JAKARTA - Sekitar dua puluh tahunan terakhir di berbagai tempat, dari pelosok pedesaan hingga di pusat perkotaan, muncul sebuah fenomena baru dalam cara belanja bahan-bahan mentah konsumsi rumah tangga.
Ibu-ibu tidak lagi harus pergi ke pasar untuk berbelanja karena para pedagang sayur keliling secara rutin mendatangi dan memenuhi kebutuhan mereka.
Di beberapa daerah, para pedagang sayur keliling ini disebut dengan “mlijo”. Mereka menyediakan berbagai bahan sayuran, bumbu dapur, dan aneka kebutuhan lain relatif lengkap.
Di sini ada situasi dan dorongan yang lebih memudahkan para pengelola dapur rumah tangga untuk memperoleh bahan-bahan konsumsi. Sekilas mungkin tidak ada yang aneh dari gejala tersebut? Namun, jika dicermati lebih jeli, ada sesuatu yang menimbulkan pertanyaan.
Bukankah aneka sayur-mayur, seperti kangkung, sawi, tomat, kacang panjang, dan sebagainya itu sebenarnya relatif mudah dapat tumbuh di halaman rumah ataupun di lahan terbatas hasil rekayasa seperti pot atau polybag? Dengan demikian, bahan-bahan tersebut tidak perlu dibeli.
Jika upaya menanam sayur-mayur sendiri itu dilakukan, bukankah ada uang yang bisa dihemat? Bayangkan jika setiap ibu itu berbelanja sayur Rp2.000,00 saja per hari, dan itu dilakukan—katakanlah—oleh 500 orang di satu desa, maka dalam satu tahun uang keluar untuk sayur dari desa berjumlah sebesar Rp36.500.000,00. Ini merupakan jumlah lumayan besar yang bisa dihemat bukan?
Akan tetapi, masalahnya adalah “semua orang bisa membeli, tetapi tak semua orang bisa memproduksi”. Begitulah simpulan Vandana Shiva, aktivis perempuan India yang secara istikamah menjaga benih dan lingkungan melalui gerakan Peluk Pohon (Chipko Movement).
Pandangan Shiva ini memberi penegasan bahwa fenomena perempuan untuk terjebak membeli sesuatu yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri itu terjadi hampir merata di berbagai belahan dunia.
Menjawab fenomena ini, ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah telah menginisiasi gerakan produksi pangan melalui pertanian organik.
Gerakan kolektif ini terutama dilakukan pada tingkat Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah sebagai aksi nyata perempuan Muhammadiyah dalam upaya penyelamatan lingkungan dan ketahanan pangan.
Food is weapon, membangun ketahanan dan kedaulatan pangan adalah senjata ampuh untuk membangun kekuatan bangsa. Gerakan tersebut lahir dalam momentum yang sungguh tepat.
Selanjutnya, lebih dari sekadar upaya memenuhi kebutuhan dan penghematan, gerakan menanam tanaman organik dari ‘Aisyiyah ini merupakan suatu upaya untuk mengejawantahkan prinsip islah fil ‘ardh, yakni hidup selaras dengan alam, menjaga dan memperbaiki bumi dengan mengedepankan cara hidup bersahaja yang mempertimbangkan aspek etis dalam mengonsumsi makanan maupun barang-barang yang berdampak kurang menguntungkan bagi lingkungan hidup.
Dewi Sri itu bernama Aisyiyah
Membaca bergulirnya gerakan bercocok tanam di ‘Aisyiyah seperti menyaksikan kembalinya Dewi Sri dalam mitologi Jawa. Dewi Sri atau dewi bercocok tanam atau kesuburan ini memiliki nama-nama lain di berbagai wilayah Nusantara.
Di Jawa Barat, Dewi Sri disebut sebagai Dewi Pohaci. Di Bali, ia disebut sebagai Sri Sadhana, Rambut Sadhana, Dewi Danu, atau Dewa Ayu Manik Galih.
Di Sumatra Utara, sosok dan mitologi Dewi Sri muncul dalam cerita Daru Dayang. Adapun di Ende, Dewi Sri disebut juga sebagai Ine Pare atau Ine Mbu yang hadir dalam kisah Bobi dan Nombi.
Dalam kultur Jawa, khususnya dalam mitologi Hindu-Jawa, Dewi Sri dipandang sebagai tokoh yang memancarkan sumber kehidupan. Bagi masyarakat Jawa dan Bali, tokoh ini identik dengan dewi pertanian yang mengontrol bahan makanan di bumi yang merupakan kebutuhan dasar dalam hidup.
Itulah mengapa Dewi Sri sering disebut juga sebagai Ibu Kehidupan. Begitulah sosok Dewi Sri ini tampil dengan gambaran yang nyaris sama di semua mitologi Nusantara, yakni perempuan yang membawa kemakmuran dan menjaga kelestarian alam.
Dari mitologi Dewi Sri dapat dipetik sebuah spirit bahwa kelestarian alam bergantung pada peran perempuan atau sifat perempuan, seperti melahirkan, merawat, dan mendidik.
Filosofi Dewi Sri ini sejiwa dengan gerakan ekofeminisme sebagai pengimbang (counter) terhadap krisis kehidupan dan lingkungan akibat dominasi maskulinitas dalam pembangunan yang lebih menonjolkan penaklukan dibandingkan pemeliharaan dan kolaborasi.
Praksis Ekofeminisme dalam Gerakan Aisyiyah
Ekofeminisme diperkenalkan pertama kali oleh Francois d’Eaubonne dalam sebuah tulisannya yang berjudul Le Feminisme Ou La Mort. Ekofeminisme hadir untuk memberikan pengimbang terhadap cara berpikir maskulin yang berciri kompetitif, agresif, dan dominatif.
Prinsip ini berbeda dengan prinsip feminin yang bersifat intuitif, lebih senang berkoordinasi dan bekerja sama, merawat, dan memelihara.
Aksi bercocok tanam dalam skala mikro yang dilakukan kader dan penggiat ‘Aisyiyah disadari atau tidak akan menjadi sebentuk pengimbang terhadap industri pangan.
Gerakan menanam dan mengurangi membeli pangan yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah merupakan praksis atau pelaksanaan gagasan ekofeminisme dalam menciptakan perekonomian yang lebih baik, sekaligus merawat bumi dan kehidupan.
Meskipun praksis ekofeminisme yang dilakukan ‘Aisyiyah baru dalam skala mikro, tetapi hal itu merupakan pengimbang terhadap perkembangan pembangunan dunia yang berkecenderungan secara agresif merusak bumi dan lingkungan.
Gerakan menanam tanaman secara organik dalam skala mikro ini diharapkan dapat berkembang semakin masif sehingga dapat memberikan andil pada sistem rantai makanan yang sehat secara biologis dan memberikan sumbangan positif pada pembangunan ekonomi mikro.
Gerakan feminisme memberikan kritik keras tentang subjugasi atau dominasi terhadap perempuan melalui pembatasan perempuan di ruang domestik atau privat saja. Perspektif ekofeminisme dalam gerakan ‘Aisyiyah dimaksudkan untuk menolak subjugasi melalui penerobosan batas antara ranah privat dan publik yang diwujudkan dalam gerakan sosial bercocok tanam secara organik.
Dengan gerakan bercocok tanam secara organik ini, jamaah dan penggiat ‘Aisyiyah dapat mengenali kembali sumber-sumber pangan sehat, sumber-sumber penyubur tanaman yang diperoleh dari lingkungan alam, dan serangga-serangga ciptaan Allah swt. yang membantu menjaga keseimbangan alam.
Dalam pandangan Vandana Shiva, gerakan ekofeminisme mengajak masyarakat untuk melindungi segala hal yang lahir dari bumi. Gerakan ekofeminisme menggabungkan pemberdayaan bumi dan perempuan. Perempuan harus diberdayakan untuk turut melestarikan alam, termasuk produksi pangan organik. Kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam pemanfaatan dan perawatan alam harus diwujudkan.
Namun, dalam hal ini perempuan mempunyai tanggung jawab yang lebih spesifik, yakni terkait dengan pemenuhan nutrisi bagi regenerasi kehidupan yang berkualitas. Para perempuan tidak ubahnya Dewi Sri yang menjaga kelestarian sumber pangan untuk menciptakan kesejahteraan dan perekonomian yang lebih baik.
Pertanian Organik Menjamin Keadilan bagi Bumi
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki berbagai potensi sumber pangan. Sumber itu terdiri dari 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis sumber buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis buah minuman, dan 110 jenis rempah.
Itu semua merupakan megabiodiversitas yang dapat menjamin pangan dan memperbaiki kesehatan bangsa Indonesia.
Namun, kekayaan biodiversitas ini belum bisa dimanfaatkan untuk mendukung perbaikan kualitas kehidupan. Mengapa? Itu semua karena isu modernisasi pertanian yang dibungkus dengan nama Revolusi Hijau.
Janji-janji Revolusi Hijau yang digelontorkan oleh korporasi pangan dunia tentang penyediaan makanan yang cukup sesungguhnya telah memberikan kontribusi dalam perusakan lingkungan dan pemiskinan di pedesaan Indonesia.
Kampanye Revolusi Hijau yang berupaya membangun citra pertanian modern, menjadikan usaha tani yang dikelola petani kecil menjadi berbiaya tinggi karena asupan pupuk pabrikan (kimia) dan pestisida terhadap lahan semakin hari semakin meningkat kebutuhannya dan semakin mahal pula harganya.
Akan tetapi, ada yang lebih parah selain biaya produksi pertanian yang semakin tinggi, yakni hancurnya pengetahuan lokal. Revolusi Hijau yang dibangun dalam citra pertanian dengan dukungan pengetahuan dan teknologi modern tersebut telah ikut andil dalam kehancuran ilmu pengetahuan lokal tentang pertanian dan cara bertani tradisional.
Akibat Revolusi Hijau, pertanian organik tradisional tampil rendah diri karena dianggap sebagai model pertanian yang kuno, tidak modern, kurang bagus, dan jauh dari produktif.
Atas nama pembangunan, cara bertani yang tradisional ini diberangus dan digantikan dengan cara bertani dengan rekayasa biologi yang justru menghancurkan alam.
Revolusi Hijau menjadikan banyak petani mengalami frustrasi yang dipicu oleh munculnya ledakan hama yang sebelumnya tidak terjadi. Di Indonesia tercatat muncul hama wereng loncat, belalang kembara, kutu loncat, dan tungro yang menjadi momok bagi petani padi.
Selain itu, lingkungan yang mengalami degradasi keseimbangan dan kesuburan lahan membuat biaya setiap musim tanam semakin tinggi. Hal itu belum lagi ditambah dengan munculnya kelangkaan pupuk pabrikan. Petani seperti terjebak di jalan buntu atau kuldesak.
Gerakan ‘Aisyiyah untuk menginisiasi pertanian organik merupakan pilihan yang tepat, meskipun saya meyakini hal itu bukanlah jalan yang mudah. Mengembalikan pengetahuan petani yang sudah hancur karena modernisasi pertanian membutuhkan kerja ekstra.
Petani sebagai komunitas pada tingkat terbawah sudah terlalu lama diperlakukan tidak manusiawi dan dijadikan objek percobaan ideologi. Yang tersisa kini hanya cerita pilu. Oleh karena itu, para petani membutuhkan bukti ketika ada agen pembangunan yang menawarkan gagasan “baru”.
Tentu tidaklah mudah untuk memberikan bukti bahwa metode pertanian organik dapat menghasilkan produksi sebaik pertanian nonorganik, apalagi ketika kita menghadapi permasalahan hilangnya kesuburan lahan akibat praktik pertanian intensif yang selama ini dijalankan.
Namun, ada kabar bagus dari praktik ekofeminisme dalam ‘Aisyiyah, yakni orang telah melihat bukti bahwa praktik bercocok tanam itu merupakan salah satu cara untuk belajar kembali hidup sehat selaras dengan alam.
Berbagai kemenangan kecil yang tercatat dan diunggah oleh penggiat ‘Aisyiyah di media sosial mengenai praktik tanam-menanam itu telah memperlihatkan kesadaran tersebut.
Hal ini dapat dilihat sebagai milestone awal gerakan pertanian organik dan pengelolaan lahan secara menyeluruh. Yang perlu dipikirkan lebih lanjut, sejauh yang saya amati, gerakan itu masih berorientasi pada hasil produk pertanian.
Apakah kelak gerakan pertanian organik yang dilakukan ‘Aisyiyah itu mampu meningkatkan biodiversitas kehidupan? Apakah kelak gerakan itu mampu meningkatkan kesuburan tanah dan berkontribusi dalam konservasi air? Apakah kampung-kampung tempat penggiat ‘Aisyiyah kelak semakin asri dengan munculnya banyak serangga?
Epilog
Praksis ekofeminisme yang coba digulirkan dalam Gerakan Perempuan Berkemajuan ‘Aisyiyah dengan tagline “Petani Perempuan Merawat Bumi: Menjaga Kedaulatan Pangan” dalam kadar tertentu benar-benar telah berkontribusi pada perbaikan kehidupan, khususnya bagi keluarga Persyarikatan Muhammadiyah.
Kini tiba saatnya untuk mendorong gerakan yang lebih besar, yakni proteksi dan produksi benih. Mengapa hal itu penting? Karena sumber segala kerakusan dalam dunia pertanian adalah benih.
Siapa menguasai benih, dia akan menguasai pangan dunia. Siapa menguasai pangan dunia, dia yang akan mengatur dunia. Semoga saja semua bergerak ke arah yang lebih baik.
Sumber: suaraaisyiyah.id
Judul: Mendorong Ekofeminisme Lebih Maju dalam Gerakan Aisyiyah
Penulis: Rahadi Al-Paluri
Aktivitas: Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Karanganyar