Iklan

Iklan

,

Iklan

Dialektika Muhammadiyah dan Budaya Lokal

Redaksi
Senin, 10 Oktober 2022, 11:34 WIB Last Updated 2022-10-10T04:45:13Z


Oleh: Mutohharun Jinan,
Aktivis Pusat Studi Budaya Universitas Muhammadiyah Surakarta


Manifestasi agama da-lam berbagai bentuk budaya lokal dapat dilihat dalam keragaman budaya di Indonesia. Kita akan mendapatkan sejumlah ekspresi dan pola budaya yang berbeda-beda sesuai kebaikan dan keburukan yang dimiliki masing-masing masyarakat. 


Agama selalu dihadapkan dengan dialektika budaya setempat. Dengan kata lain, agama yang universal selalu ada dalam suatu wilayah dialog mutual dengan budaya lokal yang bersifat partikular.


Ironisnya, tidak semua pemeluk agama memahami hal ini dengan benar. Kekuatan hegemoni agama formal yang didukung otoritas ortodoksi mendudukkan budaya lokal vis a vis otoritas keagamaan. Agama telah menjadi buldoser kultural atas pluralitas ekspresi kebudayaan. 


Dalam konteks Islam Indonesia, pemahaman keagamaan yang bercorak legal-formal-literal-ahistoris telah menghancurkan sendi-sendi kekayaan kultur lokal dengan dalih menyimpang dari doktrin akidah yang murni dan utuh.


Muhammadiyah sebagai salah satu lembaga dakwah kemasyarakatan pernah dituduh bertanggung jawab atas matinya napas kreasi budaya lokal. Lewat program pemurnian, cara beragama Muhammadiyah di masa lalu terkesan terlalu kering budaya. 


Atas nama gerakan purifikasi (pemurnian) Muhammadiyah merasa memperoleh legitimasi untuk bersikap over rasional dan puritan, sehingga melupakan aspek emosi dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Sikap puritan menyebabkan tidak banyak orang Muhammadiyah terlibat dalam kebudayaan lokal seperti tari, ketoprak, wayang, dan lain-lain.


Menyadari kekeliruan historis dari “pilihan dakwah yang penuh perhitungan ini”, melalui Muktamar ke-43 di Aceh (1995), Muhammadiyah segera melakukan kritik internal dan pembenahan diri; ia sadar pentingnya peninjauan ulang paham tentang kebudayaan yang selama ini dipegang. Lewat Muktamar ini pula lahir sejumlah pedoman dasar tentang persoalan kebudayaan.


Keputusan formal yang bersifat normatif-teoretik itu belum cukup memberi ruang memadai dalam menjawab tantangan kebudayaan lokal. Perlu dibangun sebuah konstruk metodologi pemikiran keagamaan yang lebih apresiatif terhadap ekspresi budaya lokal. 


Untuk itu, Musyawarah Nasional Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Jakarta memandang perlu melanjutkan agenda terdahulu dengan penetapan metodologi tajdid dan ijtihad yang lebih komprehensif.


Melalui Munas ini ditetapkan metodologi pemikiran keislaman-meliputi pendekatan burhani (rasional), ‘irfani (sufistik/ esoteris) dan bayani (skritural/ tekstual)-terhadap materi-materi keislaman baik yang bersifat fatwa maupun wacana. Tiga pendekatan ini tidak berdiri sendiri, tetapi secara bersama-sama ada dalam hubungan sirkuler-dialektis dan kritis-komunikatif.


Neo-modernisme Muhammadiyah


Sebagai konsekuensi dari perumusan kerangka metodologis dialektika agama dan budaya lokal, Muhammadiyah harus menggagas dua hal penting. Pertama, otonomi dan desentralisasi pemikiran keagamaan dalam konteks budaya lokal. Kedua, membuka ruang selebar-lebarnya untuk menampung pluralitas pemikiran keagamaan. 


Ini jelas merupakan langkah baru-untuk tidak mengatakan revolusi-sebuah konvensi organisasi raksasa yang lazimnya terkelola secara sentralistik. Dalam kaitan budaya lokal, Muhammadiyah harus menerapkan suatu kebijakan desentralisasi wacana dan fatwa dalam hierarki kelembagaan organisasi. 


Artinya, pluralitas budaya lokal tidak dapat dijawab oleh pemikiran keagamaan yang berorientasi top down-menanti fatwa dan petunjuk lembaga Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di tingkat pusat. Karena, keragaman budaya itu sendiri adalah masalah nyata yang dihadapi pada tingkat lokal.


Dengan kebijakan ini, dimungkinkan lahir wacana dan fatwa keagamaan yang plural sesuai dialektika ruang dan waktu, yang pada gilirannya dapat memperkaya khazanah pemikiran keislaman lokal yang variatif, kreatif, dan inovatif.


Desentralisasi, juga merangsang elite Muhammadiyah untuk bersikap kritis dan kreatif terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di daerah/wilayahnya masing-masing. Risikonya adalah terhadap masalah yang sama, fatwa-fatwa sosial-keagamaan dan cara penerapannya antara daerah satu dengan yang lain bisa jadi berbeda, berdasarkan kultur dan tradisi masing-masing.


Desentralisasi menuntut Muhammadiyah untuk mengurangi manajemen sentralistiknya. Paling tidak, organisasi harus menebarkan semangat independensi dan menghilangkan ketergantungan secara birokratis terhadap level pimpinan di atasnya. Masing-masing Pimpinan Wilayah dan Daerah diberi kebebasan untuk mengembangkan amal usahanya tanpa harus dibatasi “buku petunjuk pelaksanaan” dengan administrasi yang berbelit-belit dari Pimpinan Pusat.


Selain desentralisasi, Muhammadiyah juga harus membuka ruang lebar bagi keragaman pemikiran. Mengapa? Alasannya, kebesaran dan keberlimpahan SDM dalam Muhammadiyah berlanjut pada keragaman pemikiran keagamaan. Sekurangnya ada tiga arus pemikiran dominan dalam organisasi berbasis masyarakat urban ini.


Pertama, arus pemikiran keagamaan rasional-humanis. Kelompok ini selalu menyerukan agar Muhammadiyah jangan sekali-kali terjebak pada pemahaman keagamaan yang sempit, doktrinal, dan rigid. 


Pemahaman keagamaan dalam Muhammadiyah harus selalu berbasis pada konteks perkembangan zaman yang menyertainya. Segala upaya perumusan dan segenap produk pemikiran keagamaan tidak boleh meninggalkan peran serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora, seperti sosiologi, psikologi, filsafat, budaya, dan lain-lain.


Dengan kata lain, dialektika antara normativitas wahyu dengan historisitas pemahaman tidak boleh berhenti bila Muhammadiyah tidak ingin mengalami pembusukan pemikiran dari dalam.


Kedua, arus pemikiran keagamaan bercorak spiritual/mistis. Wacana spiritualitas ini dimotori aktivis mudanya. Bahkan, gerakan tasawuf/spiritualitas kini merambah tataran praktis sebagaimana terjadi di kampus-kampus Muhammadiyah. 


Di Universitas Muhammadiyah Surakarta (salah satu dari empat perguruan tinggi Muhammadiyah terbesar) diselenggarakan pengajian tasawuf bernama Noto Ati (Menata Hati) yang dibimbing seorang guru sufi. Pengajian rutin setiap hari Rabu ini selalu dipenuhi peserta dari kalangan mahasiswa, karyawan, dan dosen.


Wacana spiritualitas di Muhammadiyah melahirkan liberalisme pemikiran dan pengamalan Islam yang justru masuk ke dalam jantung agama (the heart of religion), sehingga perbedaan agama-agama yang bersifat formal tidak lagi dianggap penting. “Setiap agama adalah jalan yang benar menuju Tuhan, karena itu klaim kebenaran agama hanya akan mempersempit makna agama itu sendiri”, demikian salah satu adagium liberalisme spiritual.


Ketiga, selain kedua arus itu, sikap keberagamaan formalisme-skriptural juga kian merebak di kalangan warga Muhammadiyah. Gejala ini merupakan reaksi terhadap “rutinisasi teologis”.


Di Yogyakarta ada sebuah pondok “Kader Tarjih” dengan sistem pendidikan yang menekankan sikap keagamaan formalisme-skriptural. Misalnya, bila di sana diselenggarakan diskusi, peserta putri/mahasiswi tidak boleh bertanya secara lisan tetapi hanya diizinkan dengan cara tertulis. Sikap ini didasarkan atas teks hadis Nabi “suara wanita adalah aurat”. Sungguh, sebuah arus balik yang amat berlawanan dengan tradisi Muhammadiyah umumnya.


Menjembatani ragam pemikiran keagamaan itu, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, Muhammadiyah harus mengakomodasi dan “membangun kamar-kamar” bagi mereka semua. Ketiga arus pemikiran keagamaan itu tidak selayaknya dipertentangkan tetapi harus senantiasa dipertautkan dan dianyam secara kritis-dialektis, sehingga bisa saling melengkapi satu sama lain.


Itulah yang saya sebut dengan neo-modernisme Muhammadiyah (versi baru Muhammadiyah yang modern), yaitu Muhammadiyah yang menangkap secara bijak dan mengakomodasi budaya lokal, Muhammadiyah yang memberi ruang kebijakan desentralistik bagi daerah-daerah, dan Muhammadiyah yang membuka lebar ruang pluralitas pemikiran keagamaan. Tidak ada lagi sabdo pandito ratu dalam pemikiran keagamaan Muhammadiyah.


Muhammadiyah telah menyiapkan perangkat metodologi dan merevisi pandangannya tentang hubungan dialektik antara agama dan budaya. Muhammadiyah berharap bisa tampil sebagai pelaku sekaligus pilar utama pengawal budaya. 


Harapan ini dapat diperankan dalam gerakan apresiasi seni budaya seperti kajian-kajian kritis tentang seni budaya, khususnya seni tradisi lokal dengan mengedepankan dimensi positifnya, yaitu pesan-pesan agung yang terkandung di dalamnya dan mengupas serta membuang jauh bias-bias dan kesan negatif yang melekat padanya.


Persoalannya kemudian adalah bagaimana kesadaran luhur itu diapresiasikan dalam kehidupan warganya? Langkah-langkah strategis dan konkret seperti apa yang harus dilakukan untuk pemberdayaan pluralitas tradisi dalam gerakan kebudayaan Muhammadiyah?

Iklan