Oleh: Prof. KH. Dadang Kahmad, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Kalau saja seorang di antara kita ditimpa kerugian dalam berniaga atau hilang separuh hartanya, maka akan merasakan kesusahan yang berarti, karena tidak lagi tercukupi hidupnya.
Akibatnya, kelezatan makan berkurang dan kenyamanan tidurpun tidak ia dapatkan seperti biasanya. Atau contoh lainnya yaitu dengan orang yang kehilangan seluruh rumah dan hartanya?
Di tengah kehidupan yang mewah dan serba kecukuan, tiba-tiba ia jatuh ke dalam keadaan linglung, miskin, dan tidak punya apa-apa, tentu akan terasa berat menjalaninya.
Oleh sebab itu, apabila kita tidak pernah dan tidak mau mengambil pelajaran berharga dari musibah yang menimpa, lalu kapan kita akan menjadikannya sebagai peringatan dari Allah?
Hakikatnya, segala kehidupan baik manis ataupun pahit, itu adalah siklus Allah yang pasti setiap orang merasakannya. Yang perlu diperhatikan, bagaimana menghadapi semua itu dengan keimanan dan hati yang damai, tanpa menggerutu kepada Sang Khaliq.
Seringkali seseorang merasa aman dari suatu musibah atau bencana, karena merasa bahwa dirinya berada di radius aman dan tidak dirugikan sama sekali. Inilah salah satu penyakit kita yang sejatinya dapat dihilangkan, karena kerugian dan kemenangan itu akan bergiliran datangnya kepada siapapun, itulah keadilan Allah pada hambanya.
Ketahuilah, musibah seringkali datang dalam keadaan tiba-tiba tanpa sekalipun memberitahukannya. Ia datang dari tempat yang tidak diduga dan dalam keadaan tidak disangka-sangka.
Seringkali musibah datang saat kita sedang beraktivitas di kantor masing-masing atau bercengkrama dengan keluarga di rumah. Itulah takdir Allah yang datangnya tidak seorangpun yang mengetahui kapan terjadinya.
Hal ini yang ditegaskan oleh Allah dalam firmannya, “Kemudian datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.” (QS an-Nahl [16]: 26). Ada kalanya manusia berleha-leha dan tidak peduli, bahkan merasa aman dari musibah. Sejatinya, setiap muslim tidak boleh ada keraguan sedikitpun dalam hatinya mengenai hal ini, yaitu prinsip bahwa segala bencana yang menimpa sesungguhnya telah ditentukan oleh Allah swt sebelum alam dan seisinya tercipta.
Allah Swt., berfirman. “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS al-Hadid [57]: 22).
Jika dicermati, ayat ini mengandung cakupan seluruh musibah yang menimpa manusia, baik berupa kebaikan maupun keburukan yang berskala kecil maupun yang besar. Semuanya telah tertulis di Lauhul Mahfuzh.
Hal ini merupakan perkara yang agung, akal tidak mampu mengetahui keseluruhannya. Bahkan, hati seorang yang berakal pun akan bingung memikirkannya. Meskipun demikian, semua itu adalah mudah bagi Allah.
Kita sejatinya menjadikan hal itu sebagai pijakan dalam menyikapi semua proses kehidupan. Dalam arti, semua ketentuan Allah hakikatnya adalah baik dan kebaikan itu berupa manis dan pahit.
Ketika tetangga atau saudara kita tertimpa musibah, maka jiwa sosial kita sejatinya tergerak unutk membantu mereka. Kepekaan hati diperlukan ketika melihat situasi yang mesti dibantu dan diringankan kesulitannya.
Kepedulian bukan hanya dilakukan dengan memberikan materi atau uang saja. Namun, haruslah lebih dari itu, misalnya kita selalu mendoakan dan memberikan dorongan motivasi untuk tetap sabar serta rida atas kesusahan yang sedang terjadi, hal itu juga tidak kalah nilainya dengan bantuan berupa materi.
Mendoakan saudara yang terkena musibah atau kesusahan agar kesusahan tersebut segera berlalu, maka orang itu akan didoakan oleh para malaikat. Sungguh luar biasa, inilah berkah senjata kita sebagai muslim yaitu berdoa.
Mari kita renungkan sabda Rasulullah, “Tidaklah seorang hamba muslim yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya melainkan malaikat akan berdoa untuknya, ‘Untukmu seperti (apa yang kamu mintakan untuk saudaramu).” (HR. Muslim).
Ketika bencana alam terus bertubi-tubi menimpa negeri tercinta ini, sudah selayaknyalah kita berinstrospeksi dan terus mencari solusi untuk mengatasi bencana itu dengan sebaik-baiknya.
Artinya, sikap baik kita semoga menjadi perisai untuk tidak datangnya musibah. Sebaliknya, jika kita mengabaikan perintah Allah, kemudian Allah mengingatkan kita kembali dengan bencana, itulah kasih sayang Allah.
Layaklah kita berdoa kepada Allah dengan kerendahan hati agar ditetapkan hati kita ini menjadi hati yang dipenuhi oleh kebaikan dan prasangka baik atas keputusan Allah.
"Ya Allah, lindungilah negeri kami dari berbagai macam bencana. Sadarkanlah penghuni negeri ini dari perbuatan yang tidak engkau ridhai. Kembalikanlah ke jalan yang Engkau inginkan. Berikanlah ketabahan dan kesabaran kepada penduduk negeri ini dalam menghadapi bencana dan cobaan. Hanya kepada-Mu kami panjatkan doa, hanya kepada-Mu lah kami berserah diri atas semuanya."
Jika berbagai bencana yang menimpa selama ini, musibah yang melanda tanpa henti, disebabkan oleh kesalahan kita sebagai manusia, maka itu salah dan dosa siapa? Muslim yang beriman tidak akan pernah menyatakan bahwa semua bencana ini terjadi karena kesalahan si fulan dan fulan, atau si A dan si B.
Jika masing-masing introspeksi diri secara baik, melihat kesalahan pribadi, mereka akan mengetahui bahwa tidaklah musibah menimpa suatu negeri melainkan disebabkan oleh kesalahan dan dosa pribadi maupun kolektif yang tidak kita sadari sepenuhnya.
Digubah dari buku karya prof. Dadang Kahmad berjudul, Musibah Pasti Berlalu (Quata, 2014).