Iklan

Iklan

,

Iklan

Pesantren Muhammadiyah Harus Cetak Santri Berkemajuan

Redaksi
Minggu, 23 Oktober 2022, 15:32 WIB Last Updated 2022-10-23T08:33:00Z


Jumlah pondok pesantren (Ponpes) di bawah naungan Muhammadiyah terus bertambah. Terbaru, ada 440 ponpes yang tersebar di seluruh Indonesia dengan lebih dari 67 ribu santri. Bahkan angka tersebut terus bertambah dari hari ke hari. 


Data itu dijelaskan dalam Rapat Koordinasi Nasional ke-V Pesantren Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu (31/8/2022), dua bulan yang lalu. 


Terkait hal itu, Menteri Koordinator PMK RI Muhadjir Effendy menjelaskan bahwa pemerintah telah memberikan perhatian spesifik akan keberadan pesantren. Salah satunya melalui Undang-undang nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren sehingga, eksistensi ponpes mendapatkan kepastian serta perlindungan hukum.


“Adanya regulasi ini juga membeikan implikasi yang besar, baik dari segi bisnis, model pendidikan, anggaran, dan lainnya. Maka saya berpesan agar teman-teman mampu mengkaji dan memahami regulasi pesantren, termasuk produk turunannya. Perlu adanya kreativitas dan pikiran segar untuk membenahi dan memberi inovasi dalam sebuah regulasi,” tegasnya.


Muhadjir mengatakan bahwa ponpes Muhammadiyah tidak hanya menyediakan pendidikan semata. Namun juga harus bisa memberikan bekal bagi peserta didiknya, agar mampu mewujudkan visi dan misi Muhammadiyah. Selain itu, ia juga berharap tiap pesantren dapat memiliki corporate culture yang mengakar sehingga ada ciri yang unggul.


Dalam kesempatan yang sama, Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur, Saad Ibrahim mengutip apa yang dikatakan profesor antropologi dari Boston University, Robert Hefner bahwa seni Islam itu dapat dilihat dari Muhammadiyah. Hal itu tidak lepas gerakan Muhammadiyah yang memadukan ilmu sains dan agama, bahkan sejak awal berdiri.


“Maka, pesantren Muhammadiyah harus bisa memberikan nilai lebih pada santri. Bukan hanya fokus mentransferkan ilmu agama, tapi juga mampu memberikan ilmu dunia yang dibutuhkan untuk memajukan umat,” tuturnya.


Antusiasme perwakilan tiap pesantren juga tinggi. Hal itu disampaikan Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah Dr. Maskuri M.Ed. Menurutnya, antusiasme yang tinggi juga berbanding lurus dengan semangat membina pesantren.


Maskuri menjelaskan bahwa pada 2015 lalu, pesantren Muhammadiyah mencapai angka 127. Kini, jumlah tersebut melambung tinggi menjadi 440 dan terus bertambah setiap tahunnya. Perkembangan ini tentu memberikan tantangan baru, utamanya dalam aspek sumber daya manusia (SDM).


“Kalau dihitung, satu pesantren kecil kira-kira membutuhkan ustad dan ustadzah sebanyak 14. Maka, untuk memenuhi SDM di tiap pesantren, minimal kita harus memiliki 6160 ustad yang mumpuni dan unggul. Itu kalau pesantren kecil, situasi berbeda akan muncul di pesantren yang besar,” paparnya.


Sepak terjang pesantren juga bisa dimaksimalkan dengan membangun sinergisitas bersama perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM). Menurut Rektor UMM Dr. Fauzan, M.Pd. pihak PTM tanpa ragu akan membantu mengembangkan berbagai hal. Pada dasarnya, ada banyak program yang bisa diakses oleh santri maupun ustaz ustazah. Utamanya yang mengenai entrepreneurship.


“Pengetahuan keislaman dan iptek memang penting. Tapi hal yang tak kalah pentingnya adalah keterampilan hidup. Maka saya rasa, PTM khususnya UMM bisa mengisi aspek tersebut sehingga mampu melahirkan generasi unggul nan lengkap,” pungkasnya.


Islam Agama Berkemajuan


Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan bahwa Muhammadiyah dan Aisyiyah akan terus berkomitmen untuk memajukan (al-hadlarah) dan mencerahkan (al-tanwir) kehidupan semesta.


Hal tersebut disampaikan Haedar dalam acara Orasi Kebangsaan Muhammadiyah & ‘Aisyiyah se-Bali pada Jumat malam (21/10/2022) di Hotel Princess Keisha, Denpasar, Bali.


“Komitmen kita membangun kehidupan umat manusia yang satu sama lain memberi makna dan kemaslahatan untuk kehidupan semesta alam yang diciptakan Tuhan dengan penuh anugerah ini. Muhammadiyah dan Aisyiyah ingin hadir meneguhkan kehadiran Islam sebagai din al-hadlarah (memajukan) dan din al-tanwir (mencerahkan),” tutur Haedar.


Frasa memajukan berarti membuat segala hal yang positif dan baik berada di depan. Terdepan dalam memberikan pertolongan, pengentasan kemiskinan dan kebodohan. Sementara arti dari mencerahkan ialah mengubah kondisi yang serba gelap menjadi terang bercahaya.


Dua frasa ini merupakan bahasa lain dari Islam sebagai rahmat semesta alam (QS. Al Anbiya: 107). Menurut Haedar, rahmat adalah kebaikan yang serba utama dan kebaikan yang serba melintasi untuk semua. 


Alasan Muhammadiyah dan Aisyiyah berkomitmen penuh untuk memajukan dan mencerahkan tidak lain karena berangkat dari perintah agama Islam. Hal tersebut mengingat perintah pertama kepada Nabi Muhammad Saw bukan menegakkan sembahyang melainkan “Iqra dengan dan atasnama Tuhan” (QS. Al-Alaq: 1-3). 


“Makna iqra di sini baik yang verbal maupun membaca seluruh dimensi kerja akal pikiran, tentang diri kita dan alam semesta yang membacanya atas nama Tuhan bukan sembarang membaca. Harus ada nilai-nilai ilahiah sehingga tetap menjadi manusia yang rendah hati,” terang Haedar.


Selain itu, kerisalahan Nabi Muhammad Saw juga membawa pada aspek kemajuan dan pencerahan. Misi kerisalahan dan kenabian Muhammad telah mengeluarkan bangsa Arab “jahiliyah” dalam struktur kepercayaan penyembah berhala, menista martabat perempuan, berekonomi riba, merendahkan manusia menjadi budak, dan menyelesaikan sengketa dengan pertumpahan darah untuk diubah menjadi bangsa yang maju lagi tercerahkan.


Lewat dakwahnya selama 23 tahun, Nabi Muhammad Saw sukses mengubah Bangsa Arab menjadi masyarakat Islam yang bertauhid, memuliakan manusia baik laki-laki maupun perempuan, berniaga secara halallan-thayyibah, menyelesaikan konflik dengan damai, serta membangun tatanan sosial-kebangsaan yang berkeadaban mulia.


“Ketika Islam datang di jazirah Arab, semuanya dicerahkan, menjadi agama monoteis Islam. mengubah tradisi kekerasan, pertumpahan darah, dan politik oligarki menjadi tatanan sosial yang penuh dengan keadaban,” ucap Haedar.

Iklan