Iklan

Iklan

,

Iklan

Semangat Berkemajuan

Redaksi
Senin, 28 November 2022, 09:54 WIB Last Updated 2022-11-28T02:54:54Z


Oleh: Sukron Abdilah,
 Penulis Buku


JAKARTA - Di sebuah tempat bernama Syi’ib Bani Muthalib, Rasulullah saw., dan para sahabat diembargo oleh kaum kafir. Embargo tersebut terjadi pada bulan Muharram tahun ketujuh kenabian. 


Selama tiga tahun umat Islam terkurung dalam kelaparan, kehausan, dan keletihan. Umat Islam juga mendapatkan embargo psikologis karena dikucilkan dari masyarakat. 


Seorang pakar sejarah melukiskan bahwa Rasulullah saw., beserta para sahabat hanya memakan dedaunan dan kulit binatang. Anak-anak dan wanita banyak yang merintih kelaparan.


Mereka hanya memiliki sedikit uang. Setiap kali mereka hendak membeli kebutuhan pokok sehari-hari, Abu Lahab, yang merupakan paman Nabi sendiri, selalu berteriak lantang, “Wahai Pedagang, naikkan harga barangmu agar orang-orang Muhammad tidak sanggup membeli apa pun!” 


Alhasil, umat Islam kembali dengan tangan kosong karena tidak sanggup membeli apa-apa.


Kondisi umat Islam pada saat itu sungguh mengenaskan. Tak ada sekutu atau relawan yang berani mengantarkan makanan. Kalaupun ada, jumlah mereka sangat terbatas. 


Salah satunya adalah Hakim Ibn Hizam. Suatu ketika ia membawa gandum untuk bibinya, Khadijah ra. Namun, seorang tetua Quraisy bernama Abu Jahal mencegah dan menghalanginya. Alhasil, pertolongan ponakan kepada bibinya itu gagal.


Coba bayangkan, tiga tahun lamanya berada di Syi’ib Bani Muthalib dengan kondisi yang serbasusah. Bagi saya, tiga tahun bukanlah waktu yang pendek untuk hidup dalam pengucilan dan kesulitan memperoleh bahan pokok.


Dalam bahasa lain, pada waktu itu umat Islam hidup dalam kesusahan yang luar biasa. Untunglah mereka masih memiliki harapan agar dapat keluar dari penderitaan. Harapan mereka dibalut dengan keimanan yang kuat kepada Allah. Dengan begitu, mereka mampu bertahan melewati masa kritis dan hidup yang serbasusah.


Dalam situasi seperti itu, harapan masih tetap tumbuh di dalam diri Rasulullah dan para sahabat. Mereka yakin kesusahan akan segera berakhir jika dijalani dengan tabah dan sabar.


Dari kisah ini kita dapat belajar tentang dahsyatnya kekuatan harapan dalam hidup manusia. Tanpa harapan, kita tidak akan menjadi apa-apa. Orang yang sukses dapat mewujudkan harapannya dengan melewati sejumlah penderitaan, rintangan, dan kenestapaan hidup. 


Dan, bagi kita, berbicara tentang harapan sama dengan berbincang tentang keimanan.


Bersabar, Dong!


Kehidupan tidak akan selamanya berjalan mulus. Kita akan dihadapkan pada beragam keadaan tidak terduga. Ada kalanya kita mengalami kesulitan. Ada kalanya juga kita dalam kesenangan. 


Hidup ini serupa roda yang menggelinding, kadang di atas dan kadang di bawah. Tak ada pilihan untuk menghadapi berbagai peristiwa terburuk selain bersabar, berserah diri, dan bertawakal kepada Allah Swt. 


“Wahai orang-orang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaran kalian. Tetaplah menjaga kewaspadaan, dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (QS. Ali Imran [3]: 200).


Sabar adalah menahan diri terhadap sesuatu sesuai kehendak akal atau syariat, dan menjauhi hal-hal yang akal dan syariat menghendaki kita menahannya. Ada dua jenis sabar. Pertama, sabar terhadap musibah serta hal-hal yang tidak disukai. Kedua, sabar dalam melaksanakan segala ketaatan dan kewajiban. 


Allah Swt., pasti menolong para penyabar, menyangga beban, dan menopang usaha mereka. Hal ini sesuai dengan firman-Nya, “Mintalah pertolongan dengan bersabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama para penyabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153).


Ingat, hidup selalu dihiasi dengan kesusahan yang akan mendatangkan kelapangan. Kemudahan datang setelah kesusahan. Kondisi sesak tidak berlangsung selamanya. Ia akan berlalu dengan pertolongan Allah Swt.


Kisah pemboikotan terhadap umat Islam tersebut mengajarkan pada kita agar tidak terlalu memikirkan keterbatasan diri ketika berada di dalam kesusahan. 


Keterbatasan diri itu, misalnya, dapat berwujud kebangkrutan usaha, kegagalan mencari jodoh, pendidikan yang rendah, pengetahuan yang terbatas, dan ekonomi yang pas-pasan.


Kita kerap berputus asa dan panik menghadapi kesusahan hidup. Melihat kawan kita hidup mapan dan sukses, mendadak kita iri dan panik. Kita seolah-olah hancur karena tidak semapan kawan kita. 


Melihat pendapatan per bulan kita kecil dibandingkan kawan, kita seolah tidak punya harapan lagi dalam hidup ini.


Ingat, jika kita menggantungkan harapan kepada sesuatu yang kasatmata seperti materi dan kemampuan diri, kita akan mudah kehilangan kendali dan gampang berputus asa ketika sumber harapan itu tiada.


Oleh karena itu, seperti halnya keimanan, harapan mesti menumbuhkan semangat optimistis di dalam diri. Dengan keimanan di dalam diri kita, harapan positif dan optimistis muncul, lalu kita akan mudah memperbarui cara pandang hidup kita. 


Tuhan kita, Allah Swt., memberikan kemampuan pada kita untuk menghadapi kesusahan yang menimpa. Allah Swt., berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286). Artinya, kemampuan menyelesaikan masalah lebih besar daripada beban hidup yang kita hadapi.


Alkisah, di sudut atap sebuah rumah yang sudah tua dan reyot, seekor laba-laba giat membuat sarang. Suatu hari, hujan turun deras dan angin bertiup sangat kencang. 


Rumah tua itu bocor di sana-sini. Sarang laba-laba itu pun rusak terkena bocoran air dan hempasan angin. Tembok menjadi basah dan licin. Si laba-laba dengan susah payah berusaha merayap naik tetapi terjatuh karena tembok yang licin.


Laba-laba itu terus berusaha merayap naik, tetapi jatuh dan jatuh lagi. Begitu berulang-ulang. Namun, laba-laba itu tetap berusaha merayap naik dengan kegigihan yang luar biasa.


Semangat laba-laba itu sangat menggebu-gebu. Kegigihan dan semangat pantang menyerahnya membuat sarang harus kita teladani untuk mencapai puncak kesuksesan. Orang-orang bermental sukses akan menghadapi kesulitan hidup dengan penuh keberanian. 


Kita harus mulai membiasakan diri melihat masalah hidup sebagai sesuatu yang wajar dan harus dihadapi, bukan malah dihindari. Sesungguhnya, menghadapi masalah dapat meningkatkan kualitas kematangan mental seseorang. 


Bekal kegigihan, ketabahan, dan kerja keras akan mengantarkan kita menciptakan sejarah kesuksesan dalam hidup kita.


Membaca kisah mengenai semangat laba-laba tersebut, saya rasa tidak ada yang membenarkan keputusasaan menjadi tabiat dalam hidup kita. Bagi orang yang bermental juara, tak ada keputusasaan dalam rumus hidupnya.


Seperti yang dilakukan Baginda Nabi Muhammad saw., yang dengan sabar, tabah, dan telaten menyebarkan agama Islam meskipun berbagai rintangan menghadang proses dakwah beliau. 


Allah Swt., berfirman, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang kafir.” (QS. Yusuf [12]: 87). 


Harapan (ar-rajā’) tidak boleh sirna selama kita dipercaya oleh Allah untuk menjalani hidup ini. Harapan dapat menumbuhkan rasa optimistis (tafāul), oksigen jiwa yang menghidupkan semangat, dan lawan terberat keputusasaan.


Allah Swt., berfirman, “Janganlah kamu bersikap lemah (pesimis), dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamu adalah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali-Imran [3]:139).


Digubah dari buku berjudul: Bahagia Dunia, Bahagia Akhirat (Quanta, 2014) karya Sukron Abdilah.

Iklan