Iklan

Iklan

,

Iklan

Musibah Pasti Berlalu

Redaksi
Sabtu, 10 September 2022, 12:25 WIB Last Updated 2022-09-21T07:13:49Z


Oleh: Prof KH Dadang Kahmad,
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah


Kelemahan manusia yang paling mendasar dan yang menyebabkannya terlempar ke dalam derajat yang paling rendah (asfala safilin) adalah “kepicikan” dan “kesempitan” akal pikirannya. 


Al-Qur’an secara terus-menerus menyebutkan kelemahan ini dalam berbagai bentuk dan konteks yang berbeda. Baik kesombongan, mementingkan diri sendiri, maupun sering menampakan ketamakan, yang pada dasarnya adalah karena kelemahan aspek pikir tersebut. 


Karena kelemahan ini, manusia memiliki sifat nafsu ingin serba instan sehingga meraka menjadi sombong dan putus asa. 


Oleh karena itu, al-Qur’an mengingatkan kita untuk menggunakan kemampuan intelegensi dan hati nurani (QS. Al-Hajj [22]: 46) agar bisa menyelamatkan diri dari derajat asfala safilin dan kembali kepada derajat fi ahsani at-taqwim – manusia yang dimuliakan Tuhan karena memiliki mental yang tangguh ketika menjalani kehidupan ini. 


Kelemahan manusia yang lainnya, yakni mudah melupakan Tuhan pada saat mendapatkan nikmat dan kejayaan. Tetapi jika tertimpa musibah dan kesulitan, dia menunduk dan meratap di hadapan Tuhan (QS. Yunus [10] : 12). 


Al-Qur’an berulangkali menegaskan bahwa setelah memperoleh rahmat, manusia segera melupakan Tuhan. Jika manusia merasa puas, sukses dan berkecukupan, maka ia tidak melihat peran Tuhan di dalamnya; tetapi jika mendapat kesusahan, ia menjadi putus asa dan berpaling kepada Tuhan (QS. Al-Ira’ [17] : 67, 11, 83; QS. Hud [11] : 9-11; QS. Az-Zumar [39] : 8, 49 dan QS. Asy-Syura’ [42] : 48).  


Kecenderungan melupakan Tuhan itulah yang banyak mengakibatkan kita seolah melupakan hakikat diri sebagai seorang hamba yang tidak dapat lepas dari peran eksistensial Tuhan. 


Jika saja manusia terlepas dari Tuhan, ia akan mengalami fragmentasi eksistensi atau keterpecahan kepribadiaan (split of personality). Sehingga ia tidak dapat membedakan realitas kehidupan yang mesti dijadikan sebagai wahana pencipta optimisme hidup. 


Karena itulah, al-Qur’an juga mengingatkan manusia untuk tidak sekali-kali melupakan Tuhannya, sebab Tuhan akan membuat manusia lupa akan dirinya sendiri (QS. Al-Hasyr [59]: 19). 


Kalau saja kita meluaskan cakrawala pengetahuan akal dan pikiran, tentunya kehidupan akan difahami sebagai tempat menjalani proses, di mana  akan selalu berhadapan dengan rintangan: kesusahan, kemenderitaan, kenestapaan, dan aneka ragam cobaan hingga akhir hayat. Kita akan selalu memperoleh ujian karena hal ini ialah upaya alamiah untuk mendewasakan diri.   


Namun, Tuhan memberikan pengharapan dan optimisme pada manusia bahwa di dalam menempuh kesulitan tersebut, ia akan mendapatkan jalan kemudahan (QS. Alam Nasrah [94]: 5-6), asalkan menjalani tiga persyaratan yaitu: a’tha (memberikan sebagian hartanya di jalan Allah), at-taqa (bertaqwa) dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (shaddaqa bil husna) (QS. Al-Lail [92]: 5-7). 


Jika ketiga persyaratan tersebut dipenuhi, maka Tuhan akan memberikan jalan kemudahan kepadanya.


Pertama, A’tha atau kedermawanan (al-munfiqun) adalah sikap mau menolong sesama manusia terutama mereka yang kurang beruntung. 


Sikap mau menolong kepada orang yang membutuhkan atau mereka yang kurang beruntung, akan mendatangkan keuntungan dan kemudahan bagi dirinya karena orang yang mendermakan hartanya tersebut akan mendapat bantuan secara langsung dari Tuhan. 


Kedua, At-taqa atau ketaqwaan adalah sikap sadar bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian kita berupaya untuk berbuat sesuatu hanya karena dan yang diridhoi-Nya. 


Ketaqwaan pada tingkatan tertinggi menunjukan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral. Inilah semacam “stabilitas” yang terjadi setelah semua unsur-unsur yang positif diserap masuk ke dalam diri manusia. 


Ketiga, sikap shaddaqa bil husna (membenarkan adanya pahala yang terbaik), akan mendorong manusia untuk selalu bersikap optimis dan berkompetisi dalam menciptakan kekaryaan yang terbaik (fastabiq al-khairat). 


Dengan demikian, baik sikap a’tha, at-taqa maupun shaddaqa bil husna, akan mengantarkan manusia kepada jalan kemudahan dalam menghadapi kesusahan dan ujian dalam proses menjalani kemanusiaannya.


Dikutip dari buku karya Prof Dadang Kahmad berjudul Musibah Pasti Berlalu (Quanta, 2014).


Silakan Tonton video di bawah ini 




Iklan