sehari.” (HR Muslim). 


Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab At-Taubah Wazhifatul ‘Umri, taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesal karena telah melakukannya, diiringi tekad yang kuat untuk tidak mengulanginya, dan mengembalikan hak orang yang terdzalimi jika ada, atau meminta untuk dibebaskan dari tuntutan orang yang terdzalimi tersebut. 


Inilah yang disebut dengan taubat nasuha atau taubat yang semurni-murninya. Taubat itu tidak hanya dilakukan secara lisan, mengatakan bahwa ia bertaubat kepada Allah, tetapi tidak diikuti dengan perbaikan-perbaikan diri. Ungkapan lisan harus diikuti dengan perbuatan-perbuatan karena pada hakikatnya taubat adalah pekerjaan akal, hati, dan fisik sekaligus. 


Menurut Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, taubat adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal, dan amal. Ilmu adalah unsur pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiganya amal. Ia berkata, “Yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga.”


Ilmu itu pangkal seluruh kebaikan, yang dimaksud ilmu di sini adalah keimanan dan keyakinan. Iman itu akan membenarkan bahwa dosa merupakan racun yang menghancurkan. Keyakinan akan memberikan penegasan mengenai hal itu. Ketika keimanan dan keyakinan keduanya ada pada diri seseorang, akan memancarlah cahaya iman itu. 


Sesuai fitrahnya, hati manusia itu suci, maka hati yang dipenuhi cahaya keimanan akan sangat sensitif terhadap dosa-dosa yang dilakukan. Dengan demikian, mudah baginya untuk menyesal dan berupaya kembali kepada kesucian dengan bertaubat kepada Allah. 


Digubah dari buku karya Prof Dadang Kahmad berjudul, Musibah Pasti Berlalu (Quanta, 2014).

Iklan