Oleh: Prof. KH Dadang Kahmad, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untukmu dirimu sendiri...” (QS. Al-Isra’ (17):7).
Peribahasa menyatakan “Siapa yang menanam dia akan mengetam” dan “Siapa yang menabur dia akan menuai”. Ungkapan ini muncul dalam tradisi masyarakat Melayu yang tanah airnya subur makmur loh jinawi. Dimana kehidupan masyarakatnya berasal dari bertani di sawah dan ladang, selain berlayar di lautan.
Istilah menanam dan mengetam itu tidak akan muncul dalam masyarakat pedagang, karena tradisi menanam dan mengetam ada dalam dunia pertanian.
Begitu pun dengan istilah menabur dan menuai hanya ada dalam dunia pertanian. Menabur adalah proses awal menyebarkan benih tanaman di atas lahan.
Setelah menabur benih alias menanam bibit kemudian tumbuh menjadi tanaman dan proses akhirnya adalah mengetam bagi tanaman pertanian sejenis padi. Atau menuai hasil buah pertanian.
Itulah hukum kehidupan. Dimana ada aksi pasti ada reaksi. Kalau kita berbuat tentu saja akan menghasilkan akibat dari perbuatan itu. Kalau saja perbuatan kita bernilai kebaikan tentu saja hasilnya pun akan bernilai kebaikan.
Sedangkan jika perbuatan kita bernilai keburukan tentu saja hasilnya pun akan bernilai keburukan. Seperti pepatah dalam masyarakat dimana penulis tinggal, tanah Sunda, “Melak cabe bakal jadi cabe, melak bonteng bakal jadi bonteng.”
Artinya kalau menanam tanaman cabe pasti hasilnya buah cabe, kalau menanam tanaman mentimun pasti hasilnya mentimun juga. Maksud pepatah orang Sunda ini bermakna wejangan yang dibingkai dalam bentuk pantun.
Melak cabe bakal jadi cabe/Melak bonteng bakal jadi bonteng. Artinya Melak hade bakal jadi hade/Melak goreng bakal jadi goreng.
“Melak cabe bakal jadi cabe” adalah sampiran yang artinya “melak hade bakal jadi hade”. Maknanya, berbuat baik akan menghasilkan kebaikan. “Melak bonteng bakal jadi bonteng” adalah sampiran yang artinya “melak goreng bakal jadi goreng”. Maknanya berbuat kejelekan akan menghasilkan kejelekan pula.
Inilah yang dimaksud hukum tabur-tuai. Itulah sebabnya di bagian sebelumnya diuraikan, mengapa kita mesti memperhatikan perbuatan kita apakah termasuk baik atau buruk.
Karena tidak ada dimanapun yang hidupnya ingin merasakan keburukan, kepahitan, atau penderitaan. Pasti semuanya berharap datangnya sesuatu yang baik, yang indah, menyenangkan atau membahagiakan.
Itu sudah fitrah manusia dalam jiwanya ingin kebaikan, meskipun dalam praktek perbuatannya kadang terjatuh pada keburukan.
Dalam hukum tabur-tuai ini kita sebagai manusia jangan merasa takut atau khawatir bahwa perbuatan kita akan tertukar dengan balasannya dengan balasan bagi orang lain.
Kalau kita yakin berbuat kebaikan jangan khawatir pasti buah kebaikan pun akan datang sebagai balasannya, bahkan berlipatganda. Seperti hukum bilangan pangkat dalam ilmu matematika.
Kebaikan itu bisa Allah lipatgandakan menjadi 7 kali lipat artinya 7x10 pangkat nol alias 7, 1x10 pangkat 1 alias 10 lipat, 1x10 pangkat 2 alias 100 lipat, bisa 7x10 pangkat 1 alias 70, 7x10 pangkat 2 alias 700, dst.
Allah Maha Pandai menghitung balasan bagi hamba-hamba-Nya yang berbuat baik. Tetapi karena kasih sayang-Nya Allah pun memperhitungkan perbuatan buruk umat manusia tetapi dengan perhitungan asli, jadi keburukan 1 hanya dihitung x dasar bilangan asli 1 jadi hanya satu. Keburukan 7 hanya x 1 dihitungnya tetap 7.
Dalam hukum perhitungan balasan Allah yang berbeda nilainya ini mengandung hikmah betapa Allah itu maha Kasih Sayang atas umat manusia. Tanpa kasih sayang Allah, sepertinya amal perbuatan manusia nilainya tidak akan berkembang karena sering kali manusia lalai, lupa diri jatuh dalam kealpaan.
Bayangkan kalau perhitungan kebaikan dengan nilai perkaliannya sama, sepertinya nilai kebaikan manusia akan lebih kecil kalah oleh nilai keburukannya akibat kelalaiannya.
Selain itu janji yang pasti dari Allah tentang berlipatgandanya kebaikan adalah motivasi yang benar akan terjadi. Motivasi supaya manusia berbuat amal kebaikan. Yang didalam alquran diilustrasikan perbuatan baik, amal sedekah yang tiada ruginya adalah berdagang dengan Allah. Artinya manusia beramal kebaikan atas nilai keikhlasan pada Allah niscaya dia akan beruntung.
Kenapa bisa begitu? Karena tadi nilai kebaikannya akan dilipatgandakan seusai dengan nilai kualitas amal baiknya dikalikan dengan kualitas nilai keikhlasan hatinya.
Berbicara tentang kebaikan, Allah menyatakan bahwa orang yang bersedekah tidak akan mengalami rugi atau bangkrut. Justru dengan bersedekah dia akan menjadi kaya. Dalam konsep sedekah pula Allah menggambarkan perhitungan balasan yang berlipat-lipat ganda seperti diungkapkan di atas.
Dengan indahnya Allah melukiskan perbuatan sedekah itu laksana sebulir padi yang tumbuh menjadi 70 kali, atau bertumbuh menjadi 100 kali atau bahkan bertumbuh menjadi 700 kali.
Bisa dibayangkan jika seorang petani di kampung menanam bibit tanaman padi pada lahan seluas 1 hektar. Tanah 1 hektar kalau dihitung dalam meter persegi kira-kira 100 meter x 100 meter alias 10.000 meter persegi. Jika jarak tanam bibit padi biasanya 40 cm, maka luas tanah 10.000 meter persegi itu sama dengan 1000.000 cm persegi dibagi jarak tanam 40 cm.
Artinya luas tanah 1000.000 cm persegi = 10.000 meter persegi = 1 hektar itu bisa memuat 25.000 lubang tanam. Benih padi sebanyak 25.000 bulir itu jika 1000 bulir beratnya 1 kg, Maka memerlukan benih sebanyak 25 kg.
Jika setiap lubangnya hanya ditanami sebulir padi. Lalu dari satu bulit tanaman padi itu berkembang dalam masa tiga bulan tanam menjadi 100 kali lipat, maka tanaman padi siap dituai itu 25.000x 100 = 2500.000 bulir padi.
Jika 1000 bulir padi itu beratnya sama dengan 1 kilogram, maka panenan padi itu sebanyak 2500 kg alias 2,5 ton tanaman padi. Bayangkan seorang petani yang awalnya dengan bibit hanya seberat 25 kg di tanah 1 hektar, kemudian dalam 3 bulan menuai panenannya sebanyak 2,5 ton.
Pernahkah terbayang bahwa yang membuat bibit padi menghasilkan panenan subur sebanyak itu adalah karena perlipatgandaan Allah? Apakah tidak gembira seorang petani yang berhasil dalam usaha pertaniannya.
Perumpamaan tersebut bukan bohongan. Karena Allah memang nyata melipatgandakan kebaikan yang ditanam seorang petani, sehingga buah tanaman padi yang ditanamnya itu berkembang berlipat ganda. Dari bibit hanya beberapa kg saja kemudian hasilnya menjadi ratusan kali, alias beratnya menjadi hitungan ton.
Nah, apakah tidak tergiur dengan balasan Allah yang berjanji melipargandakan perbuatan baik kita? Lalu sudah saatnya kita berpikir sehat, bahwa beramal baik itu tidak rugi.
Justru amat menguntungkan. Dengan sedekah kita tidak akan rugi, tapi akan hidup beruntung. Jika sedekah dalam bentuk materi (harta) itu pun akan berkembang menjadi melimpah alias kaya. Dan yang penting, sedekah jangan juga diartikan secara sempit sebagai berbagi dengan harta atau uang saja ukurannya. Karena makna sedekah adalah kebaikan.
Sedekah berasal dari kata shadaqah artinya kebaikan secara umum. Kita berbagi harta atau materi yang dimiliki itu disebut sedekah. Seperti anjuran nabi saw ketika isterinya, Aisyah ra membuat sayur. Beliau bersabda,” Ya Aisyah perbanyaklah kuahnya. Dan nanti bagikan kepada tetangga yang terdekat dengan rumah kita.”
Begitulah sunah nabi saw dalam berbagi. Tanpa memandang perbedaan suku, agama dsb, tetangga beliau diberi sedekah dengan hartanya, meskipun misalnya dengan makanan yang akan beliau makan. Suatu waktu beliau pun bersedekah dengan membelikan pakaian baru bagi seorang anak yatim yang menangis di waktu jelang hari raya.
Beliau membawa si anak yatim kepada isterinya memintanya memandikannya dan memberikannya pakaian yang baru bagi anak tersebut.
Sungguh perbuatan baik, sedekah akhlak yang dihidangkan nabi Saw amat memikat hati. Perbuatan sedekah yang lahir karena ketulusan ternyata bisa menggugah jiwa yang gelap dan hati yang kasar.
Itulah dia, sedekah itu tidak sekedar dengan materi, harta benda atau uang. Dengan perbuatan baik itu adalah sedekah. Bahkan dengan senyum yang indah pula merupakan sedekah. Hal ini pernah nabi Saw ungkapkan dalam sabdanya, “Sesungguhnya senyumnya yang tulus dari seseorang kepada orang lain adalah sedekah.”
Selain perbuatan baik, perbuatan buruk pun jelas berbalas. Bukan saja di akhirat, tapi di dunia pun sudah ditunjukan. Kisah orang-orang yang ingkar kepada Allah adalah bukti nyata mendapatkan balasan Allah di dunia, karena dirinya tidak mau insyaf dan bertobat kepada Allah.